1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikSri Lanka

Kenapa Kaum Muda Sri Lanka Menjauhi Politik Praktis?

Sushmitha Ramakrishnan
1 Juni 2022

Sri Lanka nyaris lumpuh oleh krisis ekonomi yang memicu kelangkaan bahan pokok, menyulut amarah publik dan memicu aksi protes berdarah. Sikap antipati terhadap elit politik kini melampaui batasan etnis dan agama.

https://p.dw.com/p/4C5yD
Aksi protes di Sri Lanka
Aksi protes di Sri LankaFoto: Ishara S. Kadikara/AFP/Getty Images

Sri Lanka, yang pernah menghadapi gelombang kekerasan antaretnis dan agama di masa lalu, menyaksikan kelahiran sesuatu yang baru di tengah protes massal terhadap kebijakan ekonomi pemerintah.

Aksi demonstrasi di negeri kepulauan itu banyak digalang kaum muda dari kelompok yang selama ini saling bermusuhan. Kesamaan nasib menumbuhkan kesatuan, serta mengaburkan garis perpecahan di antara etnis dan agama.

Kepada DW, sejumlah kaum muda Sri Lanka mengatakan betapa mereka muak oleh kaum elit politik, yang berusaha menyulut perpecahan etnis dan agama demi kepentingan politik. 

Di masa lalu, agenda kampanye pemilu kerap didominasi suara kelas menengah berpendidikan yang mementingkan politik identitas antara etnis dan agama, kata Rajitha Hettiarchchi, seorang tokoh intelektual Sri Lanka. 

Bagi warga miskin, isu ekonomi sebaliknya lebih mendesak, imbuhnya. "Dengan protes saat ini, kedua kelompok akhirnya dipertemukan. Ada kesadaran umum bahwa korupsi dalam politik diuntungkan oleh perpecahan etnis dan agama.”

Darurat ekonomi ciptakan kesatuan

Negeri kepulauan itu nyaris lumpuh oleh aksi protes massal yang dipicu kelangkaan bahan pokok seperti makanan, bahan bakar atau obat-obatan. Adapun pemerintah tidak lagi punya cukup mata uang asing untuk mencicil utang atau membayar impor.

Sejumlah faktor berkontribusi terhadap keruntuhan ekonomi Sri Lanka, terutama pandemi Covid-19 yang melumpuhkan sumber devisa terbesar negara, yakni parwisata. Keputusan Presiden Gotabaya Rajapaksa memangkas pajak juga ditengarai ikut menggerus kas pemerintah.

Sejak beberapa pekan terakhir, kaum muda Sri Lanka dikabarkan mulai mencari jalan untuk ke luar negeri demi lolos dari krisis ekonomi. 

Saat ini protes tidak hanya menjalar di jalan-jalan kota, tetapi juga di media sosial. Kampanye yang kebanyakan digerakkan oleh kaum muda itu antara lain berpusar pada sejumlah jargon politik, antara lain "Gota go home” yang sempat menjadi tren di Twitter.

Meski krisis ekonomi dan kerusuhan semakin melumpuhkan sektor pariwisata, sejumlah kaum muda seperti Shenelle Rodrigo, seorang model terkenal, berusaha mengkampanyekan Sri Lanka sebagai tujuan wisata yang aman. 

Mereka berharap, kedatangan wisatawan asing bisa mengawali pemulihan ekonomi. 

Ketimpangan politik dan sosial

Rajitha Hettiarchchi meyakini, semakin banyak kaum muda Sri Lanka yang kehilangan kepercayaan terhadap partai-partai politik. 

"Baik pemerintah atau oposisi sama-sama gagal menawarkan rencana ekonomi kongkrit yang bisa dipercaya,” katanya. "Bahkan partai kecil pun giat mengritik tanpa menawarkan solusi.”

Sosok yang juga seorang pengacara itu mengatakan, kesatuan yang muncul dari aksi protes di Sri Lanka semakin menyudutkan pemerintahan Gotabaya Rajapaksa

Ketika baru-baru ini mengikuti sebuah aksi protes, dia berkisah "ada seorang perempuan muda mengenakan jilbab yang berbicara soal persatuan, baik dalam Bahasa Sinhala atau Tamil, dan pidatonya sangat indah. Dan peristiwa itu berkesan kuat.”

Ujian terbesar bagi pemerintah Sri Lanka saat ini adalah meyakinkan Dana Moneter Internasional untuk mendapat kucuran bantuan. Prosesnya bisa berlangsung selama berbulan-bulan, kata Hettiarchchi.

"Prosesnya menyisakan cukup waktu bagi terbentuknya sebuah partai politik baru,” tukasnya.

rzn/pkp