1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemerintah Jerman Tuntut Kaum Muslim Perangi Antisemitisme

Christoph Strack
24 November 2023

Pemerintah Jerman menuntut pemuka Islam untuk ikut memerangi antisemitisme yang kian marak sejak pecahnya perang di Jalur Gaza. Untuk itu, perwakilan organisasi dan masjid diundang berdiskusi di ibu kota Berlin.

https://p.dw.com/p/4ZPay
Menteri Dalam Negeri Nancy Faser
Menteri Dalam Negeri Nancy Faser dalam Konferensi Islam Jerman.Foto: Christian Ditsch/epd-bild/picture alliance

Menteri dalam negeri Jerman tidak bertele-tele ketika bertemu dengan pewakilan organisasi Islam di Jerman. Kaum muslim, kata Nancy Faser, "harus menentang antisemitisme dengan lantang dan tegas." Termasuk di antaranya adalah "mengecam serangan teror Hamas terhadap Israel."

Selama 25 menit dia berpidato dalam pembukaan Konferensi Islam Jerman yang digelar setiap tahun sejak 2006. Kali ini, pemerintah tegas memberikan tuntutan kepada kaum muslim di Jerman.

Dalam pidatonya, Faser mengakui betapa "kita di Jerman juga punya masalah dengan islamofobia." Upaya memerangi antisemitisme tidak boleh disalahgunakan untuk mempersenjatai kebencian terhadap kaum muslim, kata dia.

Konferensi Islam Jerman
Konferensi ini mengundang semua perwakilan organisasi dan masjid-masjid di JermanFoto: Christian Ditsch/epd-bild/picture alliance

Selama dua hari, semua organisasi Islam dan pemerintah akan membahas tema "perdamaian sosial dan kesatuan demokratis: Perang melawan antisemitisme dan islamofobia di tengah perpecahan sosial."

Serangan antisemitisme terhadap minoritas Yahudi di Jerman dikabarkan meningkat sejak kemelut berkecamuk di Jalur Gaza. Serangan juga dilaporkan diarahkan terhadap sinagoga dan rumah ibadah lain. Permusuhan terhadap kaum Yahudi terutama paling santer disuarakan dalam aksi demonstrasi pro-Palestina. Sebabnya, kini pemerintah mengajak komunitas muslim untuk membantu memerangi antisemitisme.

Hal tersebut kini ikut dibahas dalam Konferensi Islam. Kali ini, Mendagri Nancy Faser tidak mengundang Komite Sentral Kaum Muslim di Jerman (ZdM) atau Yayasan Ditib yang dikelola oleh pemerintah Turki. Kedua lembaga dinilai tidak bisa dipercaya dalam mengemban misi memerangi antisemitisme.

Kritik terhadap kemendagri

Hari kedua konferensi diwarnai kisruh, ketika media dilarang mengikuti ragam diskusi yang digelar secara tertutup. Peserta konferensi mengeluhkan, betapa mereka diperlakukan "layaknya anak sekolah," oleh Kementerian Dalam Negeri. Pidato Faser juga dinilai bersifat "menggurui." Terlebih, organisasi muslim merasa kurang dihargai atas upaya selama ini.

Burhan Kesici, Ketua Dewan Islam Jerman, menilai "idenya sudah bagus, untuk memperlakukan tema antisemitisme dan islamofobia secara bersamaan. Tapi kita juga melihat, betapa antisemitisme mendapat lebih banyak tempat," kata dia. Padahal, banyak warga muslim yang sudah mengeluhkan maraknya rasisme dan ujaran islamofobia." Akan lebih baik jika kedua isu diperlakukan sama," kata Kesici.

Maraknya permusuhan mendorong sebagian warga muslim untuk mempertimbangkan pergi dari Jerman. "Mereka adalah warga yang berpendidikan baik. Mereka sedang bertanya-tanya apakah sebaiknya meninggalkan Jerman atau menetap," karena mengkhawatirkan serangan kebencian. "Padahal mereka adalah penduduk berlatar belakang migran di generasi ketiga dan keempat."

Teror Hamas turut menggerus kepedulian terhadap islamofobia di Jerman. Hal ini terlihat pada buku riset "islamofobobia" setebal 400 halaman yang dirilis pemerintah Jerman bulan Juni lalu dan seharusnya mendasari agenda konferensi. Namun perang di Timur Tengah dan maraknya antisemitisme menggeser agenda pertemuan.

Antisemitisme: Mengapa Melekat Begitu Kuat?

Amarah dan Kebencian

Menurut Omar Kuntich, dari "Persatuan Mazdhab Maliki di Jerman" yang mengelola 120 masjid, medan pertempuran terbesar bukanlah masjid-masjid, melainkan media sosial.

"Seorang pendakwah paling memiliki 300 sampai 400 jemaah di masjid. Di media sosial, dia bisa mencapai puluhan ribu orang sekaligus," kata dia. "Hal ini ikut membahayakan perdamaian sosial di Jerman."

"Kita tidak punya jawabannya," kata Deborah Schnabel, Direktur Yayasan Anne Frank, terkait maraknya pesan antisemitisme di media sosial. "Kita terlalu sedikit berinvestasi di bidang ini. Dinamikanya snagat cepat. Kita pun harus bergerak cepat."

Hal serupa dikatakan pakar ekstremisme Jerman, Ahmed Mansour. "Kalau kita sekarang tidak melancarkan serangan di media sosial, kalau kita tidak menampilkan wajah di sana, maka kaum radikal lah yang akan menang. Kita harus bergerak, kalau tidak kita akan kalah," kaza dia.

rzn/hp