1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikGlobal

Riset: Dunia Hadapi Perang Tak Berkesudahan?

Marcel Fürstenau
11 Juni 2024

Situasi keamanan global tidak tunjukkan pertanda akan membaik, menurut laporan perdamaian tahunan oleh tiga lembaga penelitian di Jerman. Upaya diplomatik perlu diperkuat di tengah menguatnya tren autokrasi di dunia.

https://p.dw.com/p/4gtXg
Pengungsi sipil di Jalur Gaza
Pengungsi sipil di Jalur GazaFoto: Eyad Baba/AFP/Getty Images

Sejak beberapa tahun terakhir, "dunia terseret dari satu krisis ke krisis lain," kata Ursula Schröder, direktur lembaga penelitian Institut Riset Perdamaian dan Keamanan Hamburg, IFSH, ketika mempublikasikan laporan tahunan mengenai perdamaian dunia di Berlin, Jerman, Senin (10/6).

Dalam risetnya, IFSH mencatat betapa perkembangan geopolitik internasional sedang mengarah kepada, "semakin banyak perang dan pertumpahan darah, perlombaan senjata dan meningkatnya konfrontasi global."

Menurut Schröder, perubahan tren global diawali oleh invasi Rusia terhadap Ukraina, yang memuncak pada serangan Hamas di Israel dan Perang di Jalur Gaza.

Namun begitu, "kita tidak boleh lupa, bahwa sejak setahun terakhir perang berkobar dahsyat di Sudan, yang mengancam jutaan warga sipil dan menciptakan bencana kemanusiaan."

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Napas panjang perdamaian

Schröder mengaku dirinya belum melihat jalan yang terang bagi perdamaian, merujuk pada tendensi autokrasi dan populis di dunia. Untuk mengubahnya, diperlukan "strategi napas panjang," yang terlihat pada konflik di Timur Tengah.

Karena ketika Hamas merapalkan kehancuran total dan menyangkal hak eksistensi musuhnya, "Israel melangkahi hak legitimnya untuk mempertahankan diri dan melanggar hukum internasional."

Perang di Jalur Gaza sebabnya harus segera dihentikan, tuntut Schröder bersama tiga institut lain yang terlibat menyusun laporan perdamaian tahunan sejak 1987.

"Pemerintah Jerman harus terlibat dengan menitikberatkan pada kepentingan warga Palestina, yang menghadapi kehancuran ekstrem, pengusiran, kematian dan kelaparan di Jalur Gaza."

Selain itu, kepatuhan kedua pihak yang bertikai pada hukum internasional harus bisa dipertanggungjawabkan. Baik Hamas dan Israel berulangkali melanggar perintah mahkamah internasional di Belanda untuk menjauhkan warga sipil dari medan tempur.

Military defense dominates Berlin International Airshow

Kritik terhadap ekspor senjata ke Israel

Lembaga penelitian juga meyakini, ekspor senjata ke Israel justru menambah masalah dalam situasi saat ini. Direkomendasikan agar semua pengiriman senjata ringan dan amunisi yang dapat digunakan di Gaza dihentikan sampai perang berakhir.

Pusat Eropa untuk Hak Konstitusional dan Hak Asasi Manusia, ECCHR, melangkah lebih jauh pada bulan April lalu, dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Administrasi di Berlin untuk menghentikan ekspor senjata ke Israel oleh pemerintah Jerman.

Untuk memutus rantai kekerasan di Timur Tengah, IFSH berorientasi pada peta jalan damai yang diajukan Presiden Amerika Serikat Joe Biden, yakni "pembebasan segera semua sandera Israel dan penerapan gencatan senjata kemanusiaan adalah langkah pertama yang penting dan harus dilakukan kedua pihak."

IFSH juga mendesak Jerman untuk mengikuti contoh negara-negara Eropa lainnya dalam mengakui kedaulatan Palestina, sebelum perang antara Israel dan Hamas berakhir.

"Fase transisi seperti itu harus dikaitkan dengan proses politik yang jelas untuk mengakhiri perang secara permanen dan mengembangkan solusi dua negara,” kata Schröder.

UN puts Israel, Hamas on blacklist for harming children

"Dunia tanpa kompas"

Terkait perang antara Rusia dan Ukraina, para ahli juga mendukung penyelesaian secara internasional. Tujuannya adalah Ukraina yang berdaulat, demokratis, sejahtera dan mampu mempertahankan diri dari kemungkinan invasi di masa depan, kata Ursula Schröder. "Diplomasi dan dukungan militer bukanlah hal yang berlawanan,” tegasnya.

Untuk mencapainya, harus segera dijajaki pembentukan kerangka kerja berkelanjutan bagi proses politik untuk mengakhiri perang. Konferensi perdamaian yang berlangsung di Swiss pada pertengahan Juni nanti dipandang sebagai peluang yang tidak boleh dilewatkan. Pertemuan tersebut diharapkan bisa "memuluskan jalan bagi dimulainya proses negosiasi di masa depan.”

Namun demikian, "saat ini, kedua pihak yang berkonflik. terutama Rusia, tetapi juga Ukraina, tidak menunjukkan kesediaan untuk terlibat dalam negosiasi yang serius," tulis para peneliti. Jerman harus memanfaatkan kanal diplomatik untuk mendorong negara lain agar berperan dalam proses negosiasi di masa depan. Hal ini mengacu pada negara-negara BRICS: Brasil, India, Cina dan Afrika Selatan.

Dari sudut pandang Schröder, untuk meningkatkan peluang negosiasi damai, dukungan militer untuk Ukraina harus dijamin dalam jangka panjang dan berkelanjutan.

"Kami percaya bahwa tekanan terhadap Rusia perlu dipertahankan. Karena selama kepemimpinan Rusia berasumsi bahwa mereka bisa menang secara militer, maka mereka tidak akan terlibat dalam negosiasi nyata,” ujar para ahli dalam laporan perdamaian dengan tajuk "Dunia Tanpa Kompas” .

rzn/as