1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kebebasan PersIndonesia

AJI Jakarta: Serangan Pada Jurnalis Terus Bermunculan

Muhammad Hanafi
12 Juli 2024

Dari insiden penyerangan terhadap juru kamera Kompas TV, AJI Jakarta menyebut profesi jurnalis cukup rentan, dan jumlah kekerasannya bermunculan tiap tahun di Indonesia.

https://p.dw.com/p/4iEI8
Syahrul Yasin Limpo
Eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang divonis 10 tahun penjara dalam kasus korupsi. Foto diambil pada tahun 2023Foto: Grandy/detikcom

Juru kamera Kompas TV menjadi korban kekerasan dalam peliputan sidang pembacaan vonis kasus korupsi eks Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo. Dalam penyerangan itu, setidaknya ada tiga pekerj media lain yang juga menjadi sasaran oknum tidak bertanggung jawab. Berapa rentan profesi jurnalis?

Kepada DW Indonesia, Bodhiya Vimala, juru kamera Kompas TV yang menjadi korban menceritakan awal mula tindakan kekerasan yang dialaminya pada Kamis (11/07). Organisasi Masyarakat (ormas) pendukung Syahrul Yasin Limpo berusaha menghalangi awak media yang ingin meminta tanggapan kepada eks Mentan itu terkait vonis 10 tahun penjara. Bodhiya mengatakan bahwa ormas pendukung sudah berjanji akan memberikan akses kepada para juru kamera untuk mewawancari Syahrul Yasin Limpo.

"Tapi ternyata enggak, dong. Dari depan tuh langsung, jatuh ke belakang. Namanya orang banyak di situ, langsung kegencet semua. Dan, kawan TV One, teman dari MNC, rusak alat itu. Juga karena kita berebut nyari gambar juga kan, ya bertahan lah sebagaimana mungkin,” kata Bodhiya kepada DW Indonesia, Jumat (12/07).

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Merasa kerja-kerja jurnalistiknya yang dilindungi dalam UU Pers terganggu, Bodhiya pun mengaku sempat merespons kericuhan itu dengan kata-kata ‘koruptor'. Menurutnya hal itu yang memicu para oknum anggota ormas pendukung memburunya hingga mencoba melakukan penyerangan fisik.

"Saya dikejar sampai lorong belakang, kejadian itu. Ya, indikasi pengeroyokanlah ya,” ujar Bodhiya dan menambahkan bahwa dia juga menerima pukulan dan sikutan dari orang-orang yang tidak dikenal.

Dalam sebuah video yang beredar dan dikonfirmasi kepada Bodhiya, setidaknya ada satu orang oknum anggota ormas yang berupaya mengejar Bodhiya ke bagian belakang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Seorang oknum yang mengenakan kemeja putih bahkan berupaya mengambil aba-aba untuk menendang Bodhiya.

Merespons hal tersebut, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Jakarta mengecam tindakan yang menimpa Bodhiya dan rekan jurnalis lainnya. Dalam sebuah pernyataan tertulis, Ketua AJI Jakarta Irsyan Hasyim menyebut sejatinya jurnalis dilindungi oleh negara dalam menjalankan tugasnya. Dia meminta agar "masyarakat untuk mengerti kerja-kerja jurnalistik dilindungi oleh Undang-undang."

Kekerasan terhadap jurnalis banyak terjadi tiap tahun

AJI Indonesia mencatat, sepanjang tahun 2023 telah terjadi setidaknya 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Jumlah ini terbanyak dalam satu dekade terakhir.

Dalam rilis yang dikeluarkan AJI, para jurnalis mengalami berbagai jenis ancaman, mulai dari serangan fisik, teror, digital, kriminalisasi hingga kekerasan seksual. Jurnalis yang memberitakan isu seperti akuntabilitas dan korupsi, sosial dan kriminalitas, serta lingkungan dan konflik agraria menjadi target paling rentan untuk mendapat kekerasan. 

Berkarya Tanpa Batas: Kisah Seorang Jurnalis Tunanetra

Kepada DW Indonesia, Ketua Advokasi AJI Jakarta Sonya Andomo mengatakan kalau kekerasan terhadap jurnalis dalam peliputan terus bermunculan tiap tahun di Indonesia. "Mau tidak mau, itu (kekerasan terhadap jurnalis) memang selalu ada dan memang jumlahnya bahkan sangat-sangat sering muncul, terus-terusan setiap tahun di Jakarta maupun Indonesia itu sendiri,” kata Sonya Andomo, Jumat (12/07).

Selain kasus peliputan vonis Syahrul Yasin Limpo, kata Sonya, setidaknya ada dua kejadian penyerangan terhadap jurnalis yang juga terjadi baru-baru ini.

Di Sumatra Utara, seorang jurnalis beserta keluarganya dilaporkan meninggal dunia akibat sebuah kebakaran yang menghanguskan rumahnya. Diduga, korban menjadi korban kekerasan lantaran mengangkat isu perjudian yang melibatkan oknum TNI.

Kemudian, di Papua ada seorang jurnalis senior yang menerima teror serangan bom. Dalam kasus ini AJI menilai pihak kepolisian diduga menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Selain itu, praperadilan dalam penerbitan SP3 ini juga ditolak oleh pemerintah.

Sejak Januari hingga Juli 2024, AJI Indonesia menerima setidaknya ada 33 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang ada di Indonesia. Namun, Sonya menduga jumlah ini bisa lebih banyak karena adanya beberapa kekerasan yang tidak terlaporkan.

Sonya menilai akar permasalahan kekerasan terhadap jurnalis dimulai dari kesadaran masyarakat soal kerja-kerja jurnalis. "Kita bisa sama-sama sepakat bahwa ini (akar masalahnya) adalah rendahnya kesadaran publik tentang apa itu kerja jurnalistik di lapangan,” ujar Sonya.

Tantangan jurnalis di masa yang akan datang

Sonya juga menyebut jurnalis di Indonesia, selain rentan akan kekerasan juga memiliki banyak tantangan ke depannya. Misalnya, dia menyebut secara spesifik soal kerentanan seksual yang berisiko dialami oleh jurnalis perempuan. Selain itu, ada juga tantangan dari pihak perusahaan yang kadang belum memberikan hak-hak para jurnalis, misalnya asuransi kesehatan, hingga perlindungan di lapangan.

Tak kalah penting, tambah Sonya, saat ini jurnalis juga dikhawatirkan dengan isu keamanan digital. Oleh karena itu, dia menilai isu ini juga perlu diperkuat untuk menghindari kerentanan jurnalis.

Sejatinya, pihak-pihak yang berusaha untuk menghalangi kerja-kerja jurnalistik juga diancam pidana jika mengacu pada Pasal 18 Ayat (1) UU Pers No. 40 Tahun 1999. Namun, Sonya menyayangkan kejadian yang menimpa juru kamera Kompas TV ini hanya diproses dengan aduan di Pasal KUHP.

Reporter DW Indonesia Levie Wardana berkontribusi dalam liputan ini.

(mh/hp)