1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Hukum dan PengadilanIndonesia

Perjanjian Pranikah Bisa Buat Pasangan Lebih Saling Mengenal

Betty Herlina
10 Oktober 2022

Tiap suami dan istri berhak memiliki rasa aman secara ekonomi, baik dalam pernikahan yang sedang berlangsung maupun jika terjadi perceraian. Perjanjian pranikah mengatur hal ini.

https://p.dw.com/p/4HxAn
Symbolbild Ehering Hochzeit
Foto: blickwinkel/McPHOTO/M. Gann/picture alliance

Membuat perjanjian pranikah belakangan mulai ramai dilakukan oleh pasangan sebelum memasuki pintu pernikahan, baik dari masyarakat umum hingga pasangan pesohor. Isinya pun bermacam-macam sesuai keinginan dan kebutuhan masing-masing pasangan, salah satunya tentang kepengurusan anak, keterbukaan pin ATM, dan kata kunci untuk telepon genggam, hingga media sosial.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Padma D. Liman, mengatakan perjanjian pranikah atau biasa juga disebut prenup dari kata prenuptial agreement sifatnya menjadi penting untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan pada saat pembagian harta perkawinan ketika terjadi perceraian. Fungsi dari perjanjian pranikah adalah untuk memberikan rasa aman kepada kedua belah pihak, khususnya dalam pengaturan harta perkawinan dan dalam menjalankan rumah tangga.

"Isinya lebih pada persoalan harta, mengatur yang mana harta istri dan yang mana harta suami, sehingga ketika bercerai atau ada masalah ekonomi, semisal usaha salah satu pihak bangkrut atau ada aset yang disita, maka masih ada pihak lainnya menjaga atau menopang kehidupan rumah tangga tersebut, karena jelas harta milik suami dan harta milik istri sehingga kehidupan rumah tangga dan anak tidak terlantar," ujar Padma D. Liman kepada DW Indonesia.

Saat ini, menurut Padma, konsep perjanjian pranikah mengalami perubahan sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Isi perjanjian tidak hanya menyangkut harta benda, tetapi juga hal-hal lain yang disepakati.

"Akibat tidak ada penjelasan tentang hal-hal yang disepakati, maka perjanjian pranikah maknanya menjadi berbeda, ada yang mencantumkan hal-hal sehari-hari sehingga menyimpang dari tujuan awal pengaturan tentang perjanjian pranikah," lanjutnya.

Apa syarat sahnya?

Ahli Hukum Perdata dari Universitas Indonesia (UI), Fully Handayani, mengatakan ada empat syarat sah perjanjian yakni kesepakatan para pihak, kecakapan, suatu hal tertentu dan kausal yang diperbolehkan (legal), dalam arti suatu hal dianggap halal untuk diperjanjikan.

Perjanjian pranikah, lanjut Fully Handayani, adalah kesepakatan yang dibuat oleh pasangan suami istri sebelum melakukan pernikahan, dan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil dan KUA atau notaris. Isi perjanjian pranikah umumnya terkait pembagian harta.

"Harus dicatatkan, agar sifatnya mengikat. Isinya pun tidak bisa jika terkait misalnya, janji jika selingkuh didenda Rp500 juta. Itu bukan perjanjian pranikah yang dimaksud berdasarkan hukum di Indonesia. Perjanjian pranikah lebih pada soal pembagian harta gono-gini," katanya.

Fully menambahkan perjanjian pranikah dapat diperbarui di tengah-tengah pernikahan, sepanjang ada kesepakatan dari pasangan bersangkutan. 

Penting bagi pelaku perkawinan campuran

Padma D. Liman mengatakan bahwa pada pernikahan campuran, perjanjian pranikah penting untuk melindungi kesejahteraan pihak yang berwarga negara Indonesia.

Dengan perjanjian pranikah, pasangan WNI dalam perkawinan campuran tetap bisa membeli aset tidak bergerak di Indonesia yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan. Tanpa perjanjian tersebut, aset tidak bergerak yang bisa dimiliki oleh pasangan perkawinan campuran tersebut hanyalah yang berstatus hak pakai.

Bukan hanya cinta, ekonomi juga penting

Menurut Juneman Abraham, psikolog dari BINUS University, dalam perjanjian pranikah setiap pasangan dapat memasukkan memasukkan klausul apa pun. Mulai dari pembagian harta, pembagian kerja, pengendalian kelahiran, penyelesaian konflik, termasuk utang-piutang, sepanjang menjamin perasaan adil, setara, dan bermartabat antarpasangan.

"Sebaiknya perjanjian diatur agar tidak sampai pada tingkatan yang berpotensi menimbulkan gugat-menggugat yang melelahkan. Dalam pernikahan, cinta dan ekonomi merupakan satu kesatuan. Artinya, pernikahan bukan hanya perkara transaksional," ujar Juneman.

Namun, ia menambahkan bahwa terlalu detail mengatur klausul-klausul dalam perjanjian pranikah hanya akan membuat pernikahan menjadi transaksional, dan melupakan etika pernikahan.

"Kita tidak perlu, misalnya, mengatur bahwa "suami dan istri wajib saling mencintai" dalam sebuah perjanjian pranikah karena ini merupakan ranah etika," paparnya.

Juneman Abraham mengatakan, jika merujuk pada masyarakat Indonesia secara kolektif, ada nilai tradisi atau budaya yang mengarah pada pentingnya perjanjian pranikah. Seperti adanya budaya mahar atau mas kawin. 

"Ini menunjukkan bahwa pernikahan bukan hanya soal cinta, melainkan melibatkan perkara ekonomi. Perjanjian pranikah akan menjadi penting sebagaimana budaya mahar atau mas kawin mengekspresikan kesadaran, bahwa dimensi ekonomi merupakan hal yang serius sebagai sebuah kenyataan yang melekat dalam penikahan," katanya.

Adanya budaya mahar atau mas kawin, lanjut Juneman, menunjukkan bahwa cinta tidak seharusnya diromantisasikan melainkan ada rasionalitas ekonomi dalam pernikahan. Bahwa setiap suami dan istri berhak memiliki rasa aman secara ekonomi, baik dalam pernikahan yang sedang berlangsung maupun jika terjadi perceraian.

Bukan bentuk ketakutan

Meski demikian Juneman menambahkan bahwa membuat perjanjian pranikah bukanlah bentuk ketakutan atau ketidaksiapan mental. Sebaliknya, ini adalah ajang untuk secara konkret mempraktikkan hal-hal yang penting dalam pernikahan dan menunjukkan kesiapan untuk berkomunikasi secara terbuka dengan partner.

"Mengapa begitu? Sebab dua orang tidak mungkin membuat perjanjian pranikah yang baik tanpa komunikasi dengan pasangan, tanpa mengenal karakter pasangan dengan lebih dalam, tanpa kejujuran, tanpa membuka diri apa adanya kepada pasangan, tanpa bersepakat atau bernegosiasi atau berkompromi tentang "peta jalan" pernikahannya dalam jangka pendek-menengah-panjang," paparnya.

Yang justru perlu diwaspadai adalah jika perjanjian pranikah dijadikan ajang untuk mempraktikkan kekuasaan. Menurutnya, ini membuat perjanjian pranikah menjadi tidak berguna karena tidak meningkatkan martabat pasangan secara keseluruhan. Ada martabat salah seorang dari pasangan yang ingin ditinggikan dan yang lain direndahkan. Misalnya, pasangan yang cenderung lebih kaya dan terhormat ingin "mengamankan diri sendiri" dengan menggunakan alat berupa perjanjian pranikah.

(ae)