1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Reproduksi Kolonialisme di IKN?

Iryanda Mardanuz | Melisa Ester Lolindu
16 Agustus 2024

Secara konsep, kolonialisme ialah penguasaan wilayah oleh negara atas daerah atau bangsa lain guna mengubah wilayah itu. Menurut sejarawan, pengabaian hak warga lokal saat membangun IKN dianggap mereproduksi praktik ini.

https://p.dw.com/p/4jFbn
Kemajuan pembangunan infrastruktur IKN Nusantara
Pemerintah terus merampungkan pembangunan tahap pertama IKNFoto: Levie Wardana/DW

Pemindahan ibu kota negara ke Nusantara semakin nyata. Meski begitu, proyek ambisius ini terus menuai kritik tajam dari berbagai pihak, terutama terkait dampaknya terhadap warga asli dan masyarakat adat.

Salah satu fokus pembangunan IKN terletak di Istana Garuda, yang memiliki semangat untuk memindahkan "singgasana" Presiden RI dari istana yang dibangun pada masa kolonial di Jakarta, ke lokasi baru yang bebas dari bayang-bayang kolonialisme.

Namun sejarawan menganggap, mengabaikan hak-hak masyarakat lokal tanpa membuka jalur diskusi justru adalah salah satu bentuk kolonialisme.

Sejauh apa pelibatan masyarakat asli dan adat dalam pembangunan IKN?

Istana Garuda dan konsep kolonial

Menurut Kurator IKN, Ridwan Kamil, salah satu fokus pembangunan IKN terletak di Istana Garuda. Semangatnya adalah untuk memindahkan "singgasana" Presiden RI dari istana yang dibangun pada masa kolonial di Jakarta, ke lokasi yang lebih modern dan bebas dari bayang-bayang kolonialisme. Ia menekankan pentingnya memiliki istana yang mencerminkan kedaulatan dan identitas nasional yang baru. 

"Menariknya, ini harus dicatat ya, selama puluhan tahun, Presiden RI itu berkantor, tinggal di warisan colonial building, which is penjajah kita kan kalau pakai perspektif sejarah. Makanya Pak Jokowi itu kalau menerima tamu suka kagok, karena semua interiornya itu western culture," tutur Ridwan Kamil pada 5 Juni 2024, saat memberikan pernyataan kepada wartawan di IKN.

Mantan Gubernur Jawa Barat itu juga dengan bangga menjelaskan sejumlah interior di dalam Istana Garuda. "Ini semua (rombongan wartawan) kalau diizinkan ke dalam, bisa dilihat isinya itu ada ruang Bali, which is kita banget kan. Ada ruang Sunda, ruang Jawa, ada batik NTT, bangga banget," ungkapnya.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Ilusi meninggalkan kolonialisme

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur menjelaskan, banyak warga adat dan lokal tidak dilibatkan dalam proses pembangunan IKN, termasuk perencanaan hingga negosiasi harga tanah mereka yang dibeli untuk IKN.

"Partisipatif ini kan tentu dari awal gitu ya, merencanakan pembangunan dengan meminta persetujuan masyarakat adat, itu tidak ada. Karena berdasarkan legalitas yang dibilang pemerintah hanya berbasis sertifikat kepemilikan lahan atau tanah, dan karena mereka tidak punya sertifikat jadi dianggap ilegal oleh negara," tandas Ketua Pengurus Harian AMAN Kaltim, Saiduani Nyuk, kepada DW Indonesia.

Kemajuan pembangunan infrastruktur IKN Nusantara
Proses pembangunan Istana Garuda di IKNFoto: Levie Wardana/DW

Alih-alih meninggalkan warisan kolonial, Saiduani mengatakan pembangunan IKN justru menciptakan bentuk baru dari penguasaan tanah dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak memperhatikan hak-hak masyarakat adat.

Ia terutama menyoroti Perpres No.75/2024 tentang percepatan pembangunan Ibu Kota Nusantara yang memberikan hak guna usaha kepada investor atas lahan di IKN hingga 190 tahun, yang di antaranya termasuk tanah masyarakat adat.

