1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Demonstrasi Mahasiswa Munculkan Pemimpin Baru di Bangladesh?

Anupam Deb Kanunjna
30 Juli 2024

Demonstrasi soal kuota kerja mengguncang Bangladesh dan pemerintahan PM Sheikh Hasina. Ahli berpendapat gerakan ini penanda era baru politik Bangladesh.

https://p.dw.com/p/4it2Y
Seorang mahasiswa saat berdemonstrasi
Beberapa laporan mengindikasikan kalau pemimpin aksi protes mengalami penyiksaanFoto: Rajib Dhar/AP/picture alliance

Bangladesh diguncang gelombang kerusuhan masalah kuota kerja di pemerintahan, hingga memakan korban jiwa yang masih terus dihitung. Pemerintah menyebutkan jumlah korban tewas secara resmi mencapai 150 orang, tapi menurut media Bangladesh, setidaknya ada 210 orang korban, sebagian besar berusia muda tewas, ribuan lainnya mengalami luka-luka. 

Ketika protes meningkat di seluruh negeri, jaringan internet dan jaringan seluler ditutup guna mencegah komunikasi antara para demonstran. Pemerintah mengerahkan polisi, militer, dan paramiliter penjaga perbatasan untuk meredam kerusuhan. Selain itu, beberapa pengunjuk rasa melaporkan bahwa mereka diserang oleh anggota Liga Chhatra (Chhatra League), sebuah organisasi sayap mahasiswa dari partai yang berkuasa, Liga Awami (Awami League). 

Beberapa pembatasan telah dilonggarkan, meskipun platform media sosial dan institusi pendidikan tetap ditutup. 

Aksi demonstrasi yang sebagian besar bersifat spontan ini pada awalnya dipicu oleh keputusan pengadilan untuk memperkenalkan kembali sistem kuota pekerjaan yang kontroversial. Namun, aksi protes ini dengan cepat berkembang menjadi ketidaksenangan yang meluas terhadap pemerintah yang dipimpin oleh Sheikh Hasina - hanya setengah tahun sejak pemilihan umum terakhir. 

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Tumbuh rasa tidak percaya pada pemerintah 

Partai Nasionalis Bangladesh (Bangladesh National Party/BNP), partai oposisi terbesar di negara tersebut, mengaku "terkejut” dengan munculnya gerakan ini. Anggota komite pusat BNP, pengacara Ruhul Quddus Kazal, mengatakan bahwa protes-protes ini telah membuka kedok skeptisisme publik yang mendalam terhadap Liga Awami yang berkuasa, yang telah memerintah negara ini selama 16 tahun. 

"Saya pikir pemerintah akan melakukan banyak perhitungan sekarang. Mereka harus keluar dari pola pikir bahwa mereka memiliki lisensi untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan selama lima tahun ke depan,” kata Kazal kepada DW. 

Liga Awami memenangkan pemilu tahun 2008 yang diselenggarakan di bawah pemerintahan sementara yang didukung militer. Sejak saat itu, partai ini telah memenangkan tiga pemilu lagi, pada tahun 2014, 2018, dan yang terbaru pada tahun 2024. Namun, ketiga pemilu nasional tersebut diwarnai dengan tuduhan kecurangan suara dan boikot dari pihak oposisi.

Demonstrasi dari kaca mata Liga Awami 

Partai yang berkuasa ini telah menghadapi berbagai protes sebelumnya dan tampaknya belum merasa gentar dengan gerakan mahasiswa yang terbaru ini. Tanggapan pemerintah sangat keras - di ibukota Dhaka, lebih dari 200.000 orang telah terlibat dalam setidaknya 200 kasus atas dugaan partisipasi mereka dalam kekerasan. Dilaporkan oleh media Bangladesh, secara nasional, ribuan orang telah ditangkap, termasuk sedikitnya 253 mahasiswa yang dilaporkan dalam kurun waktu 12 hari. 

Perdana Menteri Sheikh Hasina dan para petinggi Liga Awami lainnya bersikeras kalau gerakan ini secara efektif dibajak dari para mahasiswa oleh kelompok oposisi, yaitu Bangladesh Jamaat-e-Islami dan BNP. 

Sekretaris Jenderal Bersama Liga Awami, AFM Bahauddin Nasim, mengklaim bahwa elemen-elemen "jahat” dan "perang anti-kemerdekaan” terlibat dalam bagian-bagian kekerasan gerakan tersebut, dengan mencontohkan perang kemerdekaan dari Pakistan pada tahun 1971. 

