1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanIndonesia

Perjuangan Penyintas Kanker Berdamai dengan Diri Sendiri

Yovinus Guntur Wicaksono
4 Februari 2022

Pada Hari Kanker Sedunia, DW menampilkan kisah penyintas kanker payudara tentang perjuangan untuk menerima dirinya yang baru dan tetap beraktivitas dengan sehat.

https://p.dw.com/p/46Tc1
Foto ilustrasi kesadaran tentang dampak kanker payudara
Foto ilustrasi kesadaran tentang dampak kanker payudaraFoto: Pascal Guyot/AFP

Kanker masih menjadi salah satu penyakit penyebab kematian tertinggi di dunia. Di Indonesia sendiri, menurut data Rumah Sakit Kanker Dharmais tahun 2018, proporsi kanker terbesar pada semua jumlah penduduk laki-laki dan perempuan adalah kanker payudara sebanyak 19,18%, disusul kanker serviks pada 10,69%, dan kanker paru-paru pada 9,89%.

Pada peringatan Hari Kanker Sedunia tanggal 4 Februari kali ini, DW Indonesia berbincang dengan salah satu penyintas kanker payudara, Fransisca Lenny Windiarti, dari Surabaya. Kepada DW Indonesia, perempuan berusia 43 tahun ini bercerita tentang perjuangannya untuk sembuh dan aktivitas sehari-harinya selama pandemi.

Selalu ada harapan untuk sembuh

Fransisca Lenny Windiarti kali pertama didiagnosis menderita kanker payudara pada September 2011, saat itu usianya 34 tahun. Tim dokter yang saat itu menangani Lenny mengatakan kanker payudaranya sudah pada stadium III A. Artinya, payudara kanan Lenny harus dimastektomi atau diangkat.

Lenny memilih untuk kemudian hanya memiliki satu payudara, meskipun sempat ditawarkan untuk dibuatkan payudara yang diambil dari kulit punggung dan perutnya. "Saya memilih ini setelah berdiskusi dengan suami dan pertimbangan biaya," tandasnya.

Fransisca Lenny Windiarti
Fransisca Lenny Windiarti, penyintas kankerFoto: Privat

Setelah operasi, Lenny masih harus menjalani berbagai tahapan prosedur melawan sel kanker seperti kemoterapi dan radiasi. Tercatat, ia menjalani 6 kali kemoterapi dan 25 kali radiasi.

Seluruh tahapan prosedur pengobatan ini harus ia jalani mulai September 2011 hingga Maret 2012. Hingga saat ini ia juga masih mengonsumsi pil hormon dan harus rutin kontrol setahun sekali ke rumah sakit. 

"Tahun ini adalah tahun terakhir saya konsumsi obat hormon atau nanti di bulan September saat saya kontrol," ujarnya. Kontrol setahun sekali ini akan berlangsung seumur hidup karena selalu ada risiko kanker akan kembali. "Mau bagaimana lagi. Yang penting dinikmati saja," tegasnya.

Lenny yang waktu itu belum bekerja harus mengeluarkan uang sekitar Rp70 juta untuk biaya operasi, kemoterapi, dan radiasi. Saat itu ia tidak punya asuransi dan belum ada program BPJS. 

Jaga diri, tapi tetap beraktivitas selama pandemi

Lenny kini telah bekerja sebagai guru di salah satu SMP swasta di Surabaya. Pandemi COVID-19 diakui tidak banyak berimbas terhadap aktivitasnya. Namun Lenny tetap ketat menjalankan protokol kesehatan. "Bagi saya apa yang terjadi saat ini sama saja. Yang terpenting saya harus tetap menjalankan protokol kesehatan," ujarnya kepada DW Indonesia.

Ibu dua orang anak ini juga melengkapi diri dengan konsumsi vitamin dan suplemen sebagai penunjang daya tahan tubuh. Ia juga sudah menerima dua kali vaksin COVID-19 dan dilengkapi booster.

Ia juga menjaga diri dengan membatasi konsumsi lemak dan gula agar tidak terlalu banyak, karena keduanya menjadi ladang empuk bagi sel kanker.

