1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Dari Santri Jadi Biarawan Buddha kemudian Guru Meditasi

Marjory Linardy
3 Maret 2022

Muhammad Zaim temukan kedamaian dan merangkul Islam setelah belajar lima tahun di biara Zen di Prancis. Kini dia mengajarkan meditasi dan "mindfulness" di Jerman dan Indonesia.

https://p.dw.com/p/47sSM
Muhammad Zaim, ein buddhistischer Mönch aus Indonesien
Foto: Privat

Muhammad Zaim lahir di Kediri, Jawa Timur. Sejak kecil dia memang tertarik dengan dunia spiritual. Dulu dia pernah berpikir bahwa dunia spiritual itu tentang kesaktian. “Tapi saya akhirnya memahami bahwa jalur spiritual adalah jalur tentang kedamaian.” Itu juga bukan kedamaian yang kita dapat dari luar. Justru kitalah yang harus bisa mendamaikan hati kita yang selalu bergejolak.

Ketika berusia belasan tahun, Muhammad Zaim yang berasal dari keluarga Muslim sempat menjadi fanatik. Ia juga sempat ingin menjadi teroris, karena propaganda yang sangat kuat. Tetapi dia kemudian menemukan seorang guru sufi, atau kiai. Guru ini justru mengajarkan dia tentang cinta kasih. Kala itu dia mulai merasa penasaran, walaupun masih di masa kebimbangan. Di samping itu, dia terus melihat adanya berbagai ceramah yang isinya fanatisme, dan tidak jauh berbeda satu dan lainnya. Yaitu: kitalah yang paling benar, yang lain hanya numpang saja. “Dan itu saya tidak sepakat dan membuat saya stres,” kata Muhammad Zaim.

Itu terus dia rasakan, hingga akhirnya dia membaca sebuah buku karya filsuf Jerman Friedrich Nietzsche. Dia bercerita, ketika membaca pernyataan Nietzsche, “Tuhan telah mati”, bahasa Jermannya: Gott ist tot, ia merasa kepalanya seperti tersambar petir. Terutama yang dikagumi Muhammad Zaim dari Nietzche adalah keberanian dia untuk memberikan pernyataannya itu. Pernyataan itu akhirnya menyebabkan Muhammad Zaim tidak percaya kepada agama, maupun Tuhan. Tapi dia malah dihadapkan pada kebingunan selanjutnya.

“Ketika saya gelisah, saya ga tahu harus ngapain,” tutur Muhammad Zaim. “Waktu masih aktif menjalankan salat, saya hanya perlu melaksanakan salat tahajud. Setelah itu selesai, merasa enak.” Tapi ketika ia menjadi atheis, ia tidak tahu harus melakukan apa. Tapi dia berkata, dia tidak menyalahkan siapa-siapa. Itu kepusannya sendiri.

Ketika mengalami kebimbangan itu, suara hatinya mengatakan, “Cari seorang biksu, dan belajar meditasi.” Itu saja. Awalnya dia mengira itu hanya halusinasi seseorang yang sedang bingung. Tapi hari demi hari, suara itu semakin kuat. Akhirnya dia menemukan sebuah biara. Pertama kali melakukan meditasi, ia segera menemukan kedamaian. Semakin sering dia melaksanakan meditasi, ia semakin penasaran, dan semakin ingin mendalami.

Akhirnya itulah yang mempertemukan dia dengan seorang guru Zen, yang merupakan sebuah aliran dalam agama Buddha, yaitu Maha Guru Zen Thich Nhat Hanh yang bermukim di Prancis. “Karena saya tidak puas dengan meditasi saya, saya nekat ke Prancis.” Itu dengan bantuan seorang donatur yang baik hati, katanya. Bagi Muhammad Zaim yang penting saat itu hanyalah belajar dari guru Zen itu.