"Terjadinya peristiwa seperti itu di luar imajinasi kami,” katanya kepada DW. Ia juga mengakui kekurangan pemerintah. 

"Kami mengakui kurangnya koordinasi di antara kami, dan kami memahami bahwa ada kesenjangan dalam kepemimpinan juga,” tambah dia. 

"Kami memiliki sejumlah besar pekerjaan di depan kami,” sambung Nasim, seraya menekankan bahwa setiap kebijakan di masa depan akan ditentukan oleh musyawarah di dalam partai yang berkuasa. 

Mahasiswa berdemonstrasi
Pemerintah mengklaim bahwa protes tersebut dibajak oleh elemen-elemen yang tidak bersahabatFoto: Anik Rahman/AP/picture alliance

Tak ada lagi ‘fasad demokrasi' 

Hanya saja, kembali ke bisnis seperti biasa mungkin tidak mudah. Ada tuduhan bahwa beberapa koordinator Gerakan Mahasiswa Anti-Diskriminasi disiksa dan dibawa ke kantor Cabang Detektif (Detective Branch/DB) kepolisian Bangladesh, di sana mereka dipaksa untuk menyatakan penarikan diri dari gerakan tersebut. 

Laporan dari media Bangladesh mengindikasikan beberapa dari mereka ditangkap di tempat tinggal, sementara yang lain diambil dari rumah sakit tempat mereka menerima perawatan. Dalam sebuah pesan video yang direkam di kantor DB pada hari Minggu, 28 Juli, enam koordinator menyatakan mengakhiri gerakan tersebut. 

Malam harinya, seorang koordinator lainnya muncul di media, mengumumkan bahwa gerakan tersebut masih berlanjut. 

Seorang pakar Bangladesh dan profesor di Illinois State University di Amerika Serikat, Ali Riaz, percaya bahwa dampak dari protes ini terhadap partai yang berkuasa telah terlihat jelas. 

"Pemerintah telah berusaha untuk menumbuhkan fasad demokrasi melalui beberapa pemilihan umum. Era itu telah berakhir. Pemerintah ini, yang tidak memiliki pembenaran moral di masa lalu, sekarang tidak memiliki pilihan selain menggunakan kekerasan,” katanya kepada DW. 

Pembaca Berita Transgender Pertama di Bangladesh

Pintu terbuka untuk generasi baru? 

Menurut ilmuwan politik Tasneem Siddiqui gerakan ini memiliki kemampuan yang "belum pernah terjadi sebelumnya” untuk mengorganisir protes di seluruh negeri tanpa kepemimpinan yang terpusat. 

Ia juga percaya kalau gerakan ini mendorong munculnya generasi kepemimpinan baru. 

"Dengan partai yang sama yang memegang kekuasaan selama 16 tahun berturut-turut, partai ini perlahan-lahan berevolusi menjadi rezim yang personalis. Semua orang berpaling kepada perdana menteri untuk mendapatkan solusi atas masalah apa pun,” kata Siddiqui kepada DW. 

Ekspatriat Bangladesh di Düsseldorf, Jerman
Ekspatriat Bangladesh di seluruh dunia mengorganisir protes untuk mendukung para siswa, foto diambil di Düsseldorf, 19 Juli 2024Foto: Musfiq Al Arafa

Menurutnya, gerakan ini menantang budaya politik. Selain itu, persaingan antara Liga Awami dan BNP tidak memberikan manfaat bagi generasi muda atau memperbaiki lanskap politik, ujar peneliti tersebut. 

Ia mencatat bahwa "generasi muda di negara ini tidak menyukai politik seperti itu lagi. Jika kedua partai ini tidak memahaminya, mereka tidak akan menjadi pemimpin lagi.” 

Siddiqui juga berpikir bahwa partai politik ketiga yang kuat mungkin akan lahir dari gerakan ini jika kedua partai tersebut tidak mengubah diri mereka sendiri. 

Ali Riaz merasa bahwa pemerintah "telah melewati batas” melalui "politik penindasan”. 

"Apa yang saya pahami dari reaksi rakyat, legitimasi moral pemerintah juga telah berakhir dengan adanya gerakan ini,” ujarnya. 

"Meskipun (pemerintah) cukup berhasil dalam menekan gerakan ini dengan paksa,” Riaz berpikir, ”gerakan ini tidak akan berakhir.” 

Harun Ur Rashid Swapan, reporter DW di Dhaka, berkontribusi dalam laporan ini.

(mh/rs)