1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Organisasi Islam Ingin Mencetak Imam "Made in Germany"

Christoph Strack
22 Januari 2024

Pendidikan imam berkurikulum Jerman sejak lama menjadi kerikil dalam hubungan antara pemerintah dan organisasi Islam. Kini, konflik tersebut mulai mencair seiring regenerasi dan perubahan paradigma.

https://p.dw.com/p/4bXJL
Para imam didikan DITIB di Berlin
Para imam didikan DITIB di BerlinFoto: Christoph Strack/DW

Osman Soyer akhirnya bisa secara resmi menyebut diri sebagai "seorang utusan agama," kata dia saat diwawancara DW di ruang bawah Masjid Sehitlik, Berlin, Jerman. Beberapa saat sebelumnya, dia dibaiat dalam sebuah seremoni kelulusan, di mana para imam mendapat sebuah Kaftan yang dipadukan dengan sebuah peci berwarna putih.

Pria berusia 32 tahun ini termasuk salah satu dari 28 individu yang menyelesaikan pendidikan sebagai imam oleh organisasi Islam Turki terbesar di Jerman, DITIB. Sejak pertengahan Januari, mereka mulai bekerja di masjid-masjid yang dikelola oleh DITIB. Soyer sebelumnya bekerja di sebuah masjid di Kota Bonn. Menurutnya, status sebagai imam menggariskan tugas sosial yang besar.

"Saya mengajar murid sekolah, saya adalah muadzin, pengkhotbah dan sekaligus memberikan nasehat agama. Kami juga mengurus pernikahan atau pemakaman," tukasnya.

Soyer berasal dari keluarga migran. Orang tuanya berpindah dari Turki ke Jerman pada tahun 1972. Ayahnya bekerja sebagai buruh pabrik di perusahaan otomotif Opel.

Ustazah didikan DITIB Jerman
DITIB juga mendidik kaum perempuan untuk mengajar di masjid-masjid JermanFoto: Christoph Strack/DW

DITIB mengaku pihaknya mengelola sekitar 900 masjid di Jerman. Organisasi ini menginduk kepada Diyanet, badan urusan agama Islam milik pemerintah Turki. Sejak lama, Diyanet membiayai pengiriman imam-imam masjid dari turki ke Jerman. Ikatan tersebut terbukti problematis, karena para imam seringkali tidak bisa berbahasa Jerman dan acap mengamplifikasi propaganda politik pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan.

Bahasa sebagai fondasi sosial

Dengan membiayai sendiri pendidikan imam di Jerman, Sektretaris Jendral DITIB, Eyup Kalyon, mengaku betapa organisasinya telah menggariskan kebijakan baru, yakni "menawarkan jasa" untuk memenuhi kebutuhan kaum muslim di Jerman, baik warga Turki atau warga lain. Dengan cara itu, DITIB ikut memperkuat "tenun kemasyarakatan" di Jerman, kata Kalyon.

Di masa depan, bahasa Jerman "akan lebih diperkuat dan dinomersatukan," imbuhnya. "Bahasa Jerman akan menjadi bahasa pemersatu, terutama bagi warga muslim. Sebab itu, bahasa pendidikan kami adalah Bahasa Jerman."

Tuntutan untuk mendidik imam yang memampu berbahasa dan memahami konteks kehidupan muslim di Jerman bukanlah hal baru. Selama ini, imam atau pengkhotbah di masjid-masjid Jerman kebanyakan berbahasa Arab atau Turki. Akibatnya, sebagian warga muslim tidak memahami isi ceramah yang disampaikan.

Kondisi ini juga mempersulit pemerintah mengawasi atau membatasi upaya radikalisasi remaja muslim di masjid-masjid.

Sejauh ini, hanya komunitas Ahmadiyah yang sejak 2008 menawarkan pendidikan imam dengan kurikulum Jerman. Adapun DITIB baru memulai sekitar empat tahun silam. Tahun 2021, Universitas Osnabruck membuka jurusan Studi Islam yang diberi nama Sekolah Islam Jerman (IKD).

Menurut bekas Menteri Dalam Negeri, Horst Seehofer, IKD berpeluang membentuk kurikulum Islam yang "lebih sesuai dengan kenyataan hidup di Jerman."

Polisi Jerman Gerebek Islamic Center Hamburg

Dorongan dari Kemendagri

Seiring munculnya generasi baru imam di Jerman, Menteri Dalam Negeri Nancy Faeser belum lama ini mengumumkan, pihaknya sedang menegosiasikan penghentian pengiriman imam oleh pemerintah Turki ke Jerman. "Hal ini adalah langkah penting dalam mendorong integrasi dan keterlibatan warga muslim dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Jerman," kata dia. Di masa depan, pemerintah ingin mencetak 100 imam per tahun untuk disebar ke masjid-masjid di Jerman.

Dorongan untuk membatasi pengaruh luar di komunitas muslim di Eropa tercatat paling kuat di Prancis. Sejak tahun ini, pemerintah di Paris tidak lagi mengizinkan masuknya imam dari luar Eropa. Para imam nantinya harus dididik di lembaga-lembaga Prancis. Selama ini, imam masjid di Prancis kebanyakan didatangkan dari Maroko, Tunisia atau Aljazair.

Menurut Sekjen DITIB, Eyup Kalyon, lembaga pendidikan Islam Prancis di kota Strassbourg menjadi salah satu acuan pembentukan lembaga serupa di Jerman.

Perubahan paradigma di organisasi Islam

Serupa Soyer, Kalyon yang berusia 36 tahun termasuk generasi baru tokoh Islam yang lahir dan dibesarkan di Jerman. Bersamanya, DITIB mulai membatasi pengaruh Diyanet. Fenomena ini terlihat ketika Kalyon bersikap bersebrangan dengan Ankara dan sebaliknya mengecam serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023.

Kedekatan baru dengan pemerintah Jerman ditunjukkan ketika DITIB mengundang pejabat Kementerian Dalam Negeri, Jörn Thiessen, ke salah satu acara besarnya. Di sana, dia menegaskan ambisi pemerintah untuk menggandeng organisasi Islam dalam menata kehidupan kaum muslim di Jerman.

"Kami ingin mencetak setidaknya 100 imam per tahun di Jerman dan secara perlahan menghentikan pengiriman imam dari Turki," kata dia kepada DW. Dengan begitu, pengaruh pemerintah Turki dan politisasi agama di masjid-masjid berbahasa Turki di Jerman dapat diakhiri dalam waktu satu dekade.

rzn/hp

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!