Gambar menunjukkan Muhammad Zaim berlutut di depan sejumlah orang yang memakai jubah kuning
Muhammad Zaim saat pentahbisan menjadi biarawan pada tahun 2012, oleh Maha Guru Thich Nhat HanhFoto: Privat

“Bisa dibayangkan, saya tidak bisa bahasa Inggris. Saya tidak punya latar belakang akademisi yang kuat, walaupun pernah berkuliah di Universitas Islam di Surabaya, kemudian pindah ke Sekolah Tinggi Agama Buddha di Jakarta, tapi tujuan saya kan bukan intelektual, melainkan spiritual.”

Rekonsiliasi dengan Islam di biara Zen

Ketika di Prancis dia mengalami banyak transformasi dan mendapatkan kesembuhan. Salah satunya, ia mengalami rekonsiliasi sangat dalam dengan Islam, dan ia sejak itu memahami Islam dengan sudut pandang yang sangat berbeda. “Di sana saya kemudian merasa memeluk Islam dengan sepenuh hati saya.” Dan itu terjadi justru di biara Zen, kata Muhammad Zaim.

Untuk menjadi biarawan Zen dia mengikuti program selama lima tahun, yaitu di biara yang bernama Plume Village. “Jadi saya cukur botak, ga boleh pacaran selama lima tahun, dan harus tinggal di biara.” Selain itu, dia juga belajar melayani kebutuhan orang lain, berkonsultasi dan meditasi. Setelah mengikuti program lima tahun untuk menjadi biarawan Zen, seseorang bisa melepaskan jubah kebiarawanan dan kembali ke masyarakat. Itulah yang dilakukan Muhammad Zaim, sehingga dia sekarang sudah bukan berstatus biarawan atau pendeta Buddha. 

Dulu ketika masih mengikuti pendidikan, ia sudah pernah datang ke Jerman, bersama Maha Guru Zen Thich Nhat Hanh. Selain mengajar di Plume Village di Prancis, Maha Guru juga mengajar di negara-negara lain, antara lain di Jerman, tepatnya di Europäisches Institut für Angewandten Buddhismus (EIAB) atau Institut Eropa untuk Buddhisme Terapan, di daerah Waldbröl yang berjarak sekitar satu jam dari kota Bonn. Jika Maha Guru Zen Thich Nhat Hanh sedang mengajar di sana, para biksu juga hadir.

Di sana Muhammad Zaim memfasilitasi grup anak muda. Salah satu anggota grup itu, sekarang menjadi istrinya. Dulu hubungan mereka adalah antara seorang biarawan dan orang yang dibimbing. Mereka kemudian berteman biasa, seperti halnya Muhammad Zaim juga berteman dengan orang-orang Eropa lainnya, baik laki-laki maupun perempuan. Salah satu hal lain yang disukai Muhammad Zaim di biara itu adalah, mereka tidak mendiskriminasi kaum LGBT.

Tahun 2016, Muhammad Zaim menyelesaikan program lima tahunnya di biara Plum Village, dan dia ingin merasakan kehidupan orang-orang Eropa. “Karena walaupun saya tinggal di Prancis, saya tinggal di biara. Jarang keluar.” Ritme kehidupan masyarakat Eropa jarang ia rasakan, walaupun di biara dia bertemu dengan orang dari berbagai negara. Ketika memulai perjalanannya, tujuan pertamanya adalah Paris, kemudian Spanyol, Belgia dan Jerman.

Ketika di Jerman, dia berkunjung ke dua orang teman. Bisa dibilang, itulah awal kisah hidupnya di Jerman. Salah seorangnya, Caroline Schneider, tinggal di kota Konstanz dan sekarang menjadi istri Muhammad Zaim. Waktu itu, ketika berkunjung ke Konstanz yang terletak di tepi Bodensee, dia sudah jatuh cinta pula pada danau itu. “Yang kedua, kecantol sama si teman,” kata Muhammad Zaim sambil tertawa. Itulah yang menjadi alasan kuat, mengapa dia memutuskan untuk tinggal di Jerman.

