1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Pandemi, Inflasi: Bagaimana Gen Z Hadapi Kenyataan Hidup

Betty Herlina | Arti Ekawati | Achmad Wicaksono | Pratama Indra Hermawan
1 September 2022

Pengalaman masih minimalis tapi menghadapi tantangan maksimalis, generasi muda harus putar otak penuhi kebutuhan di tengah inflasi dengan uang dan pengalaman terbatas.

https://p.dw.com/p/4GHcr
Ilustrasi tenaga kerja muda di Jakarta
Ilustrasi tenaga kerja muda di JakartaFoto: Indradona N./DW

Perang Ukraina - Rusia yang menyulut inflasi dan kenaikan harga-harga pangan dan energi tidak hanya membuat pusing para orang tua dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Generasi dewasa muda yang berusia di awal dan pertengahan 20-an atau yang dikenal dengan Gen Z juga ikut pening.

Seolah baru kemarin kebanyakan mereka berada dalam mimpi dan idealisme dunia remaja dengan kebutuhan yang mayoritas dipenuhi orang tua masing-masing. Kini, generasi dewasa muda ini akan segera lulus atau baru saja memasuki dunia kerja. Ibarat punya pengalaman minimalis tapi dihadapkan kepada tantangan maksimalis, para orang muda ini pun harus memeras otak memenuhi kebutuhan harian dengan uang dan pengalaman terbatas.

Rakha contohnya, pemuda berusia 24 tahun ini mengatakan bahwa dengan harga-harga kebutuhan pokok yang kian naik, ia harus berpikir lebih keras agar uangnya tetap cukup.

"Lebih nge-plotting uang mingguan bagaimana beli makanan, kebutuhan bayar listrik, wifi, dan lain-lain. Harus putar otak lebih banyak lagi untuk penuhi semuanya," ujar Rakha kepada DW Indonesia.

Sementara Rizki, 25, yang lulus kuliah di tahun 2019 mengaku sejak saat itu belum berhasil mendapatkan pekerjaan. Tahun-tahun belakangan ia rasakan penuh tantangan karena tidak lama setelah lulus, dunia dilanda pandemi COVID-19 yang justru membuat banyak orang kehilangan pekerjaan.

"Kebetulan 'kan aku lulus tahun 2019, sampai sekarang benar-benar ga dapat kerja. Aku sudah apply semua lowongan, semua jurusan, dan benar-benar ga dapat sama sekali," ungkap Rizki.

Lebih lentur dan tangguh berkat krisis?

Tidak ingin hanya berpangku tangan, Rizki gerak cepat dan berusaha apa pun bisa yang menghasilkan uang secara halal.

"Jadi perjuanganku sekarang jual-jual iPhone bekas, jual-jual pakaian bekas supaya bisa menyambung hidup. Karena jujur mas, harga yang semakin tinggi ini benar-benar bikin susah untuk bisa survive di Jakarta. Jadi ya aku harus ngelakuin segala hal lah," ujarnya.

Pandemi COVID-19 dan krisis ekonomi yang melanda di seluruh dunia, termasuk Indonesia, menjadi krisis pertama yang cukup signifikan dihadapi orang muda berusia awal hingga pertengahan 20 tahun.

Populasi anak muda di Indonesia diketahui hampir seperlima dari total populasi di Indonesia sebanyak 272,5 juta jiwa. Hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 mencatat jumlah anak muda di Indonesia rentang usia 15-24 tahun berjumlah sebanyak 44,7 juta jiwa dan didominasi laki-laki.

Pengamat sosial Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati, mengatakan krisis ini bisa menjadi momen bagi para anak muda untuk melakukan perubahan.

"Pandemi yang berlanjut krisis ekonomi akan membentuk karekter anak muda di Indonesia menjadi seperti bola bekel, ketika dibanting akan melesat, kondisi ini akan membentuk mental anak muda menjadi lebih kuat, karena mereka belajar dari krisis ini," ujar Devie kepada DW Indonesia. 

