1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KeragamanTimur Tengah

Mengapa Semakin Banyak Non-Muslim Ikut Rayakan Ramadan

Cathrin Schaer | Mohamed Farhan | Abbas al-Khashali
20 Maret 2024

Suasana Ramadan di Timur Tengah sangat kental, sehingga bukan hal yang aneh bagi non-muslim untuk ikut merayakan. Lain halnya di negara-negara yang mayoritas penduduknya Kristen, tetapi ini mungkin akan berubah.

https://p.dw.com/p/4dv3i
Buka puasa bersama di Bagdad, Irak
Jika umat Kristiani dan muslim Irak berbagi santapan Ramadan, mereka akan melakukannya di dalam rumah pribadi atau restoran, bukan di masjidFoto: Murtadha Al-Sudani/AA/picture alliance

Ini mungkin terdengar aneh dikatakan oleh seorang muslim yang taat, tapi Kholoud Khardoum, seorang pria berusia 53 tahun yang tinggal di Irak, jelas-jelas mengatakan hal ini.

"Tidak semua hal tentang Ramadan adalah soal agama," kata seorang penulis yang tinggal di Baghdad ini. "Ramadan juga tentang suasana dan tradisi berkumpulnya orang-orang."

Kholoud mengatakan kepada DW bahwa Irak adalah negara dengan mayoritas penduduk muslim, tetapi di daerah-daerah tempat komunitas-komunitas agama yang berbeda hidup bersama, maka orang akan sering menemukan non-muslim ikut serta dalam perayaan-perayaan di sekitar hari raya Ramadan.

Khususnya "iftar", yakni buka puasa yang terjadi saat matahari terbenam, yang sering dijadikan momen berkumpulnya teman dan keluarga untuk berbuka puasa.

"Kadang-kadang umat Kristen membuat makanan penutup dan mengirimkannya kepada tetangga mereka yang beragama Islam," kata Khardoum. "Kadang-kadang umat Muslim mengirim makanan. Atau mereka semua berpuasa bersama. Sungguh menyenangkan untuk berbagi hal-hal seperti ini," katanya.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Ada banyak cerita serupa di tempat lain di Timur Tengah. "Salah satu teman tertua dan terdekat saya adalah seorang muslim, jadi kami berbagi beberapa kebiasaan," kata seorang perempuan Mesir, Um Amir.

"Misalnya, saya akan berpuasa di siang hari di bulan Ramadan, lalu berbuka puasa bersama keluarganya," ujar perempuan berusia 50 tahun, yang tinggal di Assiut, sebuah kota di selatan Kairo tersebut.

"Saya beragama Kristen, tapi sejak kecil saya punya banyak teman Muslim, dan saya tidak pernah mempermasalahkan perbedaan agama," ujar Rita, 34 tahun, seorang perempuan Lebanon yang juga berpuasa di Beirut. 

Kian banyak non-muslim rayakan Ramadan di Barat?

Mengingat ketiga perempuan ini tinggal di negara-negara mayoritas muslim, pengalaman mereka tidak akan mengejutkan bagi orang-orang yang tinggal di sana. Ini ibarat sama sulitnya bagi muslim untuk menghindari perayaan Natal di Eropa atau Amerika Utara.

Namun, Ramadan juga secara bertahap menjadi hari libur yang terkenal di negara-negara mayoritas Kristen.

Tahun lalu, London menjadi kota besar pertama di Eropa yang menghiasi jalan utama dengan lampu-lampu Ramadan. Tahun ini, Frankfurt am Main mengikuti jejak London dengan menjadi kota besar pertama di Jerman yang memasang lampu-lampu Ramadan. 

Kudapan manis untuk buka puasa di Beirut
Selama Ramadan, restoran di Timur Tengah hanya boleh buka sesaat sebelum matahari terbenam, kemudian tetap buka hingga dini hariFoto: Bilal Jawich/Xinhua News Agency/picture alliance

Di Austria, lebih dari 1.000 orang berkumpul untuk "buka puasa bersama" di negara bagian Carinthia. Ini adalah acara bagi semua masyarakat untuk berbuka puasa dan makan bersama, meskipun mereka bukan muslim dan tidak berpuasa. 

Penyelenggara mengatakan bahwa acara ini menarik lebih banyak orang setiap tahunnya. Seperti yang dikatakan oleh salah satu peserta kepada surat kabar regional Kleine Zeitung, "Saya tidak menyangka akan ada begitu banyak non-muslim di sini."

Ramadan yang lebih dikenal sekarang "juga sangat berkaitan dengan peningkatan pengakuan politik dan kesetaraan bagi umat Islam di ruang publik," ujar Farid Hafez, seorang peneliti senior di Bridge Initiative, sebuah proyek yang menyelidiki Islamofobia yang berbasis di Universitas Georgetown, Washington.

Suasana Ramadan in London
Pertunjukan ornamen Ramadan yang terdiri dari 30.000 lampu ramah lingkungan kembali hadir di Piccadilly Circus, London, tahun iniFoto: Can Nguyen/Captital Pictures/picture alliance

Dampak komersial dari Ramadan juga membuat informasi tentang bulan suci umat Islam ini semakin berkembang. Rata-rata umat muslim membelanjakan lebih banyak uang selama Ramadan untuk berbagai hal, mulai dari hadiah dan pakaian hingga makanan dan bahkan mobil. Di Timur Tengah saja, pengeluaran selama Ramadan tahun 2023 mencapai lebih dari $60 miliar (Rp943 triliun). 

Dituduh melakukan perampasan budaya

Teori lain yang dikemukakan oleh Direktur Woolf Institute, Wagner, mengenai profil Ramadan berkisar pada bahasa dan perubahan generasi. "Begitu orang berbicara bahasa tanpa aksen, ada pergeseran dalam pemahaman bahwa sekarang mereka benar-benar menjadi bagian dari bahasa tersebut," kata Wagner, ahli sosiolinguistik.

"Dan di Inggris, kita melihat populasi muslim penutur asli bahasa Inggris, yang kini berusia 40-an dan 50-an, mulai mengisi posisi kepemimpinan dan berpengaruh."

Di Prancis, hal yang sama juga terjadi. Di sana, para peneliti mencatat bahwa generasi muslim Prancis merasa bahwa mereka dapat mempraktikkan agama secara lebih terbuka. 

"Melalui praktik (keagamaan) yang lebih terlihat, individu-individu muda Prancis mengklaim status mereka sebagai anggota masyarakat yang utuh," kata Jamel El Hamri, seorang peneliti di Institute of Research and Study on Arab and Islamic Worlds di Prancis, kepada Le Monde pekan lalu. "Mereka merasa sebagai orang Prancis dan muslim."

Tentu saja, tidak semua orang senang. Sebagian umat muslim merasa kesal dengan komersialisasi Ramadan. Ulama konservatif berpendapat bahwa non-muslim tidak boleh ikut berpuasa, sementara kelompok sayap kanan Eropa meyakini bahwa praktik ini akan menyebabkan berakhirnya peradaban seperti yang mereka definisikan.

Lalu, beberapa tokoh media sosial yang berpuasa selama Ramadan, memperlakukannya sebagai semacam tantangan kesehatan online, dan ini mendapat kecaman sebagai perampasan budaya.

Namun, baik Hafez maupun Wagner tidak yakin bahwa pendapat-pendapat seperti ini akan mereduksi manfaat seseorang merasa nyaman dengan kepercayaan orang lain. (pkp/rs)