1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bagaimana Medsos Mengubah Tradisi Ramadan di Timur Tengah?

Cathrin Schaer
13 Maret 2024

Konten media sosial bertema Ramadan yang ramai di Timur Tengah dikritik gelorakan konsumerisme dan surutkan kekhidmatan dengan hal-hal superfisial. Namun, para influencer diyakini juga bisa menjadi agen perubahan

https://p.dw.com/p/4dSdy
Ramadan di Dubai
Sebuah pusat perbelanjaan di Dubai, Uni Emirat Arab. Survei menemukan bahwa 79% persen responden UEA membelanjakan lebih banyak uang dari yang direncanakan selama RamadanFoto: Giuseppe CacaceAFP/Getty Images

Ramadan menjadi ajang berbagi konten bagi pengguna media sosial di Timur Tengah untuk menyunat waktu di kala puasa. Sebagai gambaran, di wilayah Teluk,  99 persen populasi Uni Emirat Arab terhubung dengan internet. Penetrasi internet di Indonesia ada pada kisaran 66 persen pada 2022 lalu, menurut data Bank Dunia.,

Selama bulan puasa, beragam survey di UEA, Arab Saudi atau Qatar mencatat betapa warga lebih banyak menghabiskan waktu berinternet ketimbang pada bulan lain. Penggunaan internet tidak terbatas pada media sosial. Sebagian besar konsumen juga membanjiri toko-toko online untuk membeli hadiah atau baju baru, sebagaimana tradisi jelang Idul Fitri.

Maraknya penggunaan internet di Timur Tengah juga menghasilkan lonjakan popularitas dan tambahan audiens bagi kreator yang giat mengunggah konten.

"Mereka ikut membahas tema-tema agama, yang mencakup praktek ibadah hingga belanja barang atau sinema Ramadan yang layak ditonton," kata Gary Bunt, Guru Besar Studi Islam di University of Wales, Inggris. "Kreator konten muslim juga bisa memasarkan produknya sendiri atau disponsori untuk promosi produk lain."

"Ramadan selalu menjadi titik fokus bagi akun-akun Islami, sudah sejak dekade 1990an," ujarnya, sembari menambahkan, derasnya hasrat berkreasi di media sosial "berbanding lurus dengan ekspansi platform-platform digital, berkurangnya tembok digital dan terutama seiring kejayaan TikTok."

Komersialisme Ramadan

Salah satu jenis unggahan yang paling jamak ditemukan di kawasan Teluk adalah gambar meja makan yang didekor mewah dengan makanan berlimpah jelang berbuka puasa. Biasanya, influencer kuliner rajin tampil dengan promosi restoran dan diskon khusus Ramadan.

Tapi sebagaimana kekhawatiran di Eropa perihal Natal yang konsumtif, di Timur Tengah pun Ramadan dikhawatirkan berkembang semakin komersial akibat media sosial.

Iyad Barghouthi, Guru Besar Sosiologi di Ramallah, Tepi Barat, Palestina, menilai konten- konten bertemakan Ramadan tidak menambah ketaatan atau kesyahduan beribadah. "Sebaliknya, tradisi Ramadan menjadi kurang spontan, cenderung dibuat-buat dan superfisial," kata dia.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

"Memang ada kaitan antara komersialisasi Ramadan, bertambahnya jumlah influencer dan tren strategi pemasaran," timpal Marc Owen Jones, akademisi di Hamad bin Khalifa University, Qatar.  "Tapi, konsumerisme selama Ramadan bukan hal baru, cuma caranya saja yang baru," imbuhnya. Dalam sejumlah kasus, "jika Anda menyimak komentar netizen, ada banyak yang mengritik komersialisasi hari besar keagamaan."

Perang di Jalur Gaza, Palestina, menjadi alasan lain bagi sikap antipati terhadap kemewahan yang ditampilkan para kreator konten. "Saat ini sudah ada tekanan sosial kepada masyarakat agar tidak terlalu banyak mengunggah kesenangan diri mengingat apa yang terjadi di Gaza," kata Jones.

Ramadan and Lent share fasting, other similarities

Perubahan sosial lewat internet?

"Meski begitu, influencer diyakini bisa menciptakan dampak positif selama bulan Ramadan, yakni dengan mengubah tradisi yang selama ini memperkuat ketimpangan sosial," ujar Ailidh Smylie, direktur pemasaran di Socialize, sebuah agen pemasaran digital di Dubai, Uni Emirat Arab.

"Jika di masa lalu, perempuan adalah satu-satunya yang selalu terlihat sibuk di dapur menyiapkan makanan untuk sahur atau berbuka, kini kita melihat lebih banyak ayah atau koki laki-laki yang aktif di dapur, membantu pekerjaan rumah dan mendekorasi untuk Ramadan, hal yang tidak biasa di Timur Tengah beberapa tahun lalu," kata Smylie. "Merek-merek besar sudah tentu menjauhi gambaran klise dan kuno selama Ramadan."

Bintang media sosial juga dilibatkan dalam kampanye pengurangan limbah makanan selama bulan suci. Hal ini dilakukan Program Lingkungan PBB, UNEP, yang tahun lalu bekerja sama dengan seorang koki Lebanon, Leyla Fathallah. Proyek serupa juga dilakukan di Oman, di mana para influencer mengajak warga mengurangi pemborosan bahan pangan.

Influencer juga memungkinkan generasi muda Muslim untuk mengenali tradisi agama dengan cara yang lebih pribadi, kata para pengamat. "Generasi baru kreator konten media sosial yang berpengaruh besar baru-baru ini muncul di dunia Muslim,” tulis periset dalam sebuah studi berjudul Islam Digital dan Milenial Muslim, yang dirilis 2022 lalu. "Mereka berpendidikan barat, penyaji cerita yang unik dan mahir dalam produksi media sosial."

Dalam studi tersebut, generasi baru bintang medsos disebut "GUMmies," akronim dari Global Urban Muslim. "Praktek keagamaan mereka fokus pada cerita, ketimbang naskah dogmatik. Mereka membahas hubungan manusia, keseharian dan apa artinya berinteraksi dari perspektif seorang muslim," tulis para peneliti.

Menurut riset, GUMmies digambarkan "masih tertarik belajar ibadah, tapi mereka hidup dalam ekosistem media dan informasi yang menuntut interaksi, personalisasi, aktualisasi, serta keterlibatan audiens yang tinggi." Studi itu menyimpulkan, mereka kemungkinan "menandakan datangnya perubahan kultural," di Timur Tengah.

Dibantu oleh liputan jurnalis DW, Alla Ahmad

rzn/as