1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikThailand

Dijegal di Parlemen, Pita Tidak Menyerah Jadi PM Thailand

14 Juli 2023

Meski partainya menang dalam pemilu, Pita Limjaroenrat gagal jadi PM Thailand dalam pemungutan suara pertama di parlemen.

https://p.dw.com/p/4TsFQ
Pita Limjaroenrat
Kandidat Partai Move Forward Pita Limjaroenrat gagal jadi perdana menteri ThailandFoto: Athit Perawongmetha/REUTERS

Pita Limjaroenrat, pemimpin partai pemenang pemilu Move Forward (MFP), bersumpah pada hari Kamis (13/07) untuk tidak menyerah dalam upayanya menjadi perdana menteri (PM) Thailand, setelah separuh parlemen lebih memilih abstain atau suara tidak sepakat.

"Saya tidak akan menyerah dan akan menggunakan waktu ini untuk menggalang lebih banyak dukungan," kata Pita kepada para wartawan, dan menambahkan bahwa dia menerima hasil pemungutan suara putaran pertama tersebut.

Parlemen Thailand diperkirakan akan kembali mengadakan pemungutan suara berikutnya, minggu depan. Pita bisa kembali ikut serta, jika dirinya dicalonkan lagi oleh aliansi delapan partai.

Pita Limjaroenrat
Pita tidak berhasil mendapat dukungan dari parlemen, yang sebagian besar menentang agenda reformasi partainyaFoto: Athit Perawongmetha/REUTERS

Rintangan apa yang dihadapi Pita?

Kaum konservatif Thailand kecewa dengan janji kampanye MFP untuk mengubah undang-undang pencemaran nama baik kerajaan Thailand, yang menetapkan hukuman penjara tiga hingga 15 tahun bagi terdakwa.

Pada hari Rabu (12/07), Mahkamah Konstitusi Thailand menerima kasus yang menuduh Pita dan partainya telah berusaha menggulingkan monarki dengan amandemen yang direncanakan, membuat pengusaha berusia 42 tahun itu terancam diberhentikan dari parlemen.

Komisi Pemilihan Umum juga mendukung penangguhan Pita dari parlemen atas tuduhan melanggar peraturan kampanye, di mana Pita dianggap tidak mengumumkan kepemilikan atas saham pada perusahaan media, yang dilarang bagi anggota parlemen Thailand. Pita membantah semua tuduhan, namun dirinya terancam hukuman penjara jika terbukti bersalah.

"Ada upaya untuk menghalangi, bukan menghalangi saya, tetapi menghalangi pemerintah mayoritas rakyat untuk menjalankan negara dengan berbagai cara," ungkap Pita kepada ThaiRath TV, Kamis (13/07).

"Ini adalah hal yang wajar dalam perjalanan menuju kekuasaan di negara kita... Saya termotivasi dan terus berharap dapat memperbaiki keadaan hingga impian saya dan rakyat Thailand dapat tercapai," tambahnya.

Bagaimana nasib Pita saat ini?

Setelah Pita gagal dalam upaya pertamanya, aliansi koalisinya harus memutuskan apakah akan mendukungnya lagi dalam pemungutan suara berikutnya yang akan dijadwalkan pada tanggal 19 Juli, atau justru mengajukan kandidat lain.

Jika bukan Pita, kandidat lain yang dimaksud kemungkinan besar akan berasal dari Partai Pheu Thai, mitra utama sekaligus sekutu politik MFP. Beberapa nama calon yang diangkat, termasuk Paetongtarn Shinawatra, putri dari mantan PM Thaksin Shinawatra, yang digulingkan dalam kudeta militer tahun 2006 silam.

PM sementara Thailand saat ini, Prayut Chan-o-cha dari Partai Bangsa Thailand Bersatu, akan tetap menjabat hingga perdana menteri baru terpilih.

Pita Limjaroenrat
Meski menang pemilu, Pita masih perlu suara dukungan lebih dari separuh anggota parlemen yang berjumlah 750 orangFoto: Athit Perawongmetha/REUTERS

Kemenangan pemilu yang mengejutkan

Pada pemilihan umum pertengahan Mei lalu, MFP berhasil memenangkan 151 dari 500 kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan sejak saat itu berhasil membentuk aliansi koalisi delapan partai yang bersama-sama memenangkan mayoritas terkuat dan mengamankan 312 kursi.

Namun untuk menjadi PM Thailand, Pita membutuhkan suara minimal 376 suara dari 750 anggota parlemen. Tantangan utama Pita yakni 250 anggota senat yang sangat konservatif, di mana banyak dari mereka menentang agenda reformasi MFP.

Thanakorn Wangboonkongchana, anggota parlemen dari Partai Persatuan Bangsa Thailand, mengatakan bahwa partainya, "tidak dapat mendukung mereka (MFP), atau berkoalisi yang melibatkan mereka," katanya. Dia juga menegaskan bahwa, "kami tidak akan mendukung mereka."

Pemilu Thailand kali ini juga dianggap sebagai titik balik politik utama di negara tersebut, di mana kemenangan MFP tampaknya menandakan akan berakhirnya sembilan tahun pemerintahan Thailand di bawah kekuatan militer.

kp/rs (Reuters, AFP, AP)