1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiIndonesia

Ada Ancaman Resesi, BI Ramal Ekonomi RI Tumbuh 5,3%

30 November 2022

Bank Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 tetap kuat. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menekankan sinergi dan inovasi sebagai kunci untuk menghadapi gejolak global.

https://p.dw.com/p/4KIRC
Foto ilustrasi resesi
Foto: Daniel Kubirski/picture alliance

Di tengah gejolak ekonomi dan ancaman resesi tahun depan, ekonomi Indonesia terus menunjukkan ketahanan dan prospek baik. Prediksi Bank Indonesia (BI), perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2023 berkisar antara 4,5%-5,3%.

BI menyebut pertumbuhan ini berlanjut hingga 2024, dengan kisaran 4,7%-5,5%. Hal ini didukung oleh konsumsi swasta, investasi, dan kinerja ekspor yang tumbuh positif.

"Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 tetap kuat pada kisaran 4,5-5,3%, dan akan terus meningkat menjadi 4,7-5,5% pada 2024," Seperti dikutip dari laman resmi BI, Rabu (30/11/2022).

Sementara itu inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) diperkirakan menurun dan kembali ke dalam sasaran 3,0±1% pada 2023 dan 2,5±1% pada 2024, dengan inflasi inti akan kembali lebih awal pada paruh pertama 2023.

Ini terjadi seiring dengan tetap terkendalinya inflasi harga impor (imported inflation) dengan nilai tukar Rupiah yang stabil dan respons kebijakan moneter.Koordinasi antar lembaga pemerintahan juga berkontribusi pada pengendalian inflasi.

Dalam kesempatan itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpesan untuk tetap waspada atas kondisi global yang masih tidak pasti dan sulit untuk diprediksi.

"Pada tahun 2023 betul-betul kita harus hati-hati dan waspada tanpa mengurangi optimisme", tambah Presiden Joko Widodo.

Dalam melakukan perumusan kebijakan, BI meminta sinergi fiskal dan moneter perlu terus diperkuat agar kebijakan ekonomi nasional yang dihasilkan memberikan manfaat yang besar bagi rakyat dan negara.

Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menekankan sinergi dan inovasi sebagai kunci untuk menghadapi gejolak global. Optimisme terhadap pemulihan ekonomi perlu terus diperkuat dengan tetap mewaspadai rambatan dari ketidakpastian global, termasuk risiko stagflasi (perlambatan ekonomi dan inflasi tinggi) dan bahkan resflasi (resesi ekonomi dan inflasi tinggi).

Hal ini mengingat risiko koreksi pertumbuhan ekonomi dunia dan berbagai negara dapat terjadi apabila tingginya fragmentasi politik dan ekonomi terus berlanjut, serta pengetatan kebijakan moneter memerlukan waktu yang lebih lama untuk mampu menurunkan inflasi di masing-masing negara.

Stabilitas eksternal akan tetap terjaga, transaksi berjalan diperkirakan berada pada kisaran surplus 0,4% sampai dengan defisit 0,4% dari PDB pada 2023 dan surplus 0,2 sampai dengan defisit 0,6% dari PDB pada 2024,

Sementara neraca modal dan finansial surplus didukung PMA dan investasi portofolio. Ketahanan sistem keuangan tetap terjaga baik dari sisi permodalan, risiko kredit, dan likuiditas. Pertumbuhan kredit akan tumbuh pada kisaran 10-12% pada 2023 dan 2024.

Ekonomi dan keuangan digital juga akan meningkat pada 2023 dan 2024 dengan nilai transaksi e-commerce diprakirakan mencapai Rp 572 triliun dan Rp 689 triliun, uang elektronik Rp 508 triliun dan Rp 640 triliun, dan digital banking lebih dari Rp 67 ribu dan Rp 87 ribu triliun.

 

Baca selengkapnya di:news.detik.com

Tahun Depan Ada Ancaman Resesi, BI Ramal Ekonomi RI Tumbuh 5,3%