1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ramai-ramai Selamatkan Bumi Lewat Aksi Lintas Agama

17 Juli 2024

Komunitas spiritual di mana pun sejatinya menggerakkan kebangkitan moral menjaga Bumi. Demikian keyakinan GreenFaith, organisasi yang gencar kampanyenya perlindungan lingkungan lewat interaksi antarumat beragama.

https://p.dw.com/p/4iPmS
| Greenfaith Movement Ecogreen
Gerakan menjaga Bumi bersama GreenFaithFoto: Greenfaith

Di Indonesia, pada bulan Juni 2024, GreenFaith melakukan ragam kegiatan yang mendorong kerja sama antarumat beragama dalam perlindungan iklim lewat kepemimpinan para tokoh agama. Di antaranya adalah tur ke rumah-rumah ibadah di Jakarta dan pelatihan keadilan iklim di Sulawesi Utara.

Tur ini bertujuan untuk menghadirkan model dan inovasi lembaga agama-agama di Indonesia dalam pada menghadapi masalah krisis iklim lewat aksi nyata. Mereka memanfaatkan nilai-nilai dan perintah agama sebagai upaya untuk menjaga dan merawat lingkungan.

"Rumah ibadah merupakan potret sebuah agama yang di dalamnya bukan hanya digunakan sebagai rumah untuk berkomunikasi dengan Tuhan dengan ritual ibadah, namun juga sebagai pusat atau sumber pengetahuan serta contoh baik dari aksi agama dalam melaksanakan perintah Tuhan”, tutur Hening Parlan, Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia.

Melalui Tur Rumah Ibadah ini, Hening berharap, para peserta dapat saling bertukar pengetahuan tentang bagaimana agama mengajarkan  mencintai lingkungan dan memuliakan Bumi, serta memberikan pengetahuan untuk umatnya melakukan tindakan menyelamatkan Bumi.

Tur rumah-rumah ibadah hijau

Awal Juni, kunjungan tur dimulai dari Pura Adhitya Jaya - Rawamangun, kemudian ke GIPB Paulus – Taman Sunda Kelapa, dan diakhiri dengan kunjungan ke Yayasan Buddha Tzu Chi – Pantai Indah Kapuk. Tur juga dilakuka ke Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah - Menteng Raya, kemudian ke Masjid Istiqlal – Jakarta Pusat, serta doa bersama di Klenteng Hok Tek Tjeng Sin – Jakarta Selatan. 

Pinandita Pengayah Pura Adhitya Jaya, I Gde Wiyadnya, mengatakan bagi umat Hindu, alam semesta adalah refleksi manusia itu sendiri. "Semua yang ada di alam semesta terdiri dari lima elemen atau kami sebut Panca Mahabhuta, yakni elemen pertiwi, udara, cairan, ruang, dan panas. Kalau kelima elemen tersebut di alam semesta ada yang terganggu maka akan berpengaruh ke diri kita, begitu pun sebaliknya,” ungkapnya.

Untuk menjaga keseimbangan elemen Panca Mahabhuta, urai Gde, dibutuhkan Tri Hita Karana, di mana manusia perlu menjaga hubungan baik dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam. 

Tri Hita Karana kemudian diadopsi ketika membangun rumah ibadah. "Kita menjaga tempat ibadah kita sebisa mungkin mendekati alam semesta. Oleh sebab itu bangunan pura terbuka, kita tanam pohon, dan umumnya memiliki sumber air,” imbuhnya.

Di GPIB Paulus, Rommi Matheos selaku Pendeta GPIB Paulus, menjelaskan iman Kristen meyakini bahwa dunia ini adalah ciptaan Tuhan, yang diciptakan selama 6 hari, di mana hari ke-7 manusia diminta untuk istirahat, atau tidak bekerja atau disebut dengan hari Sabat. "

Tuhan ingin supaya manusia tidak hanya bekerja tetapi juga harus mengistirahatkan diri dan memperhatikan Bumi, di sinilah tumbuh kesadaran kita untuk menyelamatkan lingkungan,” ungkapnya. "Di GPIB Paulus kami ketika beribadah sudah tidak lagi pakai kertas, namun mulai paperless, dan kami sediakan tempat sampah pilah, agar jemaat mampu memilah sampah sesuai jenisnya,” ungkap Pendeta Mattheos. 

Di Gedung Yayasan Buddha Tzu Chi, Juny Leong Min Wu, relawan insan Buddha Tzu Chi, menceritakan sejarah, nilai ajaran, serta kiprah Madzhab Tzu Chi di Indonesia. Sudah sejak 1990-an, insan Tzu Chi melakukan pemilahan dan mengelola sampah menjadi barang berguna.  Relawan Tzu Chi aktif mengedukasi masyarakat untuk melakukan pemilahan sampah dan daur ulang di Depo Pendidikan Pelestarian Lingkungan Tzu Chi. 

