1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

SIPRI: Belanja Militer Melonjak Naik di Seluruh Dunia

William Noah Glucroft
24 April 2023

Negara di seluruh dunia tercatat belanjakan lebih banyak anggaran untuk militer. Inflasi, perang Rusia di Ukraina, dan persaingan AS-Cina jadi faktor utama, laporan SIPRI.

https://p.dw.com/p/4QTZ9
Militer Finlandia saat berlatih di pangkalan militer Santahamina di Helsinki, Finlandia, 7 Maret 2023.
Militer Finlandia saat berlatih di pangkalan militer Santahamina di Helsinki, Finlandia, 7 Maret 2023.Foto: Alessandro Rampazzo/AFP

Semakin banyak masalah, semakin banyak pula uang yang masuk. Begitu kurang lebih intisari data terbaru yang diterbitkan oleh Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Senin (24/04).

Sebuah wadah pemikir keamanan global terkemuka, tahun 2022 para peneliti SIPRI mencatat lonjakan tahunan sebesar 3,7% di sektor belanja anggaran pengeluaran militer di seluruh dunia. Angka ini menandai rekor tertinggi sepanjang masa dan seiring tren pembelian senjata yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

"Terlepas dari apakah ekonomi berjalan lebih baik atau lebih buruk dari yang diharapkan, militer membelanjakan lebih banyak sumber daya keuangan daripada tahun-tahun sebelumnya, atau sepanjang sejarah," ujar Nan Tian, peneliti senior di SIPRI yang ikut menulis laporan tersebut, kepada DW.

Bagi mereka yang mengikuti peristiwa dunia belakangan ini, menggandakan belanja pertahanan bukanlah hal yang mengejutkan. Perang Rusia melawan Ukraina telah membuat negara-negara Eropa memberikan perhatian baru pada anggaran militer mereka. Sejak rudal Rusia pertama menyerang kota-kota Ukraina pada Februari 2022, negara demi negara mengumumkan anggaran baru mereka di bidang militer.

Belanja senjata untuk berjaga-jaga

Belanja atau pengeluaran pertahanan di antara anggota NATO-aliansi militer Euro-Atlantik yang menggabungkan sebagian besar negara Eropa, telah meningkat setidaknya sejak tahun 2014. Ini adalah saat awal Rusia menyerang Ukraina, mencaplok Semenanjung Krimea secara ilegal, dan mendukung separatis di bagian timur Ukraina. Anggota NATO setuju untuk memenuhi target pembelanjaan pertahanan sebesar 2% dari PDB nasional pada tahun 2024, dan banyak dari mereka perlahan-lahan berupaya mencapai target tersebut.

Fakta bahwa Ukraina sejauh ini berhasil melawan pasukan Rusia, yang secara teoritis lebih unggul, dan mengepung mereka ke sudut negara, menimbulkan keraguan serius pada bahaya yang lebih luas ke seluruh Eropa.

Uang untuk membeli perlengkapan militer baru, dan pengeluaran terkait pertahanan lainnya, terus mengalir. Rusia mungkin gagal di medan perang, kata Nan Tian, tetapi masih bisa menjadi musuh yang kuat di dunia maya. Infiltrasi dan serangan terhadap infrastruktur digital mungkin biayanya tidak begitu tinggi, tetapi menimbulkan kerusakan besar. Selain itu, tentu saja, Rusia memiliki persenjataan nuklir yang cukup besar.

"Saya pikir untuk banyak negara Eropa, ini adalah benar-benar tentang bagaimana memperkuat semua aspek pertahanan," ujar Nan Tian. "Pengeluaran militer yang lebih tinggi adalah tanda pencegahan terhadap (kemungkinan ancaman) Rusia." 

Negara mana pembeli senjata terbanyak?

Data SIPRI menunjukkan bahwa belanja senjata dalam skala besar-besaran mungkin tidak masuk ke laman berita utama di media, dan kadang-kadang memang dimaksudkan demikian oleh para pembuat kebijakan.

