1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikSri Lanka

Gotabaya Rajapaksa Berlindung di Thailand

10 Agustus 2022

Bekas presiden Sri Lanka dikabarkan akan menetap di Thailand, Kamis (11/8), setelah sebelumnya kabur ke Singapura. Dia melarikan diri dari protes massal yang memporakporandakan kekuasaannya.

https://p.dw.com/p/4FMgs
Mahinda (ki.) dan Gotabaya (ka.) Rajapaksa
Mahinda (ki.) dan Gotabaya (ka.) RajapaksaFoto: Eranga Jayawardena/AP/picture alliance

Gotabaya Rajapaksa yang saat itu masih menjadi presiden Sri lanka, melarikan diri ke Singapura melalui Maladewa pada 14 Juli silam, setelah kediamannya diserbu demonstran. Protes massal di Sri Lanka itu dipicu krisis ekonomi terburuk sejak tujuh dekade terakhir. Setelah beberapa minggu berada di Singapura, ia melanjutkan pelariannya ke Thailand.

Pemerintah Thailand memastikan, bekas perwira militer itu akan terbang ke Bangkok, pada Kamis (11/8), untuk sebuah kunjungan pribadi. Disebutkan, Gotabaya akan menetap sementara sembari menunggu perkembangan situasi.

Juru bicara Kemenlu Thailand, Tanee Sangrat mengatakan, mantan presiden Sri lanka itu tidak berniat mengajukan suaka politik. Menurutnya, Thailand tidak bisa menolak masuk warga negara yang bersahabat, terlebih dengan paspor diplomatik yang digunakan Gotabaya. Dia diizinkan untuk tinggal di negara Gajah Putih itu selama 90 hari.

Gotabaya Rajapaksa belum pernah tampil di publik sejak melarikan diri dari Sri Lanka. Pemerintah Singapura juga mengklaim tidak memberikan kesitimewaan atau imunitas bagi sang mantan presiden.

Demonstrasi di Kolombo
Aksi protes massal di Sri Lanka merubuhkan kekuassan dinasti Rajapaksa dan mengusir Gotabaya dari jabatannyaFoto: Dinuka Liyanawatte/REUTERS

"Secara umum, Singapura tidak memberikan hak privilese kepada bekas kepala negara dan pemerintahan. Maka dari itu, mantan Presiden Gotaya Rajapaksa tidak mendapat keistimewaan, kekebalan hukum atau penyambutan,” kata Menteri Luar Negeri Vivian Balakrishnan.

Awal Agustus silam, Mahkamah Agung Sri Lanka memperpanjang status larangan berpergian kepada Gotabaya dan kakaknya, Mahinda, yang juga bekas presiden dan hingga bulan lalu masih menjabat perdana menteri. Namun status tersebut berakhir Kamis (4/8) pekan lalu.

Menutup celah konstitusi

Dinasti Rajapaksa tidak hanya menguasai kursi presiden dan perdana menteri, tetapi juga sejumlah kementerian. Kepadanya dituduhkan malpraktik ekonomi dan korupsi yang mengarah kepada kebangkrutan negara di Asia Selatan itu.

Untuk mencegah terulangnya pemusatan kekuasaan, pemerintahan baru Sri Lanka merancang RUU yang membatasi kekuasaan presiden. 

Menurut Menteri Kehakiman, Wijayadasa Rahapakshe, sebagian kewenangan presiden akan dialihkan kepada sebuah dewan konstitusi yang diisi oleh anggota parlemen dan tokoh non-politik. 

Dewan tersebut diberi kekuasaan mengangkat pejabat tinggi, antara lain sebagai kepala Komisi Pemilu, Kepolisian atau Komisi Antikorupsi. Presiden nantinya hanya berhak mengangkat hakim, jaksa agung dan gubernur bank sentral atas rekomendasi dewan konstitusi.

Amandemen UU Kepresidenan masih harus disetujui parlemen yang beranggotakan 225 orang. Jika lolos, ini akan memulihkan reformasi demokrasi yang dicanangkan pada 2015, namun dibatalkan oleh Gotabaya pada 2019, yang sebaliknya justru memusatkan kekuasaan kepada presiden.

Presiden Sri Lanka, Ranil Wickremesinghe, sudah mewanti-wanti agar bekas presiden itu tidak pulang ke kampung halaman dalam waktu dekat. "Saya tidak yakin sekarang adalah waktu yang tepat baginya untuk pulang,” kata dia kepada Wall Street Journal, 31 Juli silam.

"Saya tidak punya indikasi bahwa dia akan pulang dalam waktu dekat,” imbuhnya. Jika bersikeras pulang, Gotabaya juga tidak akan mendapat perlindungan dari deretan dakwaan hukum yang menunggunya.

rzn/as (rtr,afp)