1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialThailand

Mengapa Banyak Pria Thailand Jadi Biksu 'Sesaat'?

Emmy Sasipornkarn
28 Juli 2023

Banyak anak muda Thailand yang jadi biksu. Namun, sebagian besar laki-laki itu tidak ingin tinggal seumur hidup di biara. Jadi mengapa mereka mengikuti tradisi ini?

https://p.dw.com/p/4UUk6
Liburan Magha Puja di Thailand
Menjadi seorang biksu, setidaknya untuk sementara waktu, dipandang sebagai sebuah ritual peralihan di ThailandFoto: Athit Perawongmetha/REUTERS

Setelah lulus dari universitas, Palath Dilokloetthanakorn, yang saat itu berusia 22 tahun, mengikuti tradisi yang dilakukan oleh kebanyakan pemuda Thailand lainnya sebelum memulai karier, yakni bergabung dalam biara Buddha.

"Rasanya seperti sebuah tradisi yang harus saya lakukan untuk orang tua saya, terutama sebagai putra sulung mereka," katanya kepada tim DW, seraya menambahkan bahwa orang tuanya sangat gembira pada hari dia ditahbiskan.

Palath menghabiskan waktunya satu bulan di kuil, tak lama setelah upacara kelulusan studinya. Di Thailand, hal ini dipandang sebagai sebuah ritual peralihan. Banyak pria lainnya juga memilih untuk masuk wihara setelah lulus kuliah, ketika mereka belum mendapatkan pekerjaan dan memiliki waktu luang.

"Ini adalah cara untuk menunjukkan rasa terima kasih (kepada keluarga) karena telah membesarkan mereka, karena diyakini bahwa penahbisan dapat memberikan pahala besar untuk orang tua Anda," kata Uthit Siriwan, seorang cendekiawan Buddha Thailand.

Wihara Terapung Simbol Perang Erosi Pantai Thailand

Kehidupan monastik

Pria yang memutuskan untuk menghormati tradisi ini harus menetap di biara, mencukur rambut dan alis, serta berjalan tanpa alas kaki di jalanan saat fajar menyingsing dengan jubah oranye terang, untuk menerima persembahan makanan dari masyarakat setempat.

Para biksu yang menganut aliran Theravada, aliran Buddha yang dominan di Thailand, tidak dapat memasak untuk diri mereka sendiri. Mereka hanya bisa makan makanan yang telah diberikan kepada mereka.

Itu hanya satu dari 227 aturan perilaku ketat yang membingkai kehidupan seorang biksu. Aturan lainnya termasuk tidak melakukan hubungan seksual dan juga tidak memegang uang.

"Mereka yang telah ditahbiskan, telah melatih diri mereka secara fisik dan mental, untuk memiliki rasa disiplin, tanggung jawab, dan kesadaran yang lebih baik daripada mereka yang belum," ungkap Uthit kepada tim DW.

Biksu Thailand yang memberi minum Harimau
Banyak laki-laki Thailand memilih untuk menjadi biksu sesaat untuk menyegarkan pikiranFoto: Sakchai Lalit/AP Photo/picture alliance

Menjadi biksu untuk 'menyegarkan pikiran'

Palath mengakui bahwa waktunya sebagai biksu di usia mudanya itu lebih banyak dihabiskan untuk membantu di sekitar wihara, dibandingkan fokus pada ajaran Buddha.

Hal itu akhirnya membuat Palath kembali masuk menjadi biksu untuk kedua kalinya saat dia berusia 35 tahun, sebuah keputusan yang dianggap tidak biasa oleh kebanyakan orang Thailand. Namun ternyata, kembali ke biara memiliki keuntungan tersendiri.

"Banyak yang memandang penahbisan sebagai salah satu agenda besar dalam hidup yang seharusnya hanya terjadi satu kali, tetapi nilai itu semakin memudar," jelas Uthit.

Sementara ini, belum ada jangka waktu khusus untuk penahbisan, bisa sesingkat satu hari atau bahkan selama berbulan-bulan.

"Saat ini, ditahbiskan beberapa kali seperti mengikuti sebuah kursus untuk memperkuat dan menyegarkan pikiran, serta mendapatkan dorongan dan inspirasi," tambah Uthit.