Sementara pengeluaran aktual meningkat, melampaui gabungan 2,2 triliun dolar Amerika Serikat (AS) (sekitar Rp32,9 kuadriliun) di tahun 2022. Bila ditinjau dari persentasenya terhadap PDB, pembelanjaan ini nilanya memang 0,1% lebih rendah daripada tahun 2013.

Meski demikian, tercatat ada peningkatan dua digit selama dekade terakhir di banyak negara, termasuk negara-negara seperti Cina (63%), India (47%), dan Israel (26%). Di masing-masing negara ini, persentase pengeluaran pertahanan telah menurun sebagai persentase dari output ekonomi nasional negara masing-masing.

Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa ekspansi ekonomi telah melampaui anggaran nasional di bidang-bidang seperti pertahanan, bahkan jika angka dolar tampak mencolok; dan rekor inflasi yang cepat telah memaksa pemerintah membelanjakan lebih banyak anggaran hanya untuk mengimbanginya.

Dengan kata lain, negara-negara ini kehilangan daya beli. Kementerian pertahanan suatu negara menghadapi tekanan harga yang sama saat berbelanja satu skuadron jet tempur seperti yang dihadapi rumah tangga biasa ketika membeli telur. Negara-negara yang tidak hanya ingin mempertahankan, tetapi juga menumbuhkan atau meningkatkan belanja militer mereka, harus mengeluarkan lebih banyak lagi, demikian menurut laporan SIPRI.

"Meskipun negara-negara telah meningkatkan pengeluaran sebesar 15% secara nominal, setelah menyesuaikan dengan inflasi, anggaran mereka sebenarnya menurun," Nan Tian memberikan contoh.

Inflasi juga menjadi masalah politik, khususnya di Jerman, yang awal tahun lalu menjanjikan tambahan €100 miliar untuk angkatan bersenjatanya sebagai tanggapan atas agresi Rusia. Setelah bertahun-tahun menghadapi kritik karena tidak membelanjakan cukup anggaran.

Bukan sekadar beli bom dan peluru

Pertahanan nasional adalah sebuah institusi yang luas dan mempekerjakan ratusan ribu personel sipil dan militer, dengan biaya yang besar. Karyawan ini juga perlu diberi makan dan pakaian, dan bagian administrasi untuk mengelolanya. Karena itu, anggaran yang lebih besar tidak lantas berarti lebih banyak senjata dan peningkatan kekuatan tempur.

Sementara itu, sistem persenjataan adalah sistem yang besar, kompleks dan dapat memakan waktu bertahun-tahun untuk dikembangkan, diperoleh, dan digunakan. Banyak dari pesawat, baterai rudal, dan kendaraan lapis baja yang dikirim ke Ukraina dari negara-negara NATO telah berusia puluhan tahun. Beberapa pengeluaran terakhir, menurut catatan SIPRI, digunakan untuk memodernisasi kekuatan nuklir yang diharapkan tidak pernah digunakan. 

Berapa banyak uang pembayar pajak yang dibelanjakan untuk pertahanan selalu menjadi pertanyaan ketika uang dalam jumlah besar dipertaruhkan. Itu juga yang terjadi di AS, yang sejauh ini menjadai negara dengan anggaran militer terbesar.. Pada tahun 2022, anggaran pertahanan resmi AS mencapai $877 miliar (Rp13 kuadriliun)), menurut laporan SIPRI, atau sekitar 39% dari pengeluaran militer global.

Cina, yang menurut AS merupakan alasan utama peningkatan anggaran pertahanan, berada jauh di urutan kedua. Tahun lalu, Cina mengeluarkan $292 miliar (sekitar Rp4,3 kuadriliun) untuk belanja militer. Terlepas dari perbedaan antara dua ekonomi terbesar di dunia, banyak pejabat AS dan analis keamanan memperingatkan tentang kemajuan Cina di bidang militer ini. Sejauh mana kebenarannya mungkin berkaitan dengan ke mana uang itu dibelanjakan. Di sisi lain, AS tampaknya masih berniat mempertahankan peran sebagai polisi dunia, yang telah mereka mainkan sejak Perang Dunia II.

ae/yf