1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiIndonesia

Jangan Tunggu Darurat untuk Siapkan Dana Darurat

Betty Herlina
17 Oktober 2022

Tidak mudah melihat uang total setara 6-12 bulan kebutuhan hidup 'menganggur' begitu saja. Namun, persiapan dana darurat penting agar terhindar dari utang.

https://p.dw.com/p/4IFcj
Mata uang rupiah
Mata uang rupiahFoto: Reuters

Di tengah naiknya harga pangan dan energi serta lesunya kondisi ekonomi dunia, sebagian generasi Z dan milenial ternyata telah mulai menata pondasi keuangan pribadi mereka, seperti menyiapkan dana darurat.

Beragam cara mereka lakukan mulai dari berhemat hingga berinvestasi kecil-kecilan. Langkah ini dilakukan agar ketika resesi ekonomi yang banyak diprediksi benar-benar datang, mereka pun siap.

Anisa Sopiah salah satunya. Perempuan yang baru saja lulus kuliah dan belum genap sebulan bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta ini mulai menyisihkan penghasilannya. Anisa mengaku khawatir dengan kenaikan harga pangan dan energi.

"Biasa bisa makan nasi lele Rp10 ribu, sekarang Rp15 ribu. Ini sebenarnya yang kita cemaskan, punya uang, tapi yang dibeli mahal. Sementara pendapatan kita hanya segitu saja," ujar Anisa kepada DW Indonesia.

Anisa pun mulai menyiapkan dana cadangan untuk mengantisipasi jika ada kebutuhan mendesak agar tidak berutang.

"Minimal saat butuh tidak meminjam dengan orang, tapi jumlahnya tidak banyak, karena 'kan baru kerja. Sebagian sudah terpakai untuk kebutuhan sehari-hari saat belum dapat kerja kemarin," imbuh Anisa.

Dana pengaman untuk cegah utang

Perencana finansial Melvin Mumpuni mengakui bahwa dibandingkan dengan para pendahulunya, generasi sekarang memang lebih melek finansial. Hal ini bisa dilihat dari mulai maraknya orang dewasa muda yang menyiapkan dana darurat. Menurut Elvin, dana darurat adalah salah satu dasar atau pondasi keuangan.

Dana darurat adalah dana yang harus dicadangkan terpisah untuk kebutuhan darurat, dan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal 6-12 bulan. Menurutnya, pos dana darurat wajib ada dan menjadi indikator sehatnya kondisi keuangan seseorang.

"Dana ini wajib ada, bukan hanya karena resesi. Jadi ketika (ada keperluan) mendesak tidak utang, kalau utang kondisi keuangannya tidak sehat. Kurangi pengeluaran dan cari tambahan penghasilan kemudian alokasikan untuk dana darurat," ujar Melvin kepada DW Indonesia.

Pendek kata: "Dana darurat itu adalah dana atau uang yang kita cadangkan untuk kondisi-kondisi darurat seperti PHK dan lainnya," ujar Melvin. 

Melvin mengatakan, penting bagi setiap orang untuk memeriksa kesehatan keuangan masing-masing. Selain pos dana darurat, indikator lainnnya adalah dengan melihat apakah penghasilan lebih besar daripada pengeluaran. Sudah memiliki asuransi atau belum. Serta besar kecilnya jumlah cicilan.

"Jika ada yang belum sehat, apakah jumlah dana daruratnya belum ideal untuk 6 bulan, cicilan yang masih terlalu besar, coba sehatin dulu keuangannya. Mau resesi atau tidak, cicilan tetap harus diselesaikan, dan dana darurat tetap harus diadakan," terangnya.

Masih sering tergoda diskon

Memang tidak mudah rasanya melihat uang dengan total setara 6 hingga 12 bulan kebutuhan 'menganggur' begitu saja. Itu juga yang dirasakan Kristianto, pekerja salah satu perusahaan swasta di Bali.

Kris mengaku sudah memiliki dana darurat yang disimpan dalam bentuk deposito dan saham sehingga dapat ditarik di waktu mendesak. "Ada, tapi belum cukup untuk hidup selama 6 bulan, karena masih tergoda diskon market place," katanya.

Ia mengaku khawatir jika resesi terjadi. Namun, ia optimis Indonesia mampu melewati hal tersebut karena resesi sudah pernah terjadi beberapa kali di tahun-tahun sebelumnya.

"Sepanjang masih ada pesta diskon di market place dan tiket penerbangan terjangkau, masih aman menurut saya. Yang dikhawatirkan itu uangnya ada tapi tidak bisa digunakan untuk membeli, karena mahal," tuturnya.

Stagflasi

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengatakan tidak ada negara yang benar-benar terbebas dari resesi. Sepanjang tahun 2020, Indonesia sudah mengalami stagflasi, yakni kondisi di mana pertumbuhan ekonomi lamban dan angka pengangguran tinggi. Selain itu, harga barang naik tapi tidak diimbangi dengan pembukaan lapangan kerja baru, akibatnya pendapatan masyarakat tertekan.

Kondisi ini juga barengi bertambahnya populasi masyarakat miskin di Indonesia. Bank Dunia menetapkan angka garis kemiskinan menjadi Rp986.850 per kapita per bulan (dengan asumsi kurs dollar Rp15.300). Sementara pemerintah Indonesia menggunakan standar terendah mengacu kepada Badan Pusat Statistik Rp505 ribu per kapita per bulan. Akibatnya 13 juta masyarakat kelas menengah yang merupakan masyarakat kelas rentan, masuk dalam kategori miskin.

"Ini akan terjadi hingga 2 atau 3 tahun ke depan, pengaruh perang, komoditas turun, modal asing keluar. Ini menjadi badai yang sempurna. Belum lagi masyarakat kelas rentan tidak mendapatkan subdisi karena tidak dialokasikan," paparnya.

Bhima mengingatkan masyarakat untuk mulai hidup berhemat dan mencari sumber pendapatan sampingan untuk mengantisipasi masa-masa sulit ke depan. (ae)