1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikBangladesh

PM Sheikh Hasina Mundur, Bagaimana Nasib Bangladesh?

Zobaer Ahmed
6 Agustus 2024

Kekuasaan 15 tahun PM Hasina berakhir, setelah ia dipaksa mengundurkan diri. Ia melarikan diri dari negara itu, di tengah kerusuhan politik beberapa pekan terakhir. Tentara bersiap membentuk pemerintahan sementara.

https://p.dw.com/p/4j8zW
Rakyat Bangladesh merayakan pengunduran diri PM Hasina di Dhaka
Hampir tujuh bulan sejak Hasina kembali berkuasa, dengan memenangkan pemilu pada Januari laluFoto: Mohammad Ponir Hossain/REUTERS

Perdana Menteri (PM) Bangladesh Sheikh Hasina mengundurkan diri secara paksa dan melarikan diri dari negaranya pada Senin (05/08), setelah aksi protes besar-besaran oleh para mahasiswa meningkatnya dalam beberapa pekan terakhir, merenggut ratusan nyawa.

Ini menjadi penanda berakhirnya kekuasaan Hasina selama 15 tahun secara dramatis dan tiba-tiba.

Setelah berita pengunduran diri Hasina tersebar, jalanan di ibu kota Dhaka dan kota-kota besar lainnya dipenuhi dengan sorak-sorai perayaan.

Kerumunan orang yang bergembira melambaikan bendera, beberapa lainnya menari di atas tank, sebelum ratusan orang mencoba menerobos masuk ke gerbang kediaman resmi Hasina.

Protes Bangladesh di Dhaka
Protes tanpa henti dan penuh kekerasan selama beberapa pekan terakhir di BangladeshFoto: Abu Sufian Jewel/ZUMA/dpa/picture alliance

Sudah waktunya hentikan kekerasan di Bangladesh

Panglima militer Bangladesh, Jenderal Waker-Uz-Zaman, mengatakan dalam pidatonya bahwa pihak militer akan segera membentuk pemerintahan sementara. Belum jelas apakah dia yang akan memimpin pemerintahan itu atau orang lain yang akan bergabung mengisi pemerintahan sementara itu.

"Negara ini telah sangat menderita, ekonomi terpukul, banyak orang tewas, inilah saatnya untuk menghentikan kekerasan," kata Zaman.

"Saya berharap setelah pidato saya ini, situasi akan membaik," tambahnya.

Zaman juga mengatakan bahwa ia telah berbicara dengan partai-partai oposisi utama dan anggota masyarakat sipil, tetapi tidak dengan partai pimpinan Hasina, Liga Awami.

Hampir tujuh bulan sudah, sejak Hasina memenangkan kembali pemilihan umum pada Januari lalu, Hasina melanggengkan masa jabatan keempatnya secara berturut-turut dan kelima secara keseluruhan. Tapi, pemungutan suara itu diboikot oleh kelompok oposisi utamanya.

Protes tanpa henti dan penuh kekerasan selama beberapa pekan terakhir, serta ketidakmampuan pasukan keamanan untuk mengakhiri protes tersebut, telah menarik tirai kekuasaan Hasina.

Demonstrasi dimulai pada Juni lalu, setelah kelompok mahasiswa menuntut penghapusan sistem kuota pekerjaan di pemerintah yang kontroversial. Tetapi, protes tersebut kemudian meningkat menjadi pemberontakan besar-besaran melawan pemerintahan Hasina.

Kerusuhan ini telah merenggut nyawa sekitar 300 orang sejak pertengahan Juli, menurut laporan media lokal. 

Akankah ada transisi pemerintahan yang mulus?

Belum jelas apakah transisi menuju pemerintahan sementara yang dipimpin oleh pihak militer Bangladesh ini akan berjalan mulus.

Beberapa mahasiswa juga mengatakan bahwa pihaknya tidak akan menerima pemerintahan sementara itu tanpa adanya perwakilan mahasiswa di dalamnya.

"Perwakilan dari para demonstran mahasiswa ini harus menjadi bagian dari pemerintahan sementara. Jika tidak, kami tidak akan menerimanya," kata salah satu pemimpin demonstran mahasiswa, Asif Mahmud, kepada DW.

Mahmud juga menggarisbawahi bahwa mahasiswa ingin memiliki suara tidak hanya dalam struktur pemerintahan, tetapi juga dalam setiap kebijakan.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Z. I. Khan Panna, seorang pengacara senior dan aktivis hak asasi manusia, juga menyatakan ketidakpuasannya terhadap pernyataan panglima militer.

"Kami belum menerima rencana konkret dari panglima militer. Apa yang dia katakan adalah solusi sementara," kata Panna kepada DW. "Orang-orang yang dia ajak bicara mengenai pembentukan pemerintahan sementara itu, tingkat dukungan publik mereka seperti apa? Saya rasa masyarakat tidak akan menerima itu."

Namun, sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh departemen humas militer mengatakan bahwa panglima militer akan segera mengadakan pembicaraan tatap muka dengan perwakilan mahasiswa dan pengajar yang ikut dalam aksi protes.

Konsep "pemerintahan sementara" ini bukanlah hal yang baru di Bangladesh. Pada 1990 hingga 2008, selama pemilihan umum, pemerintah yang terpilih menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan sementara yang bersifat teknokratis, yang ditugaskan untuk menyelenggarakan pemilu secara bebas dan adil. Sistem ini kemudian dihapus pada 2011.

Beberapa pengamat kini menyerukan dibentuknya pemerintahan sementara yang serupa untuk mengambil alih pemerintahan, hingga diadakannya pemilihan umum selanjutnya.

Militer 'seharusnya tidak menjalankan pemerintahan' 

Sementara itu, sebuah kelompok yang terdiri dari 21 orang terkemuka, termasuk para aktivis hak asasi manusia dan pengacara, menyerukan agar pemerintahan sementara ini mengambil langkah-langkah untuk mengatasi penyebab ketidakpuasan publik, yang berujung pada pelengseran Hasina.

Dalam sebuah pernyataan, kelompok ini mengatakan bahwa akumulasi kemarahan publik atas kecurangan pemilu yang telah berlangsung lama, korupsi yang meluas, salah urus ekonomi, dan penindasan itu meletus menjadi sebuah gerakan massa.

"Kekuasaan harus dialihkan kepada pemerintah nasional ataupun sementara, melalui cara-cara konstitusional atau dengan mengamandemen konstitusi jika perlu, setelah berdiskusi dengan para mahasiswa yang melakukan protes dan partai-partai politik," ungkap kelompok tersebut.

Kelompok ini juga menekankan bahwa pihak militer tidak boleh menjalankan negara dan harus menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah sementara sipil dan kembali bertugas dalam ranahnya menjaga keamanan negara.

Shahdin Malik adalah salah satu yang ikut menandatangani pernyataan tersebut. Kepada DW, ia mengatakan bahwa peran militer adalah untuk melindungi Bangladesh dari ancaman eksternal dan bukan untuk memerintah negara.

"Militer harus melindungi negara dari kekuatan eksternal selama perang. Peran mereka bukan untuk menjalankan negara," kata Malik. 

(kp/rs)