1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikKorea Utara

Kim Sambut Putin di Pyongyang, Apa Tujuan Pertemuan Ini?

19 Juni 2024

Baik Putin maupun Kim dikucilkan oleh sebagian besar komunitas internasional. Dengan kunjungan Putin ke Pyongyang, kedua pemimpin ini ingin memposisikan diri mereka sebagai sekutu yang kuat untuk melawan dominasi AS.

https://p.dw.com/p/4hDzr
Presiden Rusia Putin mengunjungi Korea Utara
Kunjungan Vladimir Putin ke Korea Utara akan mempererat hubungan Moskow-PyongyangFoto: Yonhap/picture alliance

Presiden Rusia Vladimir Putin tiba di landasan pacu bandara ibu kota Korea Utara (Korut) dan di sambut langsung oleh Presiden Kim Jong Un, pada Rabu (19/06).

Putin kembali menginjakkan kaki ke Korea Utara setelah 24 tahun. Pertemuan kedua pemimpin itu tidak lain untuk berbagi "pemikiran terdalam mereka" dan mempererat hubungan antar kedua negara.

KCNA menyebut kemitraan kedua negara ini sebagai "mesin untuk mempercepat pembangunan dunia multi-kutub baru".

Presiden Rusia Putin mengunjungi Korea Utara
Meski Putin jarang berada di Korut, ia menjamu Kim baru-baru ini di pelabuhan antariksa RusiaFoto: Yonhap/picture alliance

Apa alasan Kim sangat ingin menyambut Putin?

Baik Vladimir Putin maupun Kim Jong Un, keduanya dikucilkan oleh sebagian besar komunitas internasional. Dengan kunjungan Putin ke Pyongyang, kedua pemimpin ini ingin memposisikan diri mereka sebagai sekutu yang kuat untuk melawan dominasi Amerika Serikat (AS).

Pembicaraan ini diharapkan akan menghasilkan sejumlah inisiatif, baik dalam sektor ekonomi maupun militer. Para analis memperingatkan bahwa beberapa kesepakatan, terutama yang berkaitan dengan pertukaran senjata dan teknologi rudal hingga satelit canggih, kemungkinan besar akan dirahasiakan.

Kim Jong Un sangat ingin menunjukkan kredibilitasnya sebagai tokoh pemimpin dunia yang penting, dan citra satelit Pyongyang menunjukkan persiapan yang mewah dalam menyambut kedatangan Putin.

Sementara Presiden Rusia juga ingin menunjukkan bahwa Moskow masih memiliki sekutu, sekaligus menunjukkan kepada internasional bahwa Putin bebas untuk bepergian ke luar negeri meski ada sanksi PBB dan surat perintah penangkapannya yang dikeluarkan oleh Pengadilan Kriminal Internasional atas tuduhan penculikan anak-anak Ukraina oleh pasukan Rusia.

Presiden Rusia Putin mengunjungi Korea Utara
Kedua pemimpin dikawal aparat polisi dalam jumlah besarFoto: Yonhap/picture alliance

'Kemenangan' Kim dalam menyambut Putin

"Daftar negara yang bersedia menyambut Putin jauh lebih pendek dari sebelumnya, tetapi bagi Kim Jong Un, kunjungan ini adalah sebuah kemenangan," kata Leif-Eric Easley, profesor studi internasional di Universitas Perempuan Ewha di Korea Selatan (Korsel).

"Pertemuan ini tidak hanya meningkatkan status Korea Utara di antara negara-negara yang menentang tatanan internasional yang dipimpin oleh AS, tetapi juga membantu meningkatkan legitimasi domestik Kim," tambahnya.  

Lebih lanjut, Easley mengatakan kepada DW bahwa, "Moskow dan Pyongyang kemungkinan akan terus menyangkal pelanggaran hukum internasional, tetapi secara khusus bergeser dari menyembunyikan aktivitas terlarang mereka, menjadi memamerkan kerja sama keduanya.”

"Kunjungan Putin ini sebagiannya bertujuan untuk berterima kasih kepada Korea Utara karena telah bertindak sebagai 'gudang senjata bagi otokrasi' dalam mendukung invasi ilegalnya ke Ukraina," tambah Easley.

Easley juga menjelaskan bahwa, "setelah kunjungan Kim Jong Un ke Rusia untuk dua kali bilateral sebelumnya, pertemuan timbal balik ini secara politis penting karena memungkinkan propaganda Pyongyang untuk menggambarkan Kim sebagai pemimpin dunia." 

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Moskow-Pyongyang bersatu melawan 'standar ganda' AS 

Bahkan sebelum mendarat di Pyongyang, Putin telah mengumumkan penciptaan sistem baru yang tidak ditentukan untuk perdagangan dan pembayaran internasional. Rusia secara efektif dikucilkan dari struktur kerja sama internasional yang dipimpin oleh Barat atas sanksi perangnya di Ukraina.

Namun, Korea Utara juga tidak dapat mengakses perbankan dan fasilitas perdagangan lainnya sebagai hukuman atas program senjata nuklir dan rudalnya.

