1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanIndia

Kanker: Prediksi AI Selamatkan Perempuan India dan Pakistan

Anooshay Abid
21 Juli 2023

Lebih dari dua juta perempuan mengidap penyakit kanker payudara setiap tahunnya. Diagnosis dini dan prediksi risiko dengan kecerdasan buatan menyelamatkan para perempuan India dan Pakistan.

https://p.dw.com/p/4UCuG
Foto simbolik amputasi payudara
Kanker payudara menyerang lebih dari 2 juta perempuan setiap tahunnyaFoto: Panthermedia/Imago

Kanker payudara adalah hal terakhir yang ingin didengar Sarah (nama samaran), yang saat itu berusia 31 tahun dan baru saja menikah. Sarah berharap untuk bisa hamil.

Itu bukan sekadar diagnosis. Kanker payudara menyita waktu setidaknya enam tahun dalam hidupnya, di mana satu tahun untuk kemoterapi dan lima tahun untuk terapi hormonal atau endokrin. Sedangkan, terapi hormonal memungkinkan peluang untuk hamil berkurang.

Enam tahun adalah waktu yang cukup lama. Sarah bisa saja membekukan sel telurnya dan kemudian pada usia 37 tahun mencoba fertilisasi in-vitro untuk memiliki anak. Namun, Sarah memiliki indikasi kanker tahap awal yang sensitif terhadap reseptor hormon. Jadi, dia pun memeriksakan diri.

Para dokter kemudian menggunakan tes yang didukung oleh artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Beruntungnya, teknologi ini memperlihatkan perhitungan risiko yang rendah, di mana tumor Sarah dianggap tidak agresif dan risiko kambuhnya kanker payudara dalam lima tahun ke depan juga sangat rendah.

Saat ini, Sarah menjadi seorang ibu dari anak berusia lima tahun dan sedang menyelesaikan terapi hormonalnya. Sarah adalah salah satu dari 2.500 pasien yang beruntung dapat menghindari kemoterapi dengan bantuan tes prognostik berbasis AI buatan OncoStem Diagnostics di India, salah satu dari sedikit perusahaan yang bekerja di bidang AI di wilayah Asia Selatan.

'Bentuk kanker yang paling umum'

Kanker payudara merupakan salah satu penyakit yang paling banyak didiagnosis pada perempuan di tahun 2020 dan angkanya terus meningkat, terutama di negara-negara berkembang seperti Afganistan, Pakistan, dan beberapa wilayah Afrika.

Hampir 685.000 perempuan meninggal akibat kanker pada tahun 2020. Jumlah itu diperkirakan terus meningkat hingga satu juta kematian per tahun 2040 mendatang.

Negara-negara berpenghasilan tinggi juga memiliki angka kasus penyakit kanker yang lebih tinggi di tahun itu, tetapi tingkat kematiannya lebih rendah. Hal itu disebabkan karena kanker terdeteksi lebih baik pada saat tumor stadium awal yang masih berukuran kecil, dengan menggunakan teknologi berbasis kecerdasan buatan.

Penggunaan AI dalam deteksi dini dan skrining kanker

Publik mulai familiar dengan kecerdasan buatan, sejak viralnya peluncuran ChatGPT buatan Open AI pada November 2022. Namun, AI sebenarnya telah ada sejak lama di bidang kesehatan dan penelitian. Penggunaan pembelajaran mesin untuk menganalisis gambar medis telah dimulai sejak tahun 1980-an.

Pembelajaran mesin (ML) adalah sub-bidang dalam teknologi AI. ML adalah teknologi yang mampu meningkatkan kinerja AI dari waktu ke waktu, melalui "pengalaman”. Untuk mendapatkan "pengalaman”, ML membutuhkan banyak data agar dapat "melatih" dirinya sendiri.

Saat ini, para peneliti mengatakan bahwa kita memiliki jumlah data yang dapat membuat mesin-mesin itu jauh lebih canggih daripada 40 tahun yang lalu dan mesin ini juga jadi jauh lebih kuat. Jadi, teknologi canggih ini tampaknya dapat melihat hal-hal yang tidak atau bahkan memang tidak bisa dilihat oleh dokter manusia.