Hemat energi sebagai bagian dari perlindungan iklim

Para peserta tur belajar aksi nyata mewujudkan keadilan iklim lewat energi terbarukan di Gedung Dakwah Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sudah menggunakan solar atap sebagai sumber energi alternatifnya. 

"Langkah nyata ini mampu mengurangi biaya pemakaian listrik dari fosil. Jika solar panelnya berfungsi secara maksimal, biaya pengeluaran listrik per bulannya bisa lebih hemat Rp15 juta, dari yang biasanya lebih dari Rp40 juta per bulan,” ungkap Hening, Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup (MLH) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.

Gerakan Muhammadiyah dilandasi oleh spirit Al Maun termasuk dalam gerakan melestarikan lingkungan. "Al Maun adalah salah satu surat di dalam Al Quran yang menjadi spirit gerakan Muhammadiyah untuk memperhatikan dan menyantuni saudara-saudara kita yang fakir, miskin, dan yatim. Kini berkembang menjadi ‘Green Al Maun', di mana Muhammadiyah melihat fakir, miskin, dan yatim akibat terdampak krisis iklim,” kata Hening.

Pengetahuan tentang energi peserta semakin bertambah dari kunjungan ke Masjid Istiqlal. Masjid terbesar di Asia Tenggara ini dilengkapi dengan solar atap berkekuatan lebih dari 15 kilowatt peak yang memasok 16% kebutuhan listrik masjid.

Pemanfaatan solar atap di gedung Masjid Istiqlal ini sudah berlangsung sejak 2019 lalu dengan sistem on grid atau terhubung dengan saluran listrik dari PLN. Saparwadi, Kepala Humas dan Protokol Badan Pengelola Masjid Istiqlal menyampaikan bahwa pada tahun 2022, Masjid Istiqlal telah mendapatkan penghargaan Green Mosque pertama di dunia dari International Finance Corporation (IFC).

"Bangunan Masjid Istiqlal Jakarta yang memiliki luas 4 hektar dan tanah 9,6 hektar ini, kini sudah menggunakan 504 solar panel yang alhamdulillah telah membantu menghemat anggaran hingga 100 juta rupiah dari total rata-rata 200 juta rupiah perbulannya,” ungkap Saparwadi. 

Masjid Istiqlal juga melakukan konservasi air dengan cara menghemat jumlah debit air wudhu yang keluar dan mengolahnya kembali untuk digunakan menyiram pohon dan tanaman di area masjid. 

Indonesia mosque goes green

Pelatihan keadilan iklim di Sulawesi Utara

Selain Tur Rumah Ibadah, GreenFaith Indoensia juga menyelenggarakan training Keadilan Iklim di Gereja GMIM Imanuel Jemaat Koya, Tondano, Sulawesi Utara, pada pertengahan bulan Juni lalu.

Bumi sedang tidak baik-baik saja, bakan menuju kiamat ekologis, demikian kata Pendeta Krise Gosal, Wakil Sekretaris Umum PGI. " Salah satu penyebab kerusakan ekologis adalah eksploitasi atas sumber daya alam sebagai bukti kerakusan tanpa batas dari para pelaku bisnis dan elite politik demi keuntungan sebesar-besarnya.”

Eksplotasi alam terkait agama?

Sepanjang sejarah, eksploitasi alam yang dilakukan manusia seringkali berbalut alasan agama seperti Gold, Glory, Gospel yang diusung bangsa Eropa ketika menjajah Indonesia. "Gold, Glory, dan Gospel atau Kekayaan, Kekuasaan, dan Keimanan dibungkus menjadi pembenaran atas deforestasi hutan di Jawa dan Sumatera semasa penjajahan Belanda sejak kedatangan Cornelis de Houtman pada 1895 di Banten,”kata Nita Roshita dari GreenFaith Indonesia.

Christian Purba, dari Badan Pengawas FWI dan Direktur IFM-FUND sepakat dengan pernyataan bahwa kondisi alam Indonesia yang terus makin memburuk. "Data peta deforestasi di Indonesia tahun 2000-2017 menunjukkan alih fungsi lahan hutan menjadi Perkebunan terjadi besar-besar di Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Saat ini Indonesia bagian timur adalah garda terakhir penyelamatan alam Indonesia,” kata Christian. 

Dalam pelatihan keadilan iklim ini, peserta yang berjumlah 34 orang mewakili 11 Gereja Protestan di wilayah Indonesia Timur ditantang untuk memetakan permasalahan lingkungan yang ada di sekitar gereja.

Peserta kemudian menyusun rencana aksi dan strategi komunikasi yang tepat untuk meningkatkan kepedulian umat dan mengajak aksi nyata bersama mengatasi permasalahan lingkungan tersebut.

Di antara permasalahan yang ingin diselesaikan oleh peserta adalah penyadaran tentang bahaya tambang terhadap lingkungan dan masa depan generasi muda, aksi nyata pemilahan dan pengolahan sampah di gereja, dan bahaya eceng gondok bagi ekosistem Danau Tondano di Sulawesi Utara. (ap/hp)