1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pertaruhan Suku Adat Papua, Takut Hutan Digusur untuk Sawit

Melisa Ester Lolindu
12 Juli 2024

Bagi masyarakat adat Papua, hutan bukan hanya menjadi sumber pangan, tetapi warisan orang tua. Hadirnya berbagai proyek industri hanya akan menghancurkan tanah leluhur yang mereka jaga turun-temurun.

https://p.dw.com/p/4hbEL
Pejuang lingkungan hidup dari Papua mendatangi Gedung MA, 27 Mei 2024
Pejuang lingkungan hidup dari Suku Awyu dan Suku Moi mendatangi Gedung Mahkamah Agung, 27 Mei 2024.Foto: Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace

"Bapa saya sebelum meninggal berpesan kepada saya bahwa ‘tanah yang sekarang ini bapa punya, itu ko punya sampai anak cucu’. Jika saya menjual tanah adat itu, maka saya sudah tidak menghormati ibu bapa saya, dan saya berdosa terhadap orang tua saya," kata Hendrikus Woro, warga Suku Awyu, Papua, kepada DW Indonesia lewat sambungan telepon.

Hendrikus bersama para pejuang lingkungan hidup dari Suku Awyu lainnya sedang memperjuangkan pembatalan izin operasi perusahaan sawit di kawasan hutan adat mereka. Ekspansi bisnis perkebunan kelapa sawit di hutan di Papua membuat khawatir masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada hasil alam yang ada di hutan.

"Sumber pangan kami akan hilang, mata pencaharian seperti kayu gaharu akan hilang. Di sana juga ada burung cendrawasih, ada macam-macam (sumber) penghasilan seperti gambir, kulit kayu masoi, dan obat-obatan. Kami takut ketika digusur semua akan hilang dan tujuannya hanya untuk tanam satu jenis pohon yaitu kelapa sawit," lanjut Hendrikus.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Hendrikus Woro menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (PT IAL). PT IAL mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di kawasan hutan adat marga Woro, bagian dari Suku Awyu. Izin tersebut terbit pada tahun 2021.

Masyarakat adat mengaku tidak dilibatkan

Hendrikus mengatakan, masyarakat adat tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan dokumen berkaitan dengan lingkungan hidup serta izin operasi. Secara tiba-tiba, perusahaan sudah mendapatkan izin di wilayah hutan adat mereka.

Hal senada diutarakan oleh Tigor Hutapea, anggota tim kuasa hukum Suku Awyu dan Suku Moi.

"Masyarakat tidak tahu apakah ada perizinan di wilayahnya. Kita baru mengajukan permohonan informasi publik secara tertulis di tahun 2022 dan mendapati ada perizinan itu. Masyarakat terkejut ketika mengetahuinya. Akhirnya, mereka memutuskan pada tahun 2023 untuk menggugat perizinan tersebut," jelas Tigor, yang juga menjabat sebagai Staf Advokasi Pusaka Bentala Rakyat kepada DW Indonesia.

Lima orang anggota masyarakat adat Papua menggelar protes di depan MA, 27 Mei 2024
Kasasi di Mahkamah Agung adalah harapan yang tersisa bagi Hendrikus dan masyarakat adat untuk mempertahankan hutan adat.Foto: Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace

Meski PT IAL belum secara resmi beroperasi, ancaman bertambahnya deforestasi hutan dan ancaman terhadap kehidupan suku adat di sana begitu besar. Sebab, sudah ada perusahaan-perusahaan lain yang lebih dahulu beroperasi di hutan Papua.

"Papua itu hutan terakhir dengan dataran terluas, khususnya di Indonesia. Pemerintah punya tanggung jawab untuk menjaga hutan terakhir tersebut. Namun, hutan terakhir itu bukan hanya bentangan hutan, di dalamnya ada masyarakat adat yang telah menjaga hutan itu antargenerasi. Pemerintah tidak boleh mengabaikan keberadaan mereka," ujar Tigor.

Dapatkah MA jadi benteng keadilan bagi masyarakat adat?

Bukan hanya Suku Awyu di Papua Selatan, Suku Moi di Papua Barat Daya juga mengajukan gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit. Pada 27 Mei 2024, sejumlah perwakilan Suku Awyu dan Suku Moi mendatangi Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta Pusat.

Gugatan mereka kini sampai ke tahap kasasi. Mengenakan busana khas suku masing-masing, mereka menggelar doa serta ritual adat di depan gedung MA, berharap agar MA akan menjatuhkan putusan hukum yang berpihak pada mereka. 

Suku Moi melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang diberikan izin untuk menggunakan 18.160 hektare hutan adat Suku Moi untuk perkebunan sawit. 

MA sendiri telah mengeluarkan Perma No.1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Perma itu menjadi instrumen penting dalam pelaksanaan putusan untuk memulihkan lingkungan hidup.