Muhammad Zaim berlutut bersama empat orang lainnya
Muhammad Zaim (kiri) bersama Maha Guru Thich Nhat Hanh (ketiga dari kiri) ketika resmi memakai jubah kebiarawanan Foto: Privat

Sebelumnya, setelah menyelesaikan pendidikan di biara, dia berencana untuk kembali ke Indonesia. Ia bercita-cita mendirikan pedepokan di hutan. “Saya ingin berbagi tentang perdamaian, tentang spiritualitas.” Dia bercerita, hidup sebagai biarawan Zen berarti hidup sebagai pertapa. Artinya, mereka tidak berkeluarga, dan mereka juga tidak bekerja untuk mencari uang. Jadi hidup pertapa Zen didedikasikan untuk pelayanan bagi umat.

Mindfulness solusi bagi hidup yang damai

Aktivitas di biara Plum Village unik karena selalu berhubungan dengan mindfulness. “Kita menyadari apa saja yang sedang kita lakukan. Menyadari, berada pada saat ini,” begitu dijelaskan Muhammad Zaim, dan menambahkan, “kita bisa multitasking, tapi kita menyadari kita sedang multitasking.” Tapi selalu disarankan untuk melakukan satu aktivitas saja. Selain itu, tidak terlarut pada pembuatan rencana untuk masa depan, atau terseret ke masa lalu akibat penyesalan.

“Sebenarnya kuncinya: to be in the present. Berada pada saat ini.” Karena jika kita terfokus pada pembuatan rencana, kita tidak akan terfokus pada yang sedang dilakukan sekarang, sehingga menjadi terseok-seok. Oleh sebab itu, mindfulness jadi solusi untuk hidup bahagia, begitu kata masyarakat modern.

Muhammad Zaim bercerita, di biara, di pagi hari ketika hendak sarapan, para biksu, walaupun 100 orang, berkumpul dengan hening. Mereka tidak berbicara sama sekali, melainkan menyadari makanan dan mensyukuri makanan. Juga mengunyah makanan dengan penuh rasa syukur. Setelah itu mereka bekerja, membersihkan wihara, kemudian memimpin sharing.

“Kita tidak sharing tentang teori, melainkan kita sharing tentang kehidupan kita,” begitu dijelaskan Muhammad Zaim. Pertama-tama mereka hanya mendengarkan saja. Tidak memberikan penilaian, dan tidak menggurui. Jika orang yang berbicara selesai bercerita, maka sharing selesai, dan dilanjutkan dengan sharing berikutnya. “Jadi lingkaran ini adalah lingkaran yang aman, bagi siapa saja yang ingin mencurahkan hati mereka,” demikian ditambahkan Muhammad Zaim.

Aktivitas lainnya adalah berlatih untuk mendengar dengan mendalam. “Di masyarakat kita, setelah kita mendapat masalah berat, sebenarnya kita mencari orang yang bisa mendengarkan.” Ia menambahkan pula, “Ketika kita didengarkan, semua yang ingin diceritakan dicurahkan, kita tidak perlu nasihat yang muluk-muluk. Ketika kita didengarkan, kita merasakan plong. Ini salah satu spirit meditasi juga.”

Muhammad Zaim bercerita, mendengarkan orang juga inti pekerjaannya sekarang. Menurutnya, mendengarkan orang lain memberikan perasaan yang sama seperti menolong orang. “Walaupun kita tidak bisa membantu menyelesaikan masalah orang itu, tapi pada saat itu kita hadir bagi dia, untuk mendengarkan.”

Tetapi dia menekankan, pertama-tama kita harus ada untuk mendengarkan diri kita terlebih dahulu. “Kalau hati kiat kemrungsung [terburu-buru] kata orang Jawa, dan kalau mendengarkan ada judgment, kita akan terlarut juga dalam emosi mereka, dan konflik mereka.” Sehingga akhirnya kita tidak bisa hadir sepenuhnya untuk orang itu. Begitu ditegaskan Muhammad Zaim.