Para dokter sering menggunakan mammogram untuk skrining deteksi kanker payudara. Mammogram merupakan gambar sinar-X pada bagian payudara. Namun, keakuratannya dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk kepadatan payudara perempuan, yang ditentukan oleh jumlah jaringan fibrosa dan kelenjar pada payudara, dibandingkan dengan jumlah jaringan lemaknya.

Kepadatan payudara dan teknik pencitraan yang buruk, membuat tumor lebih sulit terdeteksi dalam mammogram. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (AS) mencatat, jika seorang perempuan memiliki kepadatan payudara, perempuan itu juga berisiko lebih tinggi terkena kanker payudara.

Sebuah penelitian bahkan menunjukkan bahwa 10-30% kanker payudara dapat terlewatkan, apabila hanya menggunakan mammografi.

"Penggunaan AI paling berdampak dalam deteksi dini dan pencegahan kanker," kata Mehr-un-Nisa Kitchlew, seorang peneliti AI dan pendiri RŌZ, sebuah startup pendeteksi kanker payudara yang memenangkan The Microsoft Epic Challenge 2022 di Pakistan.

"Ketika Anda melihat hasil pemindaian, meminta pendapat profesional atau beberapa pendapat profesional lainnya memang penting. Namun terkadang, ada beberapa nuansa halus yang tidak dapat ditangkap oleh mata telanjang, tetapi AI yang terlatih dapat melakukan itu, dan mampu membantu pendeteksian tersebut," ujar Kitchlew.

Kecerdasan Buatan untuk Diagnosa Penyakit

Kekuatan prediksi teknologi AI

Manusia hampir tidak mampu membuat prediksi dengan penuh akurasi. Sebagai contoh, jika Anda mengalami mutasi gen yang mengancam jiwa dan bertanya kepada tenaga ahli dokter tentang peluang untuk hidup sehat dalam sepuluh tahun ke depan, hanya sedikit dari mereka yang mau mengambil risiko untuk membuat suatu prediksi.

Namun, teknologi AI mampu menganalisis karakteristik tumor, ukurannya, jumlah kelenjar getah bening yang terinfeksi, atau bahkan ekspresi protein yang terkait. Kekuatan AI juga dapat mengenali pola dan korelasi dengan berbagai subtipe kanker.

Tingkat kerumitan dan skala data yang sulit itu tidak mampu diperhitungkan oleh manusia.

Perusahaan OncoStem mengatakan bahwa tes prognostiknya, CanAssist, cukup kuat untuk memprediksi risiko kanker hingga sepuluh tahun ke depan. Perusahaan ini melakukan banyak penelitian dengan pasien Eropa.

Tes ini menganalisis ekspresi protein tertentu dan memberi tahu dokter apakah kanker akan merespons pengobatan hormon dan apakah pasien akan memerlukan kemoterapi atau tidak.

"Ketika menjalani kemoterapi, banyak efek samping yang dapat ditimbulkan pada pasien. Anda akan kehilangan rambut, mudah terkena infeksi, atau bahkan terkena leukemia. Anda juga bisa mengalami banyak gangguan neurologis," jelas Manjiri Bakre, salah satu pendiri dan CEO OncoStem Diagnostics.

Tes pendeteksi serupa sebelumnya sudah tersedia di AS dan Eropa, sebelum perusahaan OncoStem meranah pasarnya. Namun, di negara-negara seperti India dan Pakistan, harganya menjadi sangat mahal dan banyak pasien yang tidak mampu untuk membelinya, kata Bakre.

'Campur tangan manusia masih dibutuhkan'

Kitchlew mengatakan bahwa kemungkinan-kemungkinan pengguaan teknologi AI di bidang medis itu tidak terbatas, termasuk operasi robotik.

Namun, Bakre mengatakan bahwa dokter manusia tidak dapat tergantikan. "Campur tangan manusia masih dibutuhkan karena bisa saja terjadi kesalahan (dengan AI)," kata Bakre.

AI memiliki cara tersendiri untuk memahami pola genetik dan menemukan rencana perawatan yang dipersonalisasi, sesuai dengan disposisi genetik pasien tertentu.

Meskipun Sarah dapat merencanakan kehidupannya kembali setelah prediksi kanker berkat teknologi AI itu, tetapi perempuan lainnya mungkin tidak seberuntung dia jika mengidap bentuk kanker payudara lain yang lebih agresif, di mana teknologi AI untuk itu mungkin belum dikembangkan.

(kp/ha)