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di surat kabar Rodong Sinmun Korea Utara pada Selasa (18/06) pagi, Putin mengatakan bahwa hubungan antar kedua negara "didasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan, saling menghormati dan saling percaya."

Putin juga menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Korea Utara atas dukungan "operasi militer khusus" Pyonyang di Ukraina. Presiden Rusia itu juga mengatakan bahwa AS "melakukan semua yang bisa dilakukan untuk memaksakan apa yang disebut 'tatanan berbasis aturan' kepada dunia, yang pada dasarnya tidak lain adalah kediktatoran neo-kolonial global yang didasarkan pada 'standar ganda'."

Presiden Rusia Putin mengunjungi Korea Utara
Perkuatan hubungan Rusia dan Korea Utara jadi ancaman, kata ahliFoto: Gavriil Grigorov, Sputnik/Kremlin Pool Photo/AP/picture alliance

'Kemampuan Putin yang lihai dan kemauan yang kuat' 

Sebuah editorial yang menyertai surat kabar di Korut itu juga memuji Putin sebagai "politisi yang luar biasa" yang "memperkuat kekuatan nasional [Rusia] dengan keterampilannya yang lihai dan kemauannya yang kuat."

Seorang Profesor Hubungan Internasional di Universitas Kokushikan, Yakov Zinberg, yang juga berkelahiran Rusia itu, melihat kunjungan Putin ke Pyongyang ini sebagai sebuah ancaman.

"Ini adalah ancaman yang diperhitungkan terhadap aliansi keamanan AS-Korea Selatan-Jepang, yang dirancang untuk mengirim pesan bahwa mereka tidak hanya kuat terhadap NATO di Eropa, tetapi juga kuat di wilayah Timur," katanya.

Zinberg memprediksi bahwa Kim akan berjanji untuk menyediakan lebih banyak peluru artileri bagi Rusia, selain jutaan peluru yang diyakini para analis telah dikirim ke garis depan di Ukraina. Sebagai imbalannya, Putin akan terus menawarkan dukungan teknologi untuk proyek-proyek nuklir, rudal, dan ruang angkasa milik Korea Utara.

Sementara Rusia dan Korea Utara, keduanya sama-sama membantah telah melakukan transfer amunisi dan kerja sama ilegal di bidang teknologi satelit dan militer.

Kartun oleh Sergey Elkin I Putin melakukan perjalanan ke Korea Utara
Rusia dan Korea Utara saling dukung sektor ekonomi dan militer antarnegaraFoto: DW

Apakah Rusia siap mendukung militer Korut?

Lim Eun-jung, seorang profesor studi internasional di Universitas Nasional Kongju Korea Selatan, menambahkan bahwa "pilihan strategis" Kim ini untuk mendukung sedari awal invasi Rusia di Ukraina, dan sebagiannya lagi untuk mengurangi ketergantungan Korut pada Cina untuk mendapatkan dukungan politik di panggung dunia.

"Kim berkunjung ke Kosmodrom Vostochy di wilayah Timur Rusia pada September tahun lalu, dan tampaknya dia mampu mengamankan teknologi Rusia yang lebih maju," kata Lim kepada DW.

"Saya memperkirakan dia akan mengupayakan hal yang sama sekali lagi pada pertemuan ini, tetapi dia mungkin juga akan meminta komitmen militer yang tegas dari Putin, dan jika dia mendapatkannya secara tertulis, maka hal itu akan menempatkan Korea Utara dalam posisi yang sangat kuat," tambahnya. 

Menukar sumber daya alam dengan buruh kerja

Putin juga kemungkinan akan setuju untuk menyediakan sumber daya alam yang dibutuhkan Pyongyang, termasuk minyak dan gas. Sementara itu, Kim diperkirakan akan setuju untuk mengirim lebih banyak tenaga kerja ke Rusia untuk menutupi kekurangan yang disebabkan oleh wajib militer. 

Lim mengatakan bahwa Kim akan mendapatkan hasil maksimal dari kesepakatan ini, dan mencatat bahwa Cina bisa saja keberatan jika Korut bergerak lebih dekat ke Rusia. "Ini menjadi perhatian utama di Seoul, Tokyo dan Washington, dan juga di Beijing," ujarnya.

Namun Easley berpendapat masih ada kemungkinan garis patahan besar, dari apa yang secara efektif disebut sebagai aliansi yang nyaman. "Keberpihakan negara-negara itu merupakan ancaman bagi perdagangan dan perdamaian global," katanya.

"Akan tetapi, negara-negara ini tidak memiliki institusi dan nilai aliansi yang bisa bertahan lama; mereka hanya terikat secara lemah oleh perlawanan terhadap penegakan hukum dan norma-norma internasional."

"Di luar negara-negara demokrasi yang kaya, banyak pemerintah lain yang memiliki kepentingan yang lebih kuat dalam perdagangan dan diplomasi berbasis aturan," jelas Easley, seraya menambahkan bahwa, "mereka harus segera menegakkan sanksi untuk membantu memastikan bahwa visi hubungan internasional Putin-Kim ini gagal.”

kp/rs (AP, Reuters)

Kontributor DW, Julian Ryall
Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.