Berkaitan dengan itu, ia bercerita, program lima tahun di biara Plum Village tidak punya kurikulum seperti yang bisa ditemukan di universitas, melainkan belajar pada kehidupan. Jadi tidak ada mata kuliah tertentu yang harus dipelajari di semester tertentu. Ia menjelaskan, program di biara mencakup sejumlah retreat. Ada retreat yang sesuai musim, seperti musim panas, musim semi dan sebagainya. Selain itu ada pula retreat yang sesuai topik. Misalnya, retreat anak muda, atau retreat LGBT.

Muhammad Zaim bersama sejumlah orang duduk di atas tikar
Muhammad Zaim ketika membimbing sebuah grup dalam rangka “Day of mindfulness “ di Spanyol, setelah melepas jubah biarawan ZenFoto: Privat

Plum Village juga pernah memfasilitasi pertemuan dua grup anak muda dari Palestina dan Israel. Karena  berlatarbelakang muslim, ia diajak untuk memfasilitasi grup itu, sehingga dia dapat kesempatan berbincang-bincang dengan beberapa orang dari Palestina. Ia mengatakan, tentu ada pelajaran-pelajaran seperti: apakah meditasi itu? Juga apakah prinsip-prinsip Zen? Tapi bukan itu yang ditekankan dalam pelajaran seorang monastic. Melainkan pembelajaran mengenai kehidupan.

Pelajaran yang dipetik di biara bermanfaat hingga sekarang

Muhammad Zaim mengatakan, dari lima tahun perjalanan spiritualnya di Plum Village, Prancis, banyak pelajaran yang ia bawa. Salah satu yang terpenting adalah rekonsiliasi dengan leluhur-leluhurnya. Itu juga merupakan transformasi dalam dirinya. Ia menjelaskannya demikian: ia lahir di keluarga Jawa. Sebelum agama Islam masuk, di Jawa sudah ada Hindu dan Buddha, juga animism dan dinamisme serta masyarakat tradisional. “Keluarga ibu dan ayah saya sangat kental keislamannya,” cerita Muhammad Zaim, “tapi saya selalu merasa, generasi ke lima atau ke enam sebelum bapak saya itu, mereka para pelaku kejawen. Agama tradisi di Jawa.”

Karena itu, pada suatu ketika dia mengalami dilema yang sangat kuat. Ada saatnya dia sangat membenci orang-orang yang beragama tradisi, di saat lain dia sanggat membenci Islam. Gesekan itu memuncak di bulan-bulan pertamanya di Plum Village. Setelah kegelisahan berhari-hari, dia bermeditasi dan akhirnya melihat, “Saya ini berasal dari sperma ayah dan ovum ibu saya. Dari keduanya saya mendapat informasi-informasi yang tersimpan dalam diri saya.”

Saat itu dia meilhat bahwa kebencian dan fanatisme juga berasal dari leluhurnya. Saat memeditasikan itu, dia mengatakan kepada leluhurnya dalam pembicaraan dengan diri sendiri,”Cukup. Saya tidak mau lagi mewarisi kebencian. Saya tidak mau lagi mewarisi kemarahan-kemarahan ini. Jika ingin mewarisi saya, warisi semangat kalian untuk mendalami spiritual yang lebih universal.“

Dari pembicaraan itu dia merasakan kelegaan, dan melihat, bahwa Islam memiliki sisi keindahannya sendiri, demikian halnya dengan agama tradisi. “Jika kita mau melihat dengan hati yang terbuka seperti itu, kita tidak akan memantik kebencian atau kemarahan kita terhadap salah satu pihak.” Kalau tidak ada kemarahan dan kebencian, kita bisa merasakan kedamaian, demikian dipaparkan Muhammad Zaim.

