1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
TerorismeEropa

Waspada, Jumlah Teroris ISIS Remaja di Eropa Terus Bertambah

16 September 2024

Jumlah remaja yang ditangkap atas tuduhan terorisme terus bertambah di Eropa. Simak cara ISIS meradikalisasi remaja lewat medsos, termasuk TikTok.

https://p.dw.com/p/4keg6
Ilustrasi sekelompok remaja menggunakan ponsel
Para ahli mengatakan meningkatnya jumlah teroris remaja kemungkinan terkait penggunaan media sosialFoto: Disobeyartphotograph/Dreamstime/IMAGO

Seorang remaja Austria ditembak mati awal September setelah menembakkan senapan antik ke polisi Jerman di München. Ia diduga telah dipengaruhi oleh ekstremisme Islam. Namun, Emrah I. yang berusia 18 tahun dan berasal dari kota kecil di wilayah Salzburg ini, hampir tidak pernah menghadiri masjid setempat.

Satu-satunya hal yang bisa menjadi petunjuk perilakunya di München adalah pada awal tahun 2023. Saat itu, polisi Austria tengah menyelidiki pengaduan tentang perkelahian di sekolahnya, dan menemukan video permainan komputer di telepon milik Emrah I.

Dalam video tersebut, ia menandai tempat kejadian dengan bendera Al Qaeda. Polisi sekarang percaya bahwa dalam beberapa bulan terakhir, remaja tersebut telah teradikalisasi secara daring.

Jumlah teroris remaja meningkat

Antara Maret 2023 dan Maret 2024, para peneliti di Washington Institute for Near East Policy menemukan 470 kasus hukum relevan yang terkait dengan kelompok ekstremis ISIS. Remaja atau anak di bawah umur terlibat dalam setidaknya 30 kasus. Laporan tersebut menambahkan bahwa "angka sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi mengingat banyak negara tidak merilis data usia tahanan."

Studi lain yang dipimpin oleh Peter Neumann, profesor studi keamanan di King's College di London, mengamati 27 kasus terkait ISIS baru-baru ini, dan hampir dua pertiga dari penangkapan terkait kelompok ini di Eropa adalah remaja.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

ISIS sengaja targetkan remaja Barat?

Meskipun telah dikalahkan secara militer pada tahun 2017, kelompok IS masih ada. Kehadirannya mencakup kebangkitan di negara-negara Afrika dan cabang yang berbasis di Afganistan yang dikenal sebagai "Negara Islam Provinsi Khorasan," yang sering disebut sebagai IS-K atau ISIS-K.

Sejak Januari tahun ini, IS-K mendorong para pengikutnya untuk melakukan serangan "lone wolf" di Eropa dan menargetkan acara-acara besar seperti olimpiade, konser, dan pertandingan sepak bola.

Para ahli menemukan indikasih bahwa pesan-pesan tersebut secara eksplisit ditujukan untuk remaja Eropa. Mereka percaya bahwa meningkatnya jumlah penyerang remaja lebih berkaitan dengan cara media sosial dan platform pengiriman pesan memungkinkan remaja mengakses konten ISIS.

Serangan oleh remaja cenderung 'diilhami' oleh ISIS, bukan atas perintah langsung seseorang di luar negeri. Itu adalah dinamika yang sangat berbeda dari tahun 2014 ketika kelompok ISIS menguasai sebagian besar wilayah Irak dan Suriah. Saat itu, calon rekrutan sering berhubungan langsung dengan seorang pengurus di Timur Tengah yang mendorong mereka meninggalkan rumah dan pergi ke wilayah "kekhalifahan." 

