1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Budaya Membangunkan Sahur: Antara Tradisi dan Toleransi

19 Maret 2024

Pro dan kontra tradisi membangunkan sahur masih terjadi. Sebagian menganggapnya penuh kenangan. Pemuka agama ingatkan toleransi, serukan kebaikan tanpa "bikin jadi jantungan."

https://p.dw.com/p/4drU4
Ilustrasi pawai
Ilustrasi pawaiFoto: Willy Kurniawan/REUTERS

Bukan hanya soal puasa dan pahala, bulan Ramadan banyak dirindukan karena tradisi khasnya. Salah satu yang paling kentara adalah mendengar tetabuhan beduk dan alat musik saat dini hari untuk membangunkan sahur.

Membangunkan sahur ini juga menjadi tradisi di berbagai daerah di Indonesia. Di Jakarta dikenal dengan ngarak bedug, Lampung dengan klote'an, Gorontalo dengan koko'o, dan di Morowali, Sulawesi Tengah ada denga-dengo.

Jika buat sebagian orang teriakan ‘sahur-sahur' ini menjadi kekhasan di masa Ramadan, ada juga yang beranggapan sebaliknya. Sebagian orang menilai panggilan yang berupa teriakan dan tetabuhan, jika dilakukan secara berlebihan, mengganggu.

Adi Kurnia, warga Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, adalah salah satu yang merasa terganggu. "Dulu pernah ada, tapi saat ini sudah enggak ada lagi. Menurut saya sebenarnya suara dari masjid saja sudah cukup tidak perlu pakai ada yang keliling dan teriak-teriak," ucapnya kepada DW Indonesia.

"Bangunin sahur itu harusnya biasa saja, tidak usah heboh-heboh. Membangunkan dengan santun tanpa mengganggu orang lain. Itu toleransi, toh kita yang puasa juga kan biasanya sudah pakai alarm di ponsel."

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Muhammad Ikhsan juga sependapat. Pria yang pernah menjabat sebagai ketua komplek ini pun melarang anak-anak muda yang membawa alat musik dan berteriak-teriak ini untuk masuk ke kompleknya.

"Saya melarang mereka masuk komplek karena di komplek tidak semuanya muslim. Ada juga nonmuslim. Ada cara lain membangunkan orang sahur, misal diketok saja rumahnya satu-satu. Untungnya semua warga di komplek setuju. Di situlah sikap toleransi beragama, kita beribadah tapi juga tidak berarti mengganggu orang lain."

Suara beduk sahur, memori khas Ramadan

Berbeda dengan keduanya, Dini Felicitas justru mengaku tak punya masalah. Saat ini, kata dia, di area rumahnya sudah tak ada lagi arak-arakan sejak beberapa tahun lalu.

"Cuma ada ting-ting kecil (bunyi dari tiang listrik yang dipukul) saja sekarang. Tidak pernah terganggu sih dari dulu dengan suara itu. Zaman masih ada teriakan sahur itu pasti kebangun sih, tapi bisa langsung tidur lagi. Enggak pernah complain berisik karena memang enggak terganggu juga. Tapi sejak ditiadakan juga enggak kangen, karena memang tidak ikutan puasa," ucapnya diikuti tawa.

Berbeda dengan Dini, Mira Yanti justru mengaku galau. Buat dia, di area rumahnya, belasan anak muda berkeliling kampung dengan membawa speaker kecil dan drum untuk drum band. Drum ini ditabuh keras sepanjang jalan sambil berteriak, ‘Sahur..Sahurr.' Sesekali ada candaan yang terdengar dari speaker yang dibawa.

"Saat mereka keliling itu suaranya keras banget, rasanya kayak mau lompat dari kasur. Mereka muter 2 kali bolak-balik, setelah itu benar-benar bikin saya tidak bisa tidur lagi. Tapi di sisi lain, ini kan khas banget Ramadan, jadi kalau tidak ada seperti ini, juga rasanya kurang berasa ya Ramadan, walaupun saya tidak ikut puasa sih.”

Mengadaptasi budaya, bukan menghilangkan

Budaya membangunkan sahur sebenarnya bukan cuma ada di Indonesia. Pengamat Sosial Devie Rachmawati mengungkapkan bahwa budaya ini berasal dari Timur Tengah.

Dalam laman Kementerian Agama di Kuwait dan Mesir, tradisi membangunkan sahur di bulan puasa dikatakan mulai semarak di era Dinasti Abbasiyah. Selain seruan muazin, ada juga tradisi menggunakan dentum meriam seperti yang terjadi pada masa Kekhalifahan Mamluk pada 865 Hijriah. 

"Tapi yang selalu menarik dari Indonesia, karena kita punya social capital, kita punya kekayaan budaya, maka kemudian orang muslim di Indonesia punya cara untuk menerjemahkan hal tersebut, disesuaikan dengan satu kondisi geografis," ucapnya kepada DW Indonesia.

"Kenapa dibutuhkan suara yang kencang di masa lalu? Karena di masa lalu kondisi geografis kita kan memang masih sangat beragam. Artinya masih hutan-hutan, masih semak-semak, rumah jaraknya jauh-jauh, dan sebagainya. Sehingga kemudian dibutuhkan suara yang relatif kencang dalam hal ini untuk memastikan bahwa orang yang berpuasa semua terbangun."

Lebih lanjut, Devie mengungkapkan bahwa tradisi membangunkan sahur ini menjadi semacam gerakan kolektif untuk saling mengingatkan karena memang tradisi puasa ini erat kaitannya dengan semangat sosial.