Pelajaran kedua yang ia dapatkan adalah, ia memandang Islam dengan kaca mata berbeda. Dia juga merasa menemukan Islamnya sendiri. Di Plum Village dia masih melaksanakan puasa Ramadhan. Mengingat masa puasa di musim panas di Eropa lebih panjang dari di Indonesia, yaitu mulai jam 4:00 pagi, dan buka baru jam 9:30 malam, ia suka menggoda teman-temannya di Indonesia. “Kapling saya di surga itu lebih luas dari kalian, karena puasa Ramadhan saya lebih panjang,” katanya sambil tertawa.

Puasa yang ia lakukan di sana juga dengan mindfulness. “Karena biasanya kalau saya berpuasa, ketika magrib datang, saya makan setidaknya tiga piring. Seharian tidak makan, begitu magrib datang, balas dendam, makan sekenyang-kenyangnya.” Tapi di biara Plum Village, sebelum makan dia merenungkan terlebih dahulu, dari mana makanan itu. “Tidak hanya dari sisi manusianya saja. Tapi dari elemen lain juga, dari ibu Bumi, dari unsur matahari, dari air.” Jika satu elemen saja tidak ada, misalnya matahari atau air, makanan itu tidak mungkin ada pula.

Akhirnya dia memahami dan bersyukur atas makanan itu. “Dan saya mengunyah dengan pelan, menikmati, dan mensyukuri.” Akibatnya, dengan makanan satu piring saja dia puas, dan dia tidak sahur sama sekali. Di sana dia mengalami kekhusukan berbeda di bulan Ramadhan, di samping juga melakukan ritual-ritual Ramadhan lainnya. Itulah kedalaman spiritual yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Di sana dia juga menyadari, ritual-ritual Islam juga memiliki nilai mindfulness.

Di biara Plum Village, dia juga merasa terkoneksi kembali dengan alam, karena biara itu dikeillingi oleh hutan pinus. Koneksi itu berbeda, karena dia melihat pohon-pohon sebagai mahluk hidup, dan bukan sekedar barang yang bisa ditebang kapan saja untuk dimanfaatkan. Selain itu, dia juga merasakan ketergantungan manusia pada pohon. Sebelum ke sana, dia memang sudah menyukai alam. Tapi dengan tinggal di sana, pemahaman dia tentang alam semakin intim lagi.

Muhammad Zaim menjelaskan, sebagai biarawan Zen mereka berjanji untuk tidak bekerja. Bukan berarti mereka terus bertapa di atas gunung, dan tidak bertemu orang sama sekali. Tidak bekerja dalam hal ini berarti, hidup tidak mereka sibukkan untuk mencari materi dan uang. Kehidupan mereka dedikasikan dalam jalan spiritual, bermeditasi dan mengenal diri sendiri. Kehidupan seperti itu yang intensif tidak mungkin dilakukan jika memiliki keluarga.

Muhammad Zaim, ein buddhistischer Mönch aus Indonesien
Foto: Privat

Tapi tentu di biara juga ada kebutuhan seperti makanan, pemeliharaan gedung dan lain-lain. “Apalagi di Eropa kita harus punya asuransi,” kata Muhammad Zaim. Untuk keperluan-keperluan itu, peserta yang datang harus ikut membayar. Ia menambahkan, dalam beberapa tradisi, tidak ada kewajiban membayar, hanya berdonasi. Jadi kehidupan sebagai biarawan, tergantung pada donasi orang-orang yang datang untuk bermeditasi. “Dan sejauh ini, mereka baik-baik saja. Bisa terus berjalan, “ begitu dtambahkan Muhammad Zaim. Jika mereka memandang orang-orang yang bekerja dari pagi hingga sore, dari Senin sampai Jumat, mereka merasa kasihan, karena hidup tidak hanya pekerjaan.

