1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Presiden Peru Pedro Castillo Ingin Perubahan Radikal

Jan D. Walter | Camilo Toledo
17 Juni 2021

Pedro Castillo empat tahun lalu hanya seorang guru di sebuah desa terpencil. Sekarang dia memenangkan pemilihan presiden di Peru, mengalahkan Keiko Fujimori, putri mantan presiden Alberto Fujimori.

https://p.dw.com/p/3v62i
Pedro Castillo di ibukota Peru, Lima
Pedro Castillo di ibukota Peru, LimaFoto: picture alliance/AA/Klebher Vásquez

Lahir di Tacabamba tahun 1969, Pedro Castillo pernah menjadi anggota keamanan desa Rondas Campesinas, yang digalang oleh para petani selama puncak konflik antara gerilyawan kiri dan pasukan pemerintah Peru tahun 1990-an. Baik para gerilyawan maupun para serdadu ketika itu sering bergantian meneror penduduk di pedesaan. Kegiatan itu yang kemudian membentuk pandangan politik Pedro Castillo muda.

Tahun 2002, dia gagal dalam upayanya untuk menjadi walikota di Anguia. Namun tahun 2017 dia berdiri di garis paling depan memimpin aksi nasional pemogokan guru, yang menuntut pembayaran gaji lebih tinggi dan beberapa jaminan sosial lainnya. Karena gerakan itu semakin luas, presiden saat itu Pedro Pablo Kuczynski akhirnya memenuhi sejumlah tuntutan mereka, termasuk kenaikan gaji. Sejak itu, nama Pedro Castillo makin dikenal di kalangan rakyat miskin.

Pemilihan Presiden sudah dilangsungkan 6 Juni lalu, antara dua kandidat presiden yang dalam putaran pemilihan sebelumnya mendapat suara terbanyak, Pedro Castillo dan Keiko Fujimori, putri mantan presiden Alberto Fujimori, yang sekarang mendekam di penjara karena tuduhan korupsi dan kejahatan kemanusiaan.

Sekalipun masih ada klaim lain dari lawan politiknya, Pedro Castillo tampaknya memenangkan pemilihan dengan mayoritas tipis. Dia sendiri mengklaim kemenangan itu hari Rabu (17/6), setelah dalam penghitungan suara dia memimpin tipis dengan meraih 50,12 % suara melawan Keiko Fujimori yang mendapat 49,88 % suara.

Keiko Fujimori, yang sudah tiga kali maju dalam pemilu presiden dan belum pernah menang, mengatakan akan menentang hasil penghitungan suara itu dan menuduh ada manipulasi.

Keiko Fujimori
Keiko Fujimori, tiga kali bertarung, tiga kali kalahFoto: Martin Mejia/AP Photo/picture alliance

Peru akan kembali ke sosialisme radikal?

Partai Castillo, Free Peru yang berhaluan Marxis-Leninis, sebelumnya berhasil merebut lebih 13 persen suara dalam pemilihan legislatif awal tahun ini dan muncul sebagai fraksi terbesar di parlemen. Namun jumlah raihan kursinya tidak terpaut jauh dari partai Popular Force Keiko Fujimori, yang mengumpulkan 12 persen suara.

Tapi dalam sebuah wawancara pada bulan April, Pedro Castillo mengatakan, jika terpilih sebagai presiden dia akan mempertimbangkan pengampunan untuk Antauro Humala, mantan mayor angkatan darat yang memimpin percobaan kudeta tahun 2005 terhadap mantan Presiden Alejandro Toledo dan dihukum hukuman penjara selama 19 tahun.

Antauro Humala bukan sembarang orang, karena dia adalah adik lelaki Ollanta Humala, yang pernah menjabat sebagai Presiden Peru dari 2011 hingga 2016. Pedro Castillo mengatakan, dia mempertimbangkan grasi, karena hukuman yang dijatuhkan terhadap Ollanta terlalu panjang.

Ambisi besar, dukungan tipis

Selama kampanye pemilu, Pedro Castillo mendesak agar kontrak perusahaan pertambangan dinegosiasikan ulang karena selama ini merugikan rakyat dan negara Peru. Jika tidak, dia mengancam akan menasionalisasi perusahaan-perusahaan pertambangan. Dia juga berjanji akan merombak sistem pensium agar "menguntungkan para buruh", meningkatkan anggaran pertanian dan anggaran pendidikan.

Namun untuk rencana-rencana besar itu, Pedro Castillo perlu menggalang dukungan besar, juga dari kalangan konservatif yang cukup berkuasa di Peru. Di parlemen, Free Peru hanya menguasai 37 dari seluruhnya 130 kursi. Sedangkan lebih dari setengah kursi di parlemen dikuasai oleh kubu Fujimori, kubu neoliberal dan kalangan konservatif lain.

"Sebelum dia mengambil alih kekuasaan, Castillo perlu mencapai beberapa kesepakatan," kata analis politik Peru Gonzalo Banda kepada DW. "Dia tidak bisa memperkenalkan reformasi tanpa dukungan parlemen."

(hp/as)