1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Panel Surya Booming di Seluruh Dunia, Negara Mana Terdepan?

2 Oktober 2024

Fotovoltaik kini menyumbang enam persen dari bauran listrik global dan perluasannya terus berlanjut. Negara mana saja yang sudah melakukan upaya maju dan apa dampaknya terhadap iklim?

https://p.dw.com/p/4lKY1
Photovoltaik
Fotovoltaik kini menyumbang enam persen dari bauran listrik global dan perluasannya terus berlanjut. Foto: Hu Huhu/Xinhua/dpa/picture alliance

Permintaan energi global semakin meningkat dan energi surya mencakup porsi yang semakin besar. Meskipun batu bara (35 persen) dan gas (22 persen) masih menyumbang kontribusi terbesar dalam pembangkitan listrik di seluruh dunia, kombinasi sumber energi kini berubah.

Pada tahun 2015, tenaga surya hanya menyumbang satu persen dari bauran listrik global, namun kini telah meningkat menjadi enam persen. Trennya meningkat tajam. Seberapa cepat kemajuan ekspansi ini dan siapa yang menjadi yang terdepan?

Berapa banyak pembangkit listrik tenaga surya yang sedang dibangun?

Pada tahun 2023, sistem fotovoltaik baru dengan total keluaran energi mencakup sebesar 447 gigawatt (GW) dibangun di seluruh dunia.

Menurut organisasi payung industri tenaga surya Eropa, SolarPower Europe, hal ini meningkatkan pembangkit listrik tenaga surya global sebesar 38 persen menjadi 1.624 gigawatt (GW) hanya dalam satu tahun.

Pada periode yang sama, perluasan pembangkit listrik tenaga angin (+117 GW) dan pembangkit listrik tenaga batu bara (+70 GW), yang terhubung ke jaringan listrik terutama di Cina dan India, jauh lebih kecil.

Hanya terdapat sedikit ekspansi pada pembangkit listrik tenaga air (+7 GW), gas alam (+6 GW) dan biomassa (+4 GW). Kapasitas energi nuklir global turun dua GW pada tahun 2023 karena lebih banyak pembangkit listrik tua yang dinonaktifkan.

Menurut semua perkiraan, perluasan tenaga surya akan terus tumbuh secara signifikan di seluruh dunia dalam beberapa tahun mendatang.

Dalam lima tahun ke depan, 20 persen lebih banyak sistem dapat dibangun setiap tahunnya. Inilah yang diprediksi oleh SolarPower Europe dalam skenario jangka menengah dari Global Market Outlook For Solar Power.

Pada tahun 2028, kapasitas terpasang tenaga surya di seluruh dunia akan mencapai 5.117 GW dan oleh karena itu akan lebih besar dari kapasitas terpasang seluruh pembangkit listrik tenaga batu bara, gas, minyak, dan nuklir saat ini, yaitu sekitar 4.930 GW.

Penurunan biaya mempercepat perluasan tenaga surya

Secara khusus, produksi massal di pabrik-pabrik Cina telah menurunkan harga modul secara drastis. Ini berarti biaya pembangkit listrik tenaga surya telah turun lebih dari 80 persen di seluruh dunia dalam 15 tahun terakhir. Di sebagian besar wilayah, tenaga surya kini menjadi energi termurah.

Di wilayah yang cerah, tenaga surya dapat dihasilkan di taman surya dengan biaya 3,5 hingga 5,4 sen euro per kWh. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian terbaru yang dilakukan Fraunhofer ISE.

Di negara-negara miskin sinar matahari seperti Jerman, biaya pembangkitan listrik di taman surya sekitar 4,1 hingga 6,9 sen per kWh – jauh lebih kecil dari setengah biaya listrik pembangkit listrik tenaga gas, batu bara, atau nuklir baru.

Panel Surya yang Lebih Efisien Upaya Jerman untuk Kembali Berjaya

Seberapa cepat ekspansi tenaga matahari terjadi di berbagai negara?

Ekspansi tenaga surya terus booming, terutama di Asia dan khususnya di Cina. Pada tahun 2023, sistem tenaga surya dengan output sebesar 253 GW baru tersambung ke jaringan listrik, sehingga meningkatkan kapasitas nasional menjadi 656 GW.

