1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tanpa Trump, Rusia dan Cina Berlomba Dominasi KTT ASEAN

12 November 2018

Absennya Presiden AS Donald Trump dalam KTT ASEAN di Singapura membuka peluang bagi Cina dan Rusia untuk menggandakan pengaruhnya di kawasan. Presiden Vladimir Putin untuk pertamakalinya menyempatkan hadir.

https://p.dw.com/p/386NO
ASEAN Fahne Logo
Foto: picture-alliance/dpa

Saban kali Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN digelar, agenda yang disiapkan tuan rumah jarang bersifat baku. Agendanya cendrung ditentukan oleh siapa pembesar yang datang. Namun kali ini justru absennya Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping yang mendikte iklim politik dalam pertemuan tahunan tersebut.

Kedua kepala negara akan digantikan oleh petinggi nomer dua di jajaran masing-masing, yakni Wakil Presiden Mike Pence dan Perdana Menteri Li Keqiang.

Baca juga: Pompeo: AS Tidak Akan Biarkan Beijing Kuasai Laut Cina Selatan

Sebaliknya Presiden Rusia Vladimir Putin tidak melewatkan kesempatan melakukan lawatan perdananya di Singapura untuk ikut merayakan 50 tahun hubungan diplomatik kedua negara. Putin yang biasanya lebih mendahulukan KTT APEC yang selalu digelar pada saat yang berdekatan, kini mengirimkan Perdana Menteri Dimitry Medvedev ke Port Moresby, Papua Nugini.

Putin diyakini akan memperluas kerjasama perekonomian dengan negara-negara Asia, terutama Jepang, India dan Cina. Sebaliknya Beijing ingin mendorong pembahasan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), yakni perjanjian dagang antara Cina, India, Australia, Selandia Baru, Jepang, Korea Selatan dan ASEAN. Jika berhasil, RCEP akan menciptakan pasar bebas untuk 3,4 miliar penduduk Bumi dengan total Produk Domestik Brutto sebesar 40% dari PDB dunia.

RCEP "akan bernilai sangat tinggi untuk memperdalam kerjasama regional dan mempromosikan sistem perdagangan internasional yang teratur dan terbuka," kata Asisten Menteri Luar Negeri Cina, Chen Xiadong, seperti dikutip South China Morning Post.

Absennya Trump membuka peluang bagi Cina untuk mempercepat proses negosiasi. Trump sejauh ini berusaha merombak berbagai perjanjian dagang agar lebih menguntungkan untuk AS. Dia antara lain berhasil menegosiasikan ulang perjanjian yang telah diratifikasi dengan Korea Selatan dan kesepakatan tripartit antara AS, Meksiko dan Kanada.

Cina juga mengambil langkah preventif dengan mengajak Malaysia, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam dan Malaysia membahas 'aturan bermain' di Laut Cina Selatan. Kawasan perairan kaya sumber daya ini menjadi sumber konflik antara Beijing dan negara-negara Asia Pasifik, termasuk Amerika Serikat. Meski demikian pembahasan tersebut diyakini belum akan membuahkan kesepakatan.

Belakangan negara-negara yang terlibat dalam adu klaim dengan Cina mulai melirik adidaya selain Amerika Serikat untuk meredam pengaruh Beijing di Laut Cina Selatan, antara lain India dan Australia. Maret silam ASEAN dan Australia menggelar pertemuan khusus untuk mempererat kerjasama multilateral, antara lain di bidang keamanan.

Baca juga: Kebijakan Dagang AS Sulut Perpecahan ASEAN Dalam Konflik Laut Cina Selatan

Hal ini diantisipasi Amerika dengan memublikasikan strategi Indo-Pasifik yang bertumpu pada India sebagai kekuatan regional dan mengacu pada strategi serupa milik Jepang. Tokyo terutama ingin mengimbangi Insiatif Jalur Sutera Cina yang mendorong pembangunan infrastruktur di Asia dan Afrika. Adapun AS lebih mengutamakan kebebasan di perairan Pasifik, terutama Laut Cina Selatan.

Sementara itu ASEAN mempertaruhkan kredibilitas seputar kehadiran pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi. PBB menuding militer Myanmar memiliki "niat genosida" dalam isu Rohongya. Suu Kyi dijadwalkan bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, yang sebelumnya mengaku telah kehilangan kepercayaan pada pemenang hadiah nobel perdamaian tersebut.

rzn/hp (scmp, cnbc, nytimes, thestraitstimes)