Indonesien I Indigene Völker besuchen Obersten Gerichtshof in Jakarta
Aksi damai untuk menyelamatkan hutan adat Papua, di depan Gedung Mahkamah Agung pada 27 Mei 2024Foto: Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace

"Kita ingin lihat apakah MA akan menerapkan nilai-nilai dan peraturan yang telah dibuat dalam kasus ini dan kasus-kasus lingkungan lainnya. Apabila peraturan itu diterapkan, kami yakin akan ada keadilan bagi para pembela lingkungan yang saat ini sedang berjuang di mana pun untuk memperjuangkan hak atas lingkungan yang baik," ujar Tigor.

Kasasi di Mahkamah Agung adalah harapan yang tersisa bagi Hendrikus dan masyarakat adat untuk mempertahankan hutan adat.

"Kami ini sudah maju dengan terhormat, jadi harapan kami tidak ada jalan lain, Mahkamah Agung sebagai orang tua kami-kami tahu bahwa pemerintah bisa mengatur kami dengan baik sehingga kami maju dengan terhormat. Izin-izin (perusahaan) harus dicabut. Dan kembalikan tanah adat kami supaya kami tetap bisa hidup aman dan damai di atas tanah adat kami," kata Hendrikus kepada DW Indonesia lewat sambungan telepon.

PT Indo Asiana Lestari menolak berkomentar terkait pemberitaan ini ketika tim DW Indonesia menghubungi lewat telepon. 

"Kalau kuburan leluhur digusur, kami berdosa terhadap mereka"

Sebagai sumber penghidupan, hutan adat Papua menyimpan keanekaragaman hayati yang tak ternilai harganya. Salah satunya adalah sagu. Selain menjadi makanan pokok, daun sagu bisa dibuat menjadi aksesoris hingga atap rumah tradisional. Bahkan pucuk sagu bisa dijadikan sayur rebung dan garam khas Papua.

"Pohon sagu saja kegunaannya banyak, pohon nibung saja kegunaannya banyak. Itu baru dua pohon, belum yang lain. Itu sangat berharga semua. Itu sebabnya kami katakan bahwa tanah dan hutan adat adalah sumber kehidupan bagi kami," jelas Hendrikus.

Masyarakat Adat Pulau Rupat Perjuangkan Tanah Leluhur

Selain itu, kekhawatiran masyarakat adat adalah potensi tercemarnya sumber air.

"Air-air itu akan rusak. Karena di dalam hutan, kami masyarakat adat tidak pernah memasak air. Air dari hutan itu seperti air kemasan yang biasa diminum, tidak perlu repot (dimasak). Langsung diminum saja. Airnya jernih sekali," lanjut Hendrikus.

"Kami takut kalau digusur, semua tulang belulang, kuburan-kuburan orang tua kami yang sudah mendahului kami pasti akan (ikut) digusur semua. Dan itu berarti kami sudah berdosa terhadap mereka karena (di sana) adalah tempat-tempat penting sebagai peninggalan, dan tempat-tempat bersejarah," jelas Hendrikus. 

Wilayah Suku Awyu belum berstatus hutan adat

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), wilayah yang berpotensi sebagai hutan adat di Papua tercatat sekitar 3,732 juta hektare, terdiri dari hutan konservasi (HK) 22,51%, hutan lindung (HL) 32,49%, hutan produksi (HP) 41,86%, areal penggunaan lain (APL)/ tubuh air 3,14%. Wilayah ini tersebar di Kabupaten Kaimana, Maybrat, Kabupaten/Kota Sorong, Tambrau, Teluk Bintuni, Asmat, Jayapuran, dan Mimika. 

“Batas persis dari wilayah adat ini belum terpetakan secara akurat, sehingga kami pun sifatnya indikasi. Kami mendapatkan informasi awal paling tidak ada 7 perusahaan di bidang kehutanan yang terindikasi beririsan atau tumpang tindih dengan lokasi hutan adat dengan total luas kurang lebih 62 ribu hektare," kata Direktur Penanganan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat KLHK, Muhammad Said, kepada DW Indonesia.

Wilayah yang berpotensi sebagai hutan adat tersebut terindikasi tumpang tindih dengan 7 Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), yaitu PT Asco Prima Nusantara, PT Bangun Kayu Irian, PT Damai Setiatama Timber, PT Nusantara Sago Prima, PT Papua Satya Kencana, PT Rimbakayu Arthamas, dan PT Hanurata Unit Jayapura dengan total luas sekitar 62.585 hektare. 

"Terkait dengan hutan adat, posisi KLHK sebenarnya memberikan penguatan terhadap hutan adat yang mereka kelola. Bahwa memang sungguh-sungguh merekalah yang berhak melakukan pengelolaan," tambah Said.

Indonesien | Muhammad Said
Muhammad Said, Direktur Penanganan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat KLHKFoto: Melisa Lolindu/DW

Pada tahun 2022, lanjut Said, KLHK pernah mencabut keputusan pelepasan area hutan untuk perkebunan bagi tiga perusahaan, yaitu perkebunan PT Megakarya Jaya Raya (MJR) dan PT Kartika Cipta Pratama (KCP) yang berkonflik dengan masyarakat adat Awyu di Kab. Boven Digoel, serta perkebunan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang berkonflik dengan masyarakat adat Moi di Kab/Kota Sorong.

