1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikThailand

Ribuan Massa Unjuk Rasa usai Pita Gagal Jadi PM Thailand

24 Juli 2023

Partai-partai progresif berhasil memenangkan pemilu Thailand, tetapi anggota parlemen yang tidak terpilih berhasil menghalangi Pita Limjaroenrat untuk jadi perdana menteri.

https://p.dw.com/p/4UILn
Aksi unjuk rasa di Bangkok setelah Pita gagal jadi PM Thailand
Pita Limjaroenrat gagal jadi PM Thailand, setelah dijegal para Senat yang tradisionalisFoto: Andrea Capello/NurPhoto/IMAGO

Di Thailand, ribuan pengunjuk rasa pro-demokrasi berkumpul pada hari Minggu (23/07) untuk menunjukkan dukungan mereka kepada Pita Limjaroenrat, di mana upaya terakhir Pita untuk menjadi perdana menteri (PM) telah digagalkan minggu lalu.

"Pita! Pita! Pita!" teriak para pengunjuk rasa di pusat Kota Bangkok. Salah satu pendukung mengatakan, "kami akan terus berjuang ... tidak peduli berapa bulan lagi kami harus mendukung prinsip-prinsip demokrasi ini."

Pita tersandung dukungan Senat

Blok oposisi sebenarnya telah menguasai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang beranggotakan 500 orang. Namun, suara mayoritas DPR belum cukup untuk mengalahkan suara Senat yang beranggotakan 250 orang, di mana sebagian besar para Senat ditunjuk oleh militer Thailand.

Para Senat telah berhasil menghalangi pemimpin Partai Move Forward (MFP) Pita sebanyak dua kali, untuk menjadi pemimpin pemerintahan baru Thailand.

Partai antikemapanan yang dipimpin oleh Pita sebelumnya telah berhasil memenangkan pemilu bulan Mei lalu dan membentuk koalisi delapan partai yang juga mencakup partai populis Pheu Thai.

Aksi unjuk rasa di Bangkok setelah Pita gagal jadi perdana menteri
Para pengunjuk rasa menerjang hujan lebat untuk menunjukkan kekecewaan mereka terhadap para anggota Senat.Foto: Andrea Capello/NurPhoto/IMAGO

Namun, karena para anggota Senat telah menentang pencalonan Pita menjadi PM Thailand, negara ini kini tengah menghadapi kebuntuan politik yang tidak stabil.

Pemenang pemilu diblokir secara efektif

Pada pemilu bulan Mei lalu, MFP mendapat dukungan kuat dari para pemilih muda dengan ide proposal reformasi militer, mengakhiri monopoli bisnis, dan mengubah undang-undang penghinaan terhadap kerajaan Thailand, yang menghalau warga untuk mengkritik kerajaan.

Pita dan koalisi delapan partainya telah berhasil mengantongi suara mayoritas 312 kursi di DPR yang beranggotakan 500 orang. Namun, anggota Senat, yang terdiri dari kaum konservatif, elit tua, dan para kaum monarki pembela nilai-nilai kerajaan tradisional, merasa terancam dengan kampanye partai Pita tersebut.

Di bawah konstitusi yang diberlakukan oleh militer, seorang perdana menteri baru harus mendapat dukungan mayoritas gabungan dari majelis rendah dan majelis tinggi.

Senat secara terbuka telah menolak untuk mendukung pria lulusan Harvard berusia 42 tahun itu pada hari Rabu (19/07). Bahkan minggu sebelumnya, Pita juga telah gagal meraih dukungan yang cukup setelah puluhan senator tidak hadir dalam pemungutan suara.

Partai Pheu Thai akan mengajukan calon PM berikutnya

Pemungutan suara berikutnya akan dijadwalkan pada hari Kamis (27/07), tetapi sayangnya Pita tidak dapat dicalonkan kembali. Kali ini, sekutu koalisi Partai Pheu Thai yang akan mengajukan calon PM Thailand yang baru.

Tiga calon pengganti Pita yang mungkin diajukan oleh partai ini yakni Srettha Thavisin; Paetongtarn Shinawatra, putri dari mantan PM Thaksin Shinawatra, yang digulingkan oleh kudeta militer tahun 2006; dan Chaikasem Nitsiri, seorang ahli strategi di partai tersebut.

Pheu Thai juga tidak menutup kemungkinan bahwa MFP dapat dikeluarkan dari koalisi, demi berhasil membentuk pemerintahan baru. 

Paetongtarn Shinawatra dari Partai Pheu Thai
Paetongtarn Shinawatra akan jadi salah satu calon pengganti Pita dari Partai Pheu Thai.Foto: Sakchai Lalit/AP Photo/picture alliance

Pada hari Sabtu (22/07) dan Minggu (23/07), Partai Pheu Thai bertemu dengan beberapa partai yang memilih pemimpin junta militer Prayuth Chan-o-cha sebagai perdana menteri tahun 2019.

Pheu Thai digulingkan dari kekuasaan sebanyak dua kali oleh militer. Satu kali pada masa pemerintahan mantan PM Thaksin Shinawatra pada tahun 2006 dan delapan tahun kemudian, ketika saudara perempuannya, Yingluck Shinawatra, menjadi perdana menteri.

Thaksin Shinawatra kini tengah berada di pengasingan untuk menghindari hukuman penjara atas penyalahgunaan kekuasaan yang menurutnya bermotif politik.

Kemenangan MFP pada pemilu bulan Mei lalu merupakan suara dukungan atas keinginan di kalangan anak muda, untuk melakukan perubahan struktural yang mendalam setelah sembilan tahun pemerintahan Thailand di bawah militer.

Militer Thailand telah melakukan lebih dari belasan kudeta sejak negara ini secara resmi menjadi negara monarki konstitusional pada tahun 1932.

kp/ha (AP, Reuters)