"Kalau begitu semacam ilusi yang diciptakan, seolah-olah IKN ini berupaya untuk meninggalkan rezim-rezim kolonialisme. Misalnya kita bicara soal kepemilikan tanah di perubahan undang-undang itu kan 190 tahun, itu justru lebih parah kalau kita melihatnya dari kepemilikan investor setelah mengambil tanah masyarakat,” jelas Saiduani.

"Peninggalan Belanda kan misalnya masih 30 sampai 35 tahun. Makanya menurut kami penting bagaimana IKN melihat masyarakat adat ini, termasuk mitigasi dalam memastikan hak masyarakat adat terhadap akses pembangunan, agar tidak dilakukan perampasan hak sepihak oleh pemerintah dalam topeng Proyek Strategis Nasional (PSN)," tambahnya. 

Andi Achdian - Sejarawan Indonesia
Sejarawan Indonesia, Andi Achdian, menilai pemerintah perlu memperhatikan sejarah masyarakat adatFoto: privat

Mengenal warisan kolonial, domein verklaring

Sejarawan berpendapat, mengabaikan hak-hak masyarakat lokal tanpa membuka jalur diskusi bisa dianggap sebagai bentuk baru dari kolonialisme. 

Secara konsep, kolonialisme adalah penguasaan wilayah oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud mengubah wilayah tersebut menjadi seperti yang diinginkan. Penguasaan tersebut termasuk urusan ekonomi, politik, budaya dan cara hidup masyarakat yang ada di wilayah itu. 

"Yang jelas way of life, tradisi, dan sebagainya. Studi-studi kolonial selalu akan melihat bagaimana perubahan yang terjadi di masyarakat jajahan akibat kolonialisme. Selain pengurasan ekonomi politik, sudah pasti kebudayaan juga bermain di situ," jelas Andi Achdian, sejarawan dari Universitas Nasional (UNAS) Jakarta, kepada DW Indonesia.

Menurut Andi, apabila masyarakat lokal tidak dilibatkan dalam urusan yang berkaitan dengan suatu wilayah, bisa dikategorikan sebagai bentuk kolonialisme. 

"Sebenarnya kita mereproduksi apa yang dilakukan oleh penguasa kolonial. Dalam arti kita datang dengan satu konsep megah untuk mengubah suatu wilayah tanpa konsultasi dengan orang-orang setempat. Menurut saya praktiknya tidak ada bedanya dengan penguasa kolonial saat itu (masa penjajahan). Pertanyaannya apakah ada ruang konsultasi yang berkelanjutan dengan masyarakat setempat? Tabiatnya kolonial sebenarnya (kalau seperti itu). Ini hanya pindah tempat saja," tegas Andi. 

Andi menambahkan, hal terburuk dari kolonialisme saat penjajahan adalah domein verklaring, di mana wilayah-wilayah yang tidak ditempati dianggap sebagai wilayah milik negara. Domein verklaring adalah konsep pada zaman Belanda yang berarti klaim atau pernyataan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya, otomatis adalah tanah negara. 

"Sehingga mereka bebas itu tanah-tanah di dataran tinggi, dan gunung-gunung ditanami dengan tanaman-tanaman untuk kepentingan ekspor. Dan perilaku itu sebenarnya direproduksi oleh kita. Jadi klaim bahwa negara punya hak terhadap tanah yang tidak digarap oleh penduduk itu tetap dilanjutkan, dan direproduksi saat ini sama seperti seolah-olah di Kalimantan sana tidak ada orang jadi kita bangun atau klaim saja," tambah Andi.

Menanggapi masalah masyarakat adat yang hidup di sekitar wilayah IKN, Andi berpendapat pemerintah perlu memperhitungkan sejarah masyarakat adat yang tinggal di sana sejak lama. 