Devie tidak menampik bahwa jika tidak melakukan perubahan sejak saat ini, dalam 30 tahun ke depan kehidupan anak muda ini tidak akan menjadi lebih baik.

Rawan mengalami kecemasan

Sementara psikolog Kasandra Putranto mengatakan bahwa krisis keuangan yang terjadi setelah pandemi membuat anak muda rentan merasa cemas. Ketidakamanan keuangan dan "siklus ketidakpastian yang negatif" bisa menjadi pemicu stres yang signifikan.

Secara psikologis, berita mengenai kenaikan BBM cenderung dinilai sebagai salah satu berita negatif. Sementara secara kognitif, seseorang butuh waktu lebih lama untuk memproses berita negatif dibandingkan dengan berita positif.

Berita kenaikan BBM yang diikuti naiknya harga-harga barang diakui Fierly, pemuda di Jakarta yang berusia 21 tahun, memang cukup menantang. Ia yang tidak lama lagi akan meninggalkan bangku kuliah pun rela bekerja lebih keras untuk membantu orang tuanya.

"Bantu orang tua dagang, jadi kurir antar pesanan juga, buat nanti mau kerja ya banyak-banyakin skill apa pun karena yang lain juga skill-nya makin tinggi dan persaingan makin ketat saat ini. Perbanyak pengalaman biar kompetitif di dunia kerja nanti," kata Fierly. 

Menghadapi krisis ekonomi memang membuat setiap individu dapat mengenali kelebihan dan kekurangan diri. Kemampuan ini penting untuk dapat mempersiapkan dan mengembangkan diri agar dapat bersaing di dunia kerja.

"Mengetahui kelebihan dan kekurangan diri dapat membantu individu untuk meningkatkan self-awareness atau kesadaran terhadap diri dan menjadi pemandu untuk mengambil langkah selanjutnya," ujarnya.

Perlunya jaminan kerja

Terpisah, psikolog Juneman Abraham mengatakan bahwa dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi pemerintah perlu memberikan jaminan kerja, khususnya bagi anak muda yang baru saja memasuki dunia kerja. Jaminan pekerjaan menjadi komponen penting untuk menanggulangi kemiskinan dan ketidaksetaraan sehingga dapat menjaga stabilitas harga.

Melalui jaminan ini, pemerintah dapat menawarkan pekerjaan kepada siapa saja yang siap dan mau bekerja dengan upah minimum nasional ditambah tunjangan yang diatur undang-undang, menurut Juneman.

"Programnya bersifat universal, tanpa batasan waktu atau pendapatan, jenis kelamin, pendidikan, atau persyaratan pengalaman. Pengangguran bisa masuk dan keluar dari program sesuai dengan kebutuhan dan situasi ekonomi mereka," ujar Juneman kepada DW Indonesia.

Juneman menambahkan jaminan pekerjaan juga dapat menimbulkan persepsi keamanan kerja. Persepsi ini diperlukan untuk memotivasi para penganggur dari hanya pasrah kepada nasib hingga merasa berdaya. Untuk menumbuhkan rasa keberdayaan, pembekalan pengetahuan dan keterampilan yang tepat perlu dibarengi dengan bekal psikologis yang sesuai pula.

"Dalam hal ini, jaminan pekerjaan dapat dilihat sebagai intervensi struktural dengan potensi besar untuk mengintegrasikan pendekatan psikologis yang tepat. Penilaian psikologis sebagai metode seleksi individu untuk penyediaan fasilitas Kartu Prakerja yang selama ini diterapkan pemerintah dipandang kurang komprehensif karena memperkuat stereotip bahwa pengangguran kental dengan masalah individu," ujarnya. (ae)

Reporter DW, Pratama Indra Hermawan
Pratama Indra Hermawan Reporter dan content creator media sosial untuk Deutsche Welle Indonesia.