1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tarif AS untuk Panel Surya Asia Tenggara Untungkan UE?

David Hutt
5 September 2024

Tingginya tarif impor di AS untuk panel surya buatan Cina di Asia Tenggara ikut berimbas ke pasar dunia. Kendati merugikan produsen lokal, banjirnya panel murah bisa membantu agenda hijau UE dan di wilayah lain.

https://p.dw.com/p/4kIFY
Tig pekerja berada di atap sebuah rumah untuk memasang panel surya
Instalasi panel suryaFoto: Bildagentur-online/picture alliance

Perusahaan surya milik Cina yang beroperasi di Asia Tenggara, khususnya di Thailand, Vietnam, Malaysia dan Kamboja, ikut terdampak oleh lonjakan pajak impor di Amerika Serikat.

Negara-negara ini menyumbang sekitar 40 persen kapasitas produksi modul surya di luar Cina, dan sebabnya mungkin akan segera dikenai tarif tambahan di tengah tuduhan membantu Cina dalam menghindari bea masuk AS.

Sebagai reaksi, perusahaan Cina mulai mengurangi operasi di Asia Tenggara. Melambatnya pertumbuhan produksi ini pada akhirnya mempersulit upaya Uni Eropa untuk memperluas kapasitas energi suryanya.

Asia Tenggara adalah produsen panel sura terbesar kedua di dunia setelah Cina. Kawasan ini menyumbang lebih dari 80 persen impor surya AS pada kuartal keempat tahun 2023, menurut S&P Global Market Intelligence.

Pada tahun 2022, Presiden Joe Biden memerintahkan penangguhan tarif selama dua tahun untuk impor panel surya dari Malaysia, Thailand, Kamboja, dan Vietnam. Langkah ini diambil untuk tidak memperlambat transformasi energi hijau, sementara kapasitas manufaktur domestik ditingkatkan.

Namun, moratorium ini berakhir pada Juni 2024, yang memicu reaksi langsung dari produsen panel surya besar milik Cina.

Pada bulan yang sama, perusahaan fotovoltaik Cina Longi Green mengumumkan penangguhan produksi di pabrik baterai di Vietnam, sementara Trina Solar memulai penghentian pemeliharaan di fasilitasnya di Thailand dan Vietnam.

Panel Surya yang Lebih Efisien Upaya Jerman untuk Kembali Berjaya

Tarif mendorong diversifikasi produksi di Asia Tenggara

Beberapa produsen telah mengalihkan produksi ke Indonesia dan Laos, yang saat ini tidak mendapat tarif AS. Indra Overland, kepala Pusat Penelitian Energi di Institut Urusan Internasional Norwegia, mengatakan kepada DW bahwa tarif dapat mendorong diversifikasi industri di Asia Tenggara.

Menurutnya, kekhawatiran tentang masa depan industri surya masih tergolong tinggi. Awal tahun ini, Departemen Perdagangan AS melancarkan penyelidikan mengenai apakah produsen panel surya di empat negara Asia Tenggara tersebut menerima subsidi pemerintah dan melakukan dumping produk di pasar AS.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Pada bulan Agustus, Bloomberg melaporkan bahwa beberapa perusahaan AS melobi tarif setinggi 272 persen untuk semua impor panel surya dari negara-negara tersebut.

"Ada kekhawatiran, terutama jika Donald Trump terpilih kembali, tentang stabilitas pilihan manufaktur alternatif ini," kata Deborah Elms, kepala kebijakan perdagangan di Hinrich Foundation di Singapura, kepada DW.

"Jika pemerintah AS mengincar produk dengan konten China, pabrik di Vietnam dan tempat lain akan menghindari ekspor panel surya ke AS," tambahnya. "Ada kemungkinan, meskipun saat ini kecil kemungkinannya, bahwa UE akan melakukan hal yang sama, yang akan melemahkan iklim bisnis dan investasi di Asia Tenggara."

Selama setahun terakhir, dua perusahaan panel surya terbesar di dunia, Jinko Solar dan TCL Zhonghuan, telah mengumumkan investasi signifikan di Timur Tengah.

Proteksi di AS, keterbukaan di UE

Analis percaya bahwa perusahaan Cina belum akan meninggalkan Asia Tenggara dalam waktu dekat. Meskipun tarif yang meninggi, mereka masih bisa mendapat untung dari pasar Amerika Serikat.

UE sebenarnya juga telah menaikkan tarif pada impor surya Cina, namun kenaikannya lebih lunak dalam kasus impor dari Asia Tenggara.

Lawan Lonjakan Harga di Inggris dengan Panel Surya

Dalam hal ini, AS dan UE memiliki tujuan yang berbeda. "AS berfokus pada pembangunan produksi dalam negeri, sementara prioritas Eropa adalah memastikan ada cukup panel yang tersedia di pasar,” kata Elms.

Meskipun beberapa produsen panel surya telah menutup operasi di Malaysia, Vietnam, dan Thailand, banyak yang tetap buka dan ingin meningkatkan ekspor ke India dan Eropa.

Analis memperingatkan bahwa surplus panel surya yang diproduksi di Asia Tenggara dapat mengubur industri surya domestik di UE. Menurut Wood Mackenzie, modul surya buatan UE berharga sekitar USD0,34 per watt, dibandingkan dengan USD0,15 per watt di Cina dan Asia Tenggara.

Keuntungan bagi agenda hijau Eropa

Namun di sisi lain, berkurangnya ekspor solar dari Asia Tenggara ke AS karena tarif dapat menyebabkan penurunan harga karena produsen Cina akan mencari pasar baru. "Panel solar Asia Tenggara dapat membanjiri pasar UE karena mereka terdesak keluar dari AS," kata Overland.

Dampak tambahan dari kenaikan tarif AS dapat berupa peningkatan ketersediaan panel solar di Asia Tenggara di UE. "Ini akan menjadi perkembangan yang positif," kata Overland, "karena negara-negara ini tertinggal dalam transisi energi. Lebih banyak panel juga cenderung dialihkan ke wilayah berkembang lainnya, yang merupakan hal yang menguntungkan."

rzn/yf