“Sisi kehidupan sangat banyak, misalnya keluarga. Danau Konstanz itu begitu indah. Mengapa kita tidak menikmati keindahannya,” katanya sambil tertawa. Di musim semi bunga bermekaran. Jika kita melewatkan itu, berarti kita melewatkan satu sisi kehidupan. Memang bekerja penting, agar bisa membayar pajak atau sewa rumah seperti di Jerman. Tapi kehidupan biara jadi solusi bagi kehidupan yang hanya penuh dengan pekerjaan. “Dan kami membuka ruang luas bagi mereka yang setidaknya ingin melepas kepenatan beberapa hari.”

Mulai mengenal Jerman lebih dalam

Muhammad Zaim menikah dengan istrinya tahun 2017. Tetapi baru mulai menetap di Jerman tahun 2019. Antara 2017 dan akhir 2018, dia terpaksa bolak-balik Jerman-Indonesia, karena dia mendapat visa Jerman hanya selama tiga bulan. Setelah tiga bulan selesai, dia harus meninggalkan Eropa selama tiga bulan, setelah itu baru boleh datang kembali. Akhirnya 2019 dia mendapatkan izin tinggal lebih panjang, karena istrinya hamil dengan anak pertama mereka.

Dia bercerita mengalami kesulitan memahami bahasa Jerman, padahal itu salah satu syarat untuk mendapat visa. “Artikel ada tiga: der, die, das. Kemudian tidak ada pakem yang jelas, yang der ini penjelasannya apa,” katanya sambil tertawa. Namun demikian, selama dia kursus dia menyadari, bahasa Jerman sangat unik dan sangat detail. Mungin oleh karena itu, banyak filsuf berasal dari Jerman, kata Muhammad Zaim. “Karena mereka bisa mengekspresikan perasaan mereka dengan sangat detail.”

Dia mengaku, walaupun letih dan makan ongkos besar, bolak-balik antara Indonesia-Jerman juga menjadi peluang bagi dia untuk melakukan sesuatu di Indonesia. Dia tetap bisa menawarkan kursus meditasi secara online, dan dia juga bisa menerbitkan buku pertamanya, yang berjudul: Secangkir Teh dan Sepotong Ketupat. Bukunya memuat kisah hidupnya dari kecil hingga tinggal di biara Zen di Prancis.

Tantangan lain yang ia hadapi adalah administrasi yang rumit. Dia menjelaskan, di Jerman dia menawarkan kursus meditasi, dan kerap mengadakan retreat di pegununagn di Swiss. Kadang dia juga diundang mengajar di Spanyol. Walaupun sebagian besar urusan ditangani istrinya, dari situ dia menyadari kerumitannya. “Kalau di Indonesia, udah saya bikin aja gubuk di kampung, selesai. Ga perlu laporan, ga perlu lapor bangunannya seperti apa, panjangnya berapa, apakah untuk umum atau engga, harus ada parkiran mobil dan sepeda. Kemudian di parkiran sepeda, berapa jarak satu sepeda dengan sepeda lainnya,” begitu digambarkan Muhammad Zaim sambil tertawa.

Tantangan lainnya adalah: “Kalau musim dingin, saya harus memberongkos [membungkus] tubuh saya semaksimal mungkin.” Dia mengambil contoh, misalnya ingin masak lodeh, tapi lupa membeli cabe. Kalau pergi ke toko artinya harus pakai kaos kaki panjang, sepatu boot, sarung tangan dan jaket tebal. Untuk itu saja perlu 10 menit. Setelah kembali dari toko, juga perlu waktu selama itu untuk menanggalkan baju. “Buat saya itu menantang. Menantang kesabaran,” katanya sambil tertawa lagi, dan menambahkan, “Jadi mindfulness-nya harus ditingkatkan ke level yang sangat tinggi sekali.”

Tantangan selanjutnya, di Jerman tidak ada warung. Jadi jika kangen dengan Indonesia, dia harus menciptakan sendiri suasananya. Jika ingin melaksanakan tradisi, itu juga harus dipersiapkan semuanya sendiri.