Aktivitas Lenny dimulai setiap hari sejak 07.00 hingga 16.00 WIB. Ia juga bergabung menjadi relawan di Komunitas Breast Cancer, sebuah lembaga nirlaba yang fokus pada isu kanker. Melalui komunitas ini, Lenny rajin memberikan pemahaman kepada mereka yang baru saja menerima vonis kanker.

"Di komunitas ini kami saling menguatkan dan support satu sama lain," terangnya.

Tidak boleh terlalu cemas

Dokter Prasetyo Widhi Buwono dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengatakan bahwa saat penderita kanker harus lebih disipilin dalam menjalankan protokol kesehatan, seperti memakai masker, rajin mencuci tangan, menjaga jarak, mengurangi bepergian, menghindari kerumunan, menjaga pola makan sehat, serta istirahat yang cukup.

Menurutnya, penderita kanker lebih mudah tertular karena daya tahan tubuh mereka lebih rendah. Bila terinfeksi COVID-19 penderita kanker berisiko mengalami gejala lebih berat hingga meninggal dunia.

Menurut data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, sebanyak 1,8% pasien terkonfirmasi positif COVID-19 mempunyai penyakit penyerta kanker dan sebanyak 0,5% pasien yang meninggal karena COVID-19 menderita kanker sebagai penyakit penyerta.

Jika ada penderita kanker yang terinfeksi COVID-19, dr. Prasetyo menganjurkan untuk kontrol ke rumah sakit dan selanjutnya akan dipantau serta diberi obat-obat standar untuk COVID-19 sesuai dengan tingkat keparahan gejala. Tujuannya agar pasien selalu dalam kondisi stabil.

"Lama perawatan tergantung pada derajat COVID-nya. Yang harus diperhatikan istirahat cukup, patuhi anjuran dokter dan tidak boleh cemas. Sedangkan bagi penderita yang takut ke rumah sakit, bisa telekonsultasi ke tim medis apakah pasien tersebut perlu kontrol ke rumah sakit atau tidak," terangnya. 

Bagi yang diperbolehkan isoman, dr. Prasetyo menganjurkan mereka untuk disiplin menjalankan 6 M, memantau suhu dan saturasi oksigen secara berkala. Dan yang terpenting dalam isoman didampingi keluarga terdekat dengan orang yang sama.

"Untuk konsumsi obat harus yang sudah atas rekomendasi tim medis. Dan bila diperlukan bisa konsultasi dengan telemedicine dengan tim medis rumah sakit," kata dr. Prasetyo Widhi Buwono kepada DW Indonesia.

Ia mengatakan bahwa penderita kanker bisa mendapatkan vaksinasi COVID-19 untuk meningkatkan daya tahan terhadap kemungkinan infeksi. "Untuk hal ini tentunya harus konsultasi terlebih dahulu dengan dokter."

Perlu proses untuk kembali menerima diri sendiri

Menjadi penyintas kanker pada awalnya bukanlah hal mudah bagi Lenny. Setidaknya ia memerlukan waktu satu tahun untuk kembali menerima keadaan dirinya yang baru. Terlebih saat itu, ia harus kehilangan satu payudaranya dan setahun harus hidup tanpa rambut di kepala.

Baginya, beban terberat yang harus diderita oleh penderita kanker tidak hanya sebatas pada raga, tetapi juga ada beban psikologis. Beban inilah yang ia alami selama menjalani kemoterapi. Selain rambut rontok, Lenny menjadi pribadi yang gampang marah, kukunya terlihat kehitaman. Ia juga merasakan mual dan lemas selama beberapa hari setelah tiga kali menjalani kemoterapi.

"Di saat seperti ini, peran suami dan keluarga sangat membantu. Intinya psikologis sangat menentukan penyintas kanker," tegasnya.

Lenny pun bersyukur karena suami, seluruh keluarga, dan lingkungan terdekat memberikan dukungan penuh hingga saat ini. "Ini yang paling penting. Dukungan keluarga, terlebih suami membuat saya jadi lebih kuat dan bisa survive," ujar dia. (ae)