Penggemar berfoto di depan mural Taylor Swift di London
Kasus terbaru termasuk penusukan seorang uskup oleh remaja berusia 16 tahun di Australia, penusukan seorang pria Yahudi di Zürich oleh remaja berusia 15 tahun, dan penangkapan tiga remaja pada bulan Agustus karena berencana menyerang konser Taylor Swift di Wina, AustriaFoto: Toby Melville/REUTERS

Aspek-aspek gerakan saat ini kurang tersentralisasi, kata Lucas Webber, seorang peneliti di The Soufan Center, lembaga pemikir keamanan yang berbasis di New York. "Ada lebih banyak perangkat komunitas daring yang berkelanjutan dan organik."

"Ideologi masih memegang peranan, Anda tidak dapat mengabaikannya, tetapi meme-ifikasi atau 'Tik-Tok-ifikasi' konten ISIS dalam video yang lebih pendek (dan) dalam bahasa lokal dengan mudah membuka gagasan tersebut kepada orang-orang yang lebih muda," kata Moustafa Ayad, direktur eksekutif untuk Afrika, Timur Tengah, dan Asia di Institut Dialog Strategis yang berpusat di London, yang menyelidiki ekstremisme dalam berbagai bentuknya.

Proses radikalisasi lebih cepat

Dalam kasus potensi serangan terhadap konser Taylor Swift di Wina, polisi Austria memeriksa jaringan digital tersangka utama Austria yang berusia 19 tahun. Polisi Jerman kemudian menahan seorang remaja berusia 15 tahun di Brandenburg yang diduga menyemangati remaja Austria itu.

Situasi serupa terungkap setelah seorang uskup Australia ditikam pada bulan April. Setelah memeriksa jaringan digital pelaku yang berusia 16 tahun itu, enam remaja lainnya didakwa. Mereka semua telah berhubungan melalui aplikasi pesan Signal dalam grup obrolan bernama Plans.

Jaringan itu tersebar dan organik, dan tidak seorang pun tahu seberapa besar mereka sebenarnya, ujar Ayad. Dia juga mengatakan bahwa platform-platform media sosial tidak melakukan cukup banyak untuk menghapus konten ekstremis.

Ada masalah lain juga. Menurut kepala badan keamanan federal Prancis dan Swiss, proses radikalisasi berlangsung lebih cepat. 

Manfaatkan psikologi remaja yang mudah terpengaruh

Pesan dasar yang selalu disebarkan oleh kelompok ISIS masih sama: dunia menzalimi umat Islam, tetapi jika kamu bergabung, kita akan menjadi kuat bersama. Para remaja yang cenderung merasa terasing atau terpinggirkan akan mencari jati diri, atau mencari serangkaian keteraturan di tengah keruwetan dunia. Mereka bisa jadi menganggap pesan semacam ini menarik, kata para psikolog.

Ada juga faktor politik yang berperan dalam meningkatnya jumlah remaja yang teradikalisasi. Para ahli mengatakan kelompok ISIS menggunakan konflik Israel-Hamas di Gaza sebagai bukti bahwa "seluruh dunia membenci muslim" dan para pendukungnya harus membalas dendam.

Meningkatnya kelompok sayap kanan di Jerman, serta perdebatan terkini seputar imigrasi dan Islamofobia di negara tersebut, juga kemungkinan akan berdampak pada remaja yang terpinggirkan dari komunitas.

"Semakin banyak kelompok ekstremis sayap kanan, akan menimbulkan smakin banyak perilaku jihadis. Sesederhana itu," kata analis Counter Extremism Project, Van Ostaeyen, kepada DW.

Jadi, seberapa besar ancaman para remaja yang oleh sejumlah tabloid disebut "teroris TikTok"?

"Banyak sekali ncaman," kata Ayad. "Namun, saya rasa kita tidak berada di level yang sama seperti tahun 2015 dan 2016. Terkait anak-anak ini, rencana mereka biasanya tidak dipikirkan dengan matang. Namun, rencana itu dapat berdampak besar, jika benar-benar berhasil. Hanya perlu satu serangan yang berhasil."

Artikel ini diadaptasi dari bahasa Inggris