"Hak adat dianggap hak yang mengada-ada atau lemah dibandingkan dengan hak hukum nasional. Itu sangat kolonial wataknya. Kita mereproduksi konsep domein verklaring bahwa semua lahan atau tempat itu milik negara tanpa melihat bagaimana sejarah dan kedudukan orang-orang yang ada di sana. Cara ini yang saya kira kalau masyarakat adat merasa dipinggirkan ya jelas betul, karena mereka memang tidak dilibatkan," lanjut Andi.

Kemajuan pembangunan infrastruktur IKN Nusantara
Istana Garuda akan menjadi lokasi upacara HUT Kemerdekaan RI ke-79Foto: Levie Wardana/DW

"Jadi secara cultural, legitimasinya lemah, tapi punya legitimasi hukum yang kuat—sudah pasti karena ini dibuat dalam proses teknokratik. Masih ada keraguan untuk mengatakan bahwa kita akan punya sebuah ibu kota baru. Beda dengan saat Soekarnokatakan kita punya suatu ibu kota baru, itu ada sebuah harapan dan imajinasi kolektif bahwa memang penting sebuah ibu kota yang akan dibangun. Namun, waktu itu tidak sempat (pindah ibu kota)," jelas Andi. 

Pemerintah diharapkan bisa lebih membuka pintu konsultasi, dan pintu demokratis yang sebesar-besarnya dalam proses pembuatan kebijakan penting khususnya terkait IKN.

Kenapa HUT RI dirayakan di IKN dan Jakarta?

Masyarakat adat dianggap penumpang?

Banyak pihak menilai bahwa pembangunan Nusantara tidak mempertimbangkan hak dan keberlangsungan hidup warga asli serta masyarakat adat yang telah mendiami wilayah tersebut selama turun-temurun. Alih-alih memberikan hak untuk berpartisipasi dalam gemerlap ibu kota baru, salah satu sisi gelap proses pembangunan ini dinilai melibatkan pengalihan lahan besar-besaran tanpa konsultasi memadai dengan komunitas lokal. Padahal, mereka harus meninggalkan tanah hingga akses ke sumber daya alam yang menjadi dasar kehidupan mereka sehari-hari.

Jika demikian cukupkah pengakuan terhadap masyarakat adat dengan membagikan undangan kepada mereka untuk menghadiri upacara perdana 17 Agustus di IKN?

Kepada DW Indonesia, Arman, perwakilan masyarakat adat Balik Sepaku di Kabupaten Penajam Paser Utara, mengaku beberapa perwakilan masyarakat adat termasuk dirinya mendapat undangan untuk hadir pada upacara HUT Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2024 di IKN. Meski begitu ia menegaskan tak akan hadir. 

Arman Jais - Pemuda adat Balik Sepaku
Arman Jais, pemuda adat Balik Sepaku membuat kerajinan tanganFoto: privat

"Aku walaupun dapat, tidak akan hadir juga. Karena kami merasa masih belum merdeka, jauh dari kata merdeka. Kami masih dalam status berjuang untuk menuju kemerdekaan. Sampai saat ini bahkan kita untuk melihat ke dalam (IKN) pun tidak boleh masuk, atau jangan-jangan masyarakat adat ini dianggap sebagai anak pungut kali ya?" ungkapnya.

Arman juga khawatir karena sampai saat ini pemerintah tidak memberikan kepastian kepada masyarakat adat, khususnya soal pembebasan lahan dan partisipasi masyarakat lokal terkait pembangunan IKN. Ia pun mempertanyakan status masyarakat adat di mata pemerintah.

"Seperti di Desa Bumi Harapan itu mereka harus merelakan lahan tempat tinggal mereka, padahal belum mendapat biaya ganti rugi yang dijanjikan. Karena sampai hari ini, tidak ada pengakuan secara signifikan untuk mengakui masyarakat adat di sini khususnya masyarakat adat Balik. Masyarakat adat itu bukan penumpang di negara ini. Jangan perlakukan dia seperti penumpang."

(im/mel/ae)

Iryanda Mardanuz
Iryanda Mardanuz Junior Correspondent, Deutsche Welle Asia Pacific Bureau / Reporter, Deutsche Welle Indonesia