1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikThailand

Gagal Jadi PM Thailand, Pita Kejar Dukungan di Putaran Kedua

18 Juli 2023

Setelah gagal menjadi Perdana Menteri Thailand, Pita Limjaroenrat bertekad menggalang dukungan untuk pemungutan suara berikutnya.

https://p.dw.com/p/4U20X
Pemimpin MFP Pita Limjaroenrat
Pita kejar dukungan, setelah digagalkan jadi PM Thailand oleh anggota parlemen minggu laluFoto: Athit Perawongmetha/REUTERS

Calon Perdana Menteri (PM) Thailand Pita Limjaroenrat pada hari Senin (17/07) bertekad untuk terus menggalang dukungan pencalonan dirinya kembali pada putaran selanjutnya, setelah para senat yang ditunjuk militer berhasil menggagalkan upaya pertamanya.

Para anggota parlemen Thailand yang berkuasa menganggap janji Partai Move Forward (MFP) di bawah kepemimpinan Pita, untuk mereformasi undang-undang pencemaran nama baik kerajaan itu, sebagai sebuah garis merah. Alhasil, pencalonan politisi lulusan Harvard tersebut kalah 51 suara pada pekan lalu.

Pita bakal kembali mencalonkan diri

Pita mengatakan bahwa koalisi delapan partai yang mendukungnya telah setuju untuk mencalonkan kembali dirinya dalam pemungutan suara kedua, yang akan berlangsung pada hari Rabu (19/07). Pita kini tengah mengumpulkan dukungan dari para senator yang pada putaran pertama belum memberikan dukungan kepadanya.

"Kami masih terus berdialog untuk mendapatkan lebih banyak dukungan," kata Pita kepada para wartawan. Pita mengatakan bahwa masih "ada beberapa yang tidak hadir dalam pemungutan suara karena ada tugas lain," seraya menambahkan bahwa "masih ada kemungkinan mereka akan memberikan suara."

Pemimpin MFP Pita Limjaroenrat
Koalisi delapan partai setuju calonkan Pita kembali pada putaran selanjutnyaFoto: Athit Perawongmetha/REUTERS

MFP berhasil memenangkan hampir 40 persen suara dalam jajak pendapat pada pemilu Thailand bulan Mei lalu, tapi upaya Pita untuk membentuk pemerintahan baru telah dihalangi oleh para pendukung pemerintah Thailand yang masih berkuasa saat ini.

Para senat yang ditunjuk oleh junta militer secara terang-terangan menentang proposal MFP untuk melunakkan undang-undang pencemaran nama baik kerajaan, di mana para pelanggarnya dapat dipenjara hingga 15 tahun.

Pita terancam didiskualifikasi

Pada pemungutan suara pertama minggu lalu, hanya 13 anggota dari 250 anggota parlemen yang memberikan dukungan untuk Pita.

Pada hari Rabu (19/07), Mahkamah Konstitusi Thailand juga akan memberikan keputusan mengenai apakah Pita, 42, harus didiskualifikasi dari parlemen sepenuhnya karena memiliki saham di sebuah perusahaan media, yang dilarang bagi anggota parlemen di bawah konstitusi Thailand.

Pita, yang memperoleh kekayaannya dari bisnis agrifood yang dikelola keluarga, mengatakan bahwa saham tersebut diwarisi dari ayahnya. Stasiun televisi ini sudah tidak mengudara sejak tahun 2007.

Pita mengatakan pada hari Senin (17/07) bahwa dia tidak terpengaruh oleh kasus dugaan Mahkamah Konstitusi yang menentangnya pada hari yang sama ketika dia mengajukan diri untuk mengikuti pemilihan anggota parlemen kembali.

"Ini tidak memengaruhi pencalonan saya sebagai perdana menteri," tegas Pita.

Rencana untuk "menggulingkan” monarki

Pengadilan Thailand juga telah setuju untuk menyidangkan kasus yang menuduh janji kampanye MFP untuk mengamandemen undang-undang pencemaran nama baik kerajaan sebagai rencana untuk "menggulingkan" monarki konstitusional.

Berbagai rintangan yang dihadapi oleh pencalonan Pita sebagai pemerintah baru, telah membuat para pendukungnya kecewa karena banyak dari mereka menginginkan reformasi progresif setelah sembilan tahun pemerintah Thailand yang didukung oleh militer sejak kudeta tahun 2014.

"Apa yang saya inginkan adalah agar para senat menghormati suara dukungan kami," kata seorang pekerja ritel, Preaw Roengsart, 28 tahun, kepada AFP. "Saya merasa ini adalah momentum kami. Jika kami tidak keluar dan bersuara saat ini, maka suara kami akan selamanya dibungkam," tambahnya.

Tak hanya dalam negeri, pemilihan umum Thailand kali ini juga menarik perhatian internasional, termasuk Washington.

"Kami mengamati dengan seksama perkembangan pascapemilu. Itu termasuk perkembangan terbaru dalam sistem hukum, yang menjadi perhatian," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Matthew Miller kepada para wartawan.

"Kami percaya bahwa saat ini adalah kesempatan bagi Thailand untuk menunjukkan komitmennya terhadap demokrasi," tambah Miller.

kp/ha (AFP)