Salah satu pelajaran terbesar yang dia peroleh di Jerman adalah, pemerintah Jerman sangat peduli dengan warganya, dan ia dan keluarganya sangat merasakan itu. Dia menyebutkan contohnya, yaitu santunan kehamilan, juga santunan ibu dan anak yang sudah mereka peroleh. “Saya benar-benar terenyuh waktu itu,” kata Muhammad Zaim. Yang kedua: di tengah kondisi perekonomian yang terpukul karena pandemi COVID-19, pemerintah Jerman memiliki program untuk membantu self employer atau wiraswastawan, seperti halnya dia dan istrinya. “Bantuan itu besar sekali, sehingga kami bisa survive.”

Kalau tidak ada bantuan, mereka sudah memikirkan kemungkinan kembali ke Indonesia, atau dia harus mencari pekerjaan lain. Tetapi karena tidak mempunyai ijazah dari universitas, mencari pekerjaan lain sangat sulit. Ia mengaku sangat tersentuh, karena teman-temannya di Indonesia tidak memperoleh sokongan sebaik itu. “Mereka harus banting setir, atau meminta-minta bantuan, dan itu sangat menyedihkan saya,” kataya, sedangkan di Jerman system sokongan sudah terbentuk sangat baik.

Pelajaran berharga lain bagi dia adalah, orang Jerman sangat menghargai hak-hak anak. Itu antara lain bisa dilihat dari tempat bermain anak yang terdapat di mana-mana, dan gratis. “Kalau di playgroud saya merasa senang, karena anak saya senang.” Selain itu, kualitas sarana bermain anak-anak sangat baik. Dia menggambaarkan, rantai ayunan terbuat dari stainless steel. Perosotan bukan dari seng tipis melainkan sangat kuat dan tebal, dan bisa tahan 30 tahun atau 50 tahun. Oleh sebab itu, dia juga mempunyai misi untuk membangun tempat bermain anak-anak di Indonesia dengan kualitas Jerman.

Masyarakat Jerman juga menghargai anak-anak. Kalau anak kecil protes, mereka akan ditanya, apa maunya. “Kalau di Indonesia kan, kamu masih anak kecil. Ga usah didenger.” Itulah kritik sosial Muhammad Zaim terhadap masyarakat Indonesia, yang kurang menanggapi anak kecil. “Sehingga ketika dewasa, anak itu minder, dan takut mengungkapkan ide-ide mereka.” Walaupun dia mengakui, sebagian masyarakat Indonesia juga sudah berubah.

Pelajaran selanjutnya yang dia peroleh dari Jerman, adalah dari sikap orang Jerman terhadap pengungsi. Dia bercerita, ketika Jerman menerima sangat banyak pengungsi dari Suriah, mertuanya yang berlatarbelakang Protestan menerima sebuah keluarga dari Suriah tanpa mempedulikan agama mereka, juga tanpa mengkhawatirkan teroris atau bukan.

Pelajaran terakhir yang dia peroleh adalah, dia tidak menyangka, hal-hal yang sangat membantu dia, yaitu mindfulness dan meditasi, juga diminati banyak orang Jerman. Oleh sebab itu, dia merasa optimis kariernya bisa tumbuh di Jerman. Ini bisa dilihat dari peserta kursus meditasi yang dia tawarkan. Pesertanya ada yang psikolog, dokter, guru, dan arsitek. “Kursus saya berbayar. Tapi saya memberikan tiga opsi: full payment, half payment, kemudian pay what you can.” Dan kesempatan untuk belajar meditasi ingin selalu dia buka untuk siapa saja.

Untuk orang-orang Indonesia yang berminat bekerja di Jerman, Muhammad Zaim mengingatkan untuk belajar bahasa Jerman, dan “Harus tahu, di sini ga ada warung Tegal. Harus bikin nasi goreng sendiri, harus bikin rendang sendiri,” katanya sambil tertawa lagi. (ml/hp)