Dengan begitu, wilayah perkebunan ketiga perusahaan tersebut berubah kembali statusnya menjadi hutan negara. KLHK mengaku sedang memproses pemberian status hutan adat untuk wilayah yang diduduki oleh Suku Moi. Sedangkan untuk wilayah yang dihuni oleh Suku Awyu, Said mengatakan KLHK sedang menunggu kelengkapan informasi, seperti peta wilayah, untuk kemudian diproses sebagai hutan adat. 

“Apa implikasinya setelah wilayah tersebut berubah menjadi hutan adat? Menjadi lebih kuat (posisinya). Tidak mungkin lagi perusahaan yang menggugat mau mengajukan lagi, tidak akan bisa masuk tanpa ada persetujuan dari masyarakat adat yang bersangkutan," jelas Said.  

“Kalau memang perusahaan yang sudah ada di sana dan kemudian wilayahnya menjadi bagian dari hutan adat yang akan ditetapkan oleh Menteri LHK, maka suka atau tidak suka, mau tidak mau, harus menyesuaikan aktivitasnya dengan tatanan adat yang ada di wilayah konsesinya," tambah Said.

Masyarakat adat setempat otomatis berhak mengelola sebuah wilayah yang diberikan status sebagai hutan adat.

Meski begitu, Tigor Hutapea selaku anggota tim kuasa hukum Suku Awyu dan Suku Moi berpendapat bahwa KLHK seharusnya lebih dahulu melakukan pendataan dan verifikasi terhadap status tanah dan hutan adat yang ada di Papua. Sebab, selama belum ada pengakuan resmi atas hutan adat tersebut, maka KLHK bisa terus melepaskan kawasan hutan kepada perusahaan. 

"Jadi seharusnya sebelum KLHK atau pemerintah memberikan izin-izin di wilayah yang ada sekarang, mereka harus melakukan verifikasi (terlebih dahulu) apakah wilayah itu dimiliki oleh masyarakat adat. Ini yang tidak terjadi, sehingga menjadi konflik," kata Tigor kepada DW Indonesia. 

12,9 juta hektare hutan di Papua terancam terdeforestasi

Greenpeace Indonesia mengungkap bahwa total tutupan hutan di kawasan hutan produksi Papua secara keseluruhan mencapai 12,991 juta hektare. Terdiri dari 6,78 juta hektare berada di dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT), 4,05 juta hektare di dalam Kawasan Hutan Produksi (HP), dan seluas 2,15 juta hektare di dalam Kawasan Hutan Produksi untuk Konversi (HPK). Wilayah itu merupakan tutupan hutan yang sangat terancam terdeforestasi. 

Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan suku Moi mendatangi Gedung Mahkamah Agung pada 27 Mei 2024
Hutan adat juga menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi para leluhur. Menjaganya adalah kewajiban masyarakat adat, ujar Hendrikus.Foto: Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace

"Data saat ini, deforestasi terencana yang sebenarnya ini adalah deforestasi yang legal, ya, tapi direncanakan akan dilakukan di seluruh tanah Papua, yang sekarang tersebar di 6 provinsi, ada sekitar 12,9 juta hektare hutan yang akan dikonversi menjadi beragam kebutuhan salah satunya tentu saja sawit," jelas Sekar Banjaran Aji, Forest Campaigner Greenpeace Indonesia. 

Lebih dari 250 kelompok etnis hidup di Papua. Hutan Papua diyakini sebagai benteng terakhir, bukan hanya bagi warga Papua, tapi juga masyarakat Indonesia untuk menghadapi krisis iklim.

"Kita tidak punya waktu banyak untuk menyelamatkan diri dari kepunahan yang diakibatkan oleh iklim yang memanas. Posisi hutan Papua hari ini memang menjadi benteng terakhir kita untuk menghadapi krisis iklim. Jadi kalau bisa dilihat dari rentang waktu, kita tidak bisa menyamakan apa yang terjadi di Papua hari ini sama dengan apa yang terjadi di Kalimantan atau Sumatera dulu. Waktu itu kita tidak mengalami iklim seperti sekarang," tambah Sekar.

Ketika banyak hutan yang dibuka untuk lahan industri, jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan akan sangat besar. Sederhananya, ketika hutan hilang, akan lebih banyak karbon yang dilepaskan ke luar angkasa di mana prosesnya akan membuat bumi ini semakin panas. 

"Sebenarnya kita tidak perlu punya keraguan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat adat untuk mengelola hutannya dan hari ini kami berharap bahwa keadilan masih bisa kita dapatkan untuk masyarakat adat Papua. Keadilan itu juga yang kami harapkan bisa menjaga hutan Papua lebih hijau dan membentengi kita dari krisis iklim," tutup Sekar. 

(mel/ae)