"Kenapa ini ditemukan di masyarakat Asia Timur Tengah yang memang secara sosial kita kan masyarakat yang sangat kolektif, sangat guyub. Makanya ada kepentingan untuk saling membangunkan, walaupun sebenarnya puasa adalah sebuah praktik yang sangat individual."

Peneliti sosial vokasi Universitas Indonesia ini juga menyebut bahwa saat ini tradisi tersebut berubah. Di beberapa daerah ada beberapa perbedaan tradisi membangunkan sahur dengan cara dan gaya yang berbeda.

"Kita sudah tahu prediksi dunia bahkan Indonesia juga bahwa setiap daerah itu pelan-pelan menjadi kota yang kuat semangat privasinya. Nah, di sini kemudian kalau dibilang apakah tradisi ini luntur? Bukan luntur, tapi menyesuaikan dengan karakter masyarakat yang berubah. Ya, dia bergerak melayani karakter masyarakat itu sendiri. Karena tradisi itu kan cermin refleksi dari masyarakatnya."

"Kalau kemudian ada konsensus, kontrak sosialnya berubah, artinya kan itu berdasarkan kesepakatan seluruh masyarakat. Jadi kontrak, namanya juga kontrak sosial kalau pakai istilah Montesquieu di Perancis, kontrak sosial artinya kontrak itu kan sesuatu yang sangat mungkin diperbarui sesuai dengan kesepakatan sosial yang ada." 

Devie mengatakan, budaya tidak akan pernah luntur, melainkan diadaptasi. Pengetahuan akan apa yang pernah terjadi di masa lalu tetap diperlukan. Ini jugalah yang menyebabkan kembalinya memori nostalgia beberapa orang.

"Memori kolektif, memori kolektif masyarakat, itu penting, untuk terus dipelihara. Bukan untuk terjebak dalam nostalgia, tapi itu menjadi bagian dari rujukan. Hari ini kita mau pakai rujukan yang mana? Itulah kontrak sosial. Sebelum melakukan kontrak, kita perlu rujukan. Nostalgia-nostalgia tadi adalah bagian dari rujukan itu."

"Kita timbang mana yang lebih nyaman, mana yang lebih pas dengan kita hari ini. Karena kemajuan zaman dan segala macam, dunia pasti berubah, jadi butuh sesuatu yang baru."

Mengajak ke kebaikan dengan cara baik

Pro dan kontra tradisi membangunkan sahur ini memang masih terjadi di beberapa tempat. Dipahami memang, dalam Islam, mengajak sahur atau beribadah adalah hal yang baik. KH Wahyul Afif Al-Ghafiqi, sekretaris PCNU Kota Bandung dan Pimpinan Taman Belajar Al-Afifiyah mengungkapkan pendapatnya.

"Main alat musik dan membangunkan sahur orang-orang di kampung itu bentuk euphoria terhadap peristiwa yang tengah terjadi. Semua agama punya," katanya kepada DW Indonesia. 

KH Wahyul Afif Al-Ghafiqi
Menurut KH Wahyul Afif Al-Ghafifi, mengajak kebaikan harus dengan cara baik, jangan bikin "jantungan."Foto: privat

"Tapi, mengajak orang untuk melakukan hal baik itu harus pakai cara yang baik pula. Kan ngajak melakukan kebaikan dan menyampaikan kebenaran, masa bikin jadi jantungan. Tidak boleh mengganggu yang lain, dan yang diteriakkannya juga harus yang benar."

"Sebaliknya yang berkeliling itu pun juga harus paham situasi, dan konteks, bijaksana dengan kondisi sekitar, misalnya ada yang sakit, meninggal, atau ada bayi." 

Menurutnya, adab untuk membangunkan sahur ataupun mengajak orang lain beribadah ada aturannya sendiri di dalam Alquran.

"Apabila menyampaikan kebenaran maka cara harus benar, yaitu bil hikmah (menyampaikan sesuatu dengan bijaksana), dan bil mauidzah hasanah (menyampaikan dengan nasihat, bukan dengan kata kasar)."

"Jadi kalau ada yang merasa terganggu, boleh lho didiskusikan keberatannya dengan orang yang tepat dan kompeten. Kedua belah pihak harus bijaksana menyikapinya, diskusikan baik-baik biar harmonis."

Toleransi tetap yang utama

Diungkapkannya, saat ini pemerintah sudah membuat berbagai aturan terkait hal tersebut. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama telah mengeluarkan tuntunan penggunaan pengeras suara sejak 1978. Intruksi tersebut tertuang dalam KEP/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musalla.

"Takmir masjid juga harus tegas mengatur penggunaan alat pengeras suara atau Toa masjid, misalnya untuk membangunkan sahur pada pukul 02.30 - 03.00 dan 03.30, durasi penggunaannya cukup satu menit, dengan suara yang baik dan cara yang baik," menurut pelaksana Subdirektorat Kemasjidan Fakhry Affan, dikutip dari laman Kementerian Agama.

Hal ini juga dituangkan melalui Surat Edaran (SE) Menteri Agama (Menag) Nomor 05 Tahun 2022 yang mengatur segala hal ihwal terkait pengeras suara rumah ibadah.

"Jadi toleransi itu harus yang utama. Makanya saat ini ada rambu-rambu yang dibuat pemerintah agar kehidupan beragama berjalan harmonis," kata Ustaz Wahyul.

"Perlu diingat aturan ini dibuat bukan untuk menghalangi ibadah atau toleransi, tapi aturan ini untuk menjaga kehidupan toleransi jadi lebih baik dan lestari." (ae)

C. Andhika S. Detail, humanis, dan tidak ambigu menjadi pedoman saya dalam membuat artikel yang berkualitas.