1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Politisi Belanda Dilarang Masuk Inggris

12 Februari 2009

Tokoh populis kanan Belanda dan pembuat film kontroversial “Fitna“, Geert Wilders, ditolak masuk ke Inggris, dengan alasan keamanan. Saat ini Wilders juga menghadapi tuntutan hukum dengan tuduhan menghasut masyarakat.

https://p.dw.com/p/Gt4i
Geert Wilders, Ketua Partai Kebebasan Belanda PVV.
Geert Wilders, Ketua Partai Kebebasan Belanda PVV.Foto: Picture-Alliance /dpa

Kamis (12/02) di bandara Schipol, Amsterdam, dengan penuh percaya diri ketua Partai Kebebasan Belanda PVV Geert Wilders, melangkah masuk ke pesawat menuju London. Tokoh populis kanan yang menyebabkan kemarahan dunia Islam akibat film kontroversialnya “Fitna“ itu di depan media menjelaskan bahwa dirinya berkeras berangkat ke London walau pun telah menerima surat cekal dari pemerintah Inggris.

“Saya berharap, saya dapat memasuki Inggris. Jika tidak kesampaian, saya mengharapkan pemerintah Belanda mengajukan protes yang disampaikan oleh perdana menteri secara pribadi,” ungkapnya.

Setibanya Wilders di bandara Heathrow, London, Wilders langsung dihadang petugas imigrasi dan diminta masuk ke ruangan khusus. Tidak sampai satu jam, Wilders harus meninggalkan Inggris, dinyatakan petugas imigrasi. “Saya benar-benar tidak diizinkan memasuki Inggris,” tukas tokoh populis kanan Belanda tersebut kepada kantor berita Reuters, naik pitam.

“Hari ini merupakan hari yang menyedihkan, bukan hanya bagi saya, tapi juga bagi kebebasan berpendapat, “katanya kepada media.

Sehari sebelumnya, Wilders menerima surat dari kedutaan besar Inggris di Den Haag, bahwa pemerintah di London menyampaikan keberatan terhadap rencana keberangkatan Wilders ke Inggris. “Di dalamnya ada surat dari menteri dalam negeri Inggris, bahwa saya dinyatakan persona non grata. Saya tidak diterima di Inggris.”

Pemerintah Inggris memutuskan untuk mencekal Wilders setelah pengadilan Belanda memutuskan bahwa Wilders harus menghadapi tuntutan hukum dengan tuduhan memicu kekerasan dan kebencian dan mempraktikkan diskriminasi.

Alasan keberangkatan Wilders ke Inggris adalah memenuhi undangan politisi ultra konservatif Inggris, Malcolm Pearson, yang mengadakan pemutaran film kontroversialnya “Fitna“ di MPR di London. Dalam “Fitna”, Wilders menggabungkan potongan-potongan video rekaman serangan 11 September di Amerika Serikat, serangan bom Madrid dan bom London, diiringi dengan pembacaan sejumlah ayat al Qur'an. Wilders menyebut al Qur'an sebagai “buku fasis”.

Hubungan Inggris-Belanda Menegang

"Fitna" menyandingkan serangan teror dengan sitiran ayat al Qur'an.
"Fitna" menyandingkan serangan teror dengan sitiran ayat al Qur'an.Foto: picture-alliance/ dpa

Kasus ditolak masuknya Wilders sempat menimbulkan ketegangan diplomatik antara Inggris dan Belanda. Pemerintah Belanda menyampaikan protes atas ditolak masuknya seorang politisi anggota parlemen Belanda ke Inggris.

“Patut disesali mengapa seorang anggota parlemen Belanda ditolak masuk ke suatu negara anggota Uni Eropa,“ ungkap Menteri Luar Negeri Belanda Maxime Verhagen dalam pernyataannya di situs kedutaan besar Belanda di London.

Wilders saat ini tengah menghadapi persidangan di Belanda karena menyebarkan kampanye anti Islam. Film pendeknya yang disebarluaskan di internet Maret tahun lalu, dikritik tajam oleh pemerintah Belanda.

Menteri Luar Negeri Inggris David Miliband kepada stasiun penyiaran Inggris BBC mengatakan bahwa “Fitna“ merupakan film penuh kebencian yang didesain untuk memprovokasi kebencian terhadap agama dan ras dan itu tidak sesuai dengan hukum di Inggris.

Komisi Eropa: Inggris Berhak Memutuskan

Pejabat Komisi Eropa mengatakan bahwa negara anggotanya berhak untuk menolak masuk warga Uni Eropa lainnya jika diminta publik, serta mengancam kesehatan dan keamanan publik.

Namun, orang yang ditolak masuk harus diberikan penjelasan mendalam mengapa dia ditolak dan orang yang dicekal dapat mengajukan keberatan, seperti yang diungkapkan juru bicara komisi hukum Uni Eropa Michele Cercone.

Pejabat Komisi Eropa menolak mengomentari kasus Wilders, dan menambahkan bahwa itu merupakan kebijakan masing-masing negara anggota.

Dicekalnya Wilders di Inggris mendapatkan dukungan penuh dari kelompok warga muslim di Inggris, yang menyebut Wilders sebagai “penyebar kebencian“.(ls)