Menurut International Energy Agency (IEA), sistem tenaga surya kini memenuhi sekitar sepuluh persen kebutuhan listrik Cina. Kapasitas tambahan sebesar 299 GW diharapkan dapat ditambahkan pada tahun ini.

Hingga saat ini, Cina memperoleh 61 persen energinya dari batu bara dan merupakan salah satu penghasil emisi CO2 terbesar.

Lembaga pemikir Inggris, EMBER, berasumsi bahwa pembangkit listrik tenaga batu bara di Cina akan turun dan emisi CO2 juga akan turun.

Fotovoltaik juga diperluas di negara lain. Australia akan membangun kapasitas tenaga surya sebesar 36 GW pada akhir tahun 2023, yang menghasilkan 15 persen listriknya.

Di Jepang, dengan kapasitas tenaga surya sebesar 90 GW, jumlah tersebut setara dengan dua belas persen dari kebutuhan nasional dan di India (90 GW) sekitar sebelas persen.

Dengan kapasitas terpasang fotovoltaik sebesar sembilan GW, Chile memenuhi sekitar 20 persen kebutuhan listriknya, Brazil (39 GW) sebelas persen, dan Amerika Serikat (173 GW) dan Meksiko (11 GW) masing-masing enam persen.

Uni Eropa (UE) secara keseluruhan akan memiliki kapasitas tenaga surya sebesar 269 GW pada akhir tahun 2023. Pangsa tenaga surya dalam bauran listrik UE kini sekitar sepuluh persen.

Tenaga surya menyumbang 21 persen dari gabungan listrik di Spanyol (36 GW), Belanda (33 GW) dan Yunani (7 GW). Di Jerman (92 GW) sekitar 14 persen listrik dihasilkan, di Polandia (17 GW) dua belas persen dan Bulgaria (4 GW) sekitar sebelas persen.

Potensi tenaga surya sangat besar terutama di kawasan yang cerah seperti Afrika dan Timur Tengah, namun sejauh ini pemanfaatannya di sana relatif sedikit.

Namun menurut perkiraan Solarpower Europe, hal itu akan berubah dengan cepat. Pada tahun 2028, kapasitas pembangkit listrik tenaga surya akan ditingkatkan empat kali lipat dari saat ini 48 GW menjadi 222 GW.

Turki (11 GW), Afrika Selatan (6 GW) dan Uni Emirat Arab (5 GW) masing-masing memenuhi sekitar tujuh persen kebutuhan listrik mereka dengan energi surya. Israel mempunyai keluaran tenaga surya sebesar 4 GW, yang cukup untuk 15 persen kebutuhan listriknya, dan di negara minyak Arab Saudi (3 GW) hanya sekitar dua persen.

Dikutip dari Kompas, kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Indonesia termasuk yang rendah di kawasan ASEAN atau Asia Tenggara.

Menurut laporan Global Energy Monitor dalam A Race to the Top: Southeast Asia 2024, kapasitas terpasangang PLTS di Indonesia baru mencapai 21 megawatt (MW).

Angka tersebut membuat Indonesia menempati peringkat kedelapan dan 11 negara anggota ASEAN yang dinilai dalam laporan tersebut.Capaian Indonesia tersebut bahkan lebih rendah daripada Singapura, yang memiliki PLTS dengan kapasitas terpasang 186 MW.

Apakah sinar matahari cukup untuk mencapai batas 1,5 derajat?

Para peneliti telah menghitung bagaimana bumi dapat disuplai sepenuhnya dengan energi terbarukan dengan biaya rendah. Tenaga surya khususnya memainkan peran penting.

Menurut penelitian yang dipublikasikan di majalah ilmiah ScienceDirect, dibutuhkan modul surya dengan kapasitas terpasang 104.000 gigawatt di seluruh dunia, 50 kali lebih banyak dari kapasitas terpasang saat ini.

Para ahli tenaga surya meyakini bahwa konversi ini mungkin terjadi pada tahun 2050, bahkan lebih awal jika perluasan energi matahari dipercepat.

Namun selain itu, CO2 juga harus dienyahkan dari atmosfer, demikian menurut laporan PBB. Jika tidak, tujuan Perjanjian Iklim Paris yang membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat dibandingkan masa praindustri tidak dapat dipertahankan lagi.

Diadaptasi dari artikel DW bahasa Jerman, tambahan sumber data dari Kompas