Perasaan untuk memiliki kesempatan memperkaya spiritual diri juga merupakan salah satu alasan bagi Nattapong Chaosangket, 29 tahun, memulai kehidupan monastiknya.

Untuk laki-laki seusianya, bergabung menjadi biksu mungkin terdengar terlambat bagi kebanyakan orang di Thailand, di mana laki-laki disana biasa ditahbis saat usia 20 tahun dan sebelum mereka menikah. Namun, Nattapong mengatakan bahwa dia adalah "anak yang merepotkan" saat usia remajanya, sebelum akhirnya dia menjadi seorang ayah.

"Jika saya melakukannya lebih awal, saya mungkin hanya akan bermain ponsel sepanjang hari dan tidak akan belajar apa pun," kata Nattapong kepada tim DW.

Mencari penebusan dosa atau berusaha untuk bersembunyi?

Tidak semua orang yang memasuki kehidupan biara melakukannya untuk menyenangkan orang tua mereka atau karena alasan spiritual. Beberapa lainnya melakukan itu untuk menunjukkan tanggung jawab moral dan menebus kesalahan mereka.

Bulan lalu di Bangkok, setelah latihan kebakaran di sekolah menjadi kacau hingga menewaskan seorang siswa, tiga petugas pemadam kebakaran yang terlibat ditahbiskan untuk sementara waktu sebagai bentuk penyesalan atas insiden tersebut.

Sementara para petugas kebakaran itu menunjukkan penyesalannya, Uthit mengungkapkan bahwa beberapa orang lainya justru berlindung di balik jubah biksu dan menggunakan status mereka untuk melindungi diri dari konsekuensi atas tindakan mereka.

"Masyarakat Thailand menganggap wihara sebagai tempat pengampunan," kata Uthit, seraya menambahkan bahwa dengan tinggal di wihara, mereka yang melakukan kesalahan akan dimaafkan oleh masyarakat.

Di negara dengan lebih dari 90% mayoritas warga Thailand menganut agama Buddha, para biksu di negara Asia Tenggara begitu dihormati.

Namun, sentimen publik tidak selalu mendukung mereka. Masih banyak orang Thailand yang mempertanyakan apakah mereka benar-benar merasa menyesal dan ingin menebus kesalahan mereka, atau tidak.

Pada tahun 2022 lalu, misalnya, setelah seorang polisi yang menabrak dan membunuh seorang dokter dengan sepeda motornya ditahbiskan, banyak yang mengkritik tindakan tersebut sebagai taktik sinis untuk kembali mendapat simpati publik.

Bagaimana dengan anak-anak dan perempuan?

Meskipun menjadi seorang biksu penuh di Thailand hanya diperuntukkan bagi laki-laki berusia di atas 20 tahun, anak laki-laki di bawah usia tersebut dapat ditahbiskan sebagai samanera. Banyak sekolah di Thailand sering mengadakan upacara penahbisan massal, setiap awal liburan musim panas.

Meskipun sebagian besar anak-anak tidak terlalu tertarik, Kittiwat Penpato yang baru berusia 11 tahun, telah ikut serta dan berencana untuk kembali lagi setiap tahun, untuk mengikuti contoh seperti pamannya yang seorang biksu.

"Sekolah hanya mengaturnya selama sembilan hari tahun ini, tetapi anak saya tinggal di kuil sampai awal semester baru," kata Kancharat Kotsri, ibu dari Kittiwat, kepada tim DW, seraya menambahkan bahwa anaknya itu berencana untuk menjadi seorang biksu secara penuh, saat dia besar nanti.

Di sisi lain, perempuan Thailand menghadapi perjuangan yang cukup berat karena mereka tidak diizinkan untuk ditahbiskan sebagai biksu di negara tersebut. Meskipun menjadi biksu perempuan sepenuhnya dimungkinkan di negara lain seperti Korea Selatan, Cina, dan Vietnam, tapi Thailand tidak mengakui biksu perempuan atau samanera perempuan.

Sebagai alternatif, beberapa perempuan beragama Buddha yang taat, memilih untuk menjadi maechi atau biarawati berjubah putih, di mana aturannya yang tidak begitu ketat.

(kp/ha)