1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Bertahan di Hubungan Penuh Kekerasan karena Terlanjur Sayang

Kusumasari Ayuningtyas
14 Februari 2022

Dalam hubungan beracun dengan trauma bonding, fase yang justru berbahaya adalah saat korban berangsur menganggap dan menerima apa yang mereka alami adalah wajar.

https://p.dw.com/p/46xZG
Ilustrasi hubungan penuh kekerasan
Ilustrasi hubungan penuh kekerasanFoto: imago images/photothek

Butuh dua tahun sampai akhirnya Anna Berliana Budiputri, 32, bisa melepaskan diri sepenuhnya dari salah satu mantan kekasihnya. Menurut Anna, meski ia sering merasakan sakit, putus dari pacarnya bukanlah hal mudah karena ia merasakan adanya rasa keterikatan yang tidak bisa dicerna nalar.

"Mental kita itu seperti benar-benar dibuat down," ujarnya.

Anna mengatakan ada rasa seolah kecanduan di dalam dirinya sewaktu masih menjalin hubungan dengan mantan tersebut. Sebuah sapaan "Hai" singkat setelah berhari-hari menghilang, bisa cukup membuat Anna bersemangat dan bahagia. Ia lega telah menerima pesan singkat itu karena salah satu ciri mantan kekasihnya adalah sering menghilang dan mendiamkannya atau memberikan silent treatment tanpa alasan jelas.

Berbagai kejanggalan yang disebut Anna dengan tanda peringatan atau red flag sebenarnya sudah terlihat, tetapi tetap ia abaikan. "Kita bingung, karena di tengah-tengah itu diselingi dengan momen-momen dan kata-kata yang sepertinya dia sayang," tutur Anna kepada DW Indonesia.

Trauma yang membuat korban sulit lepas

Sukma Prawitasari, psikolog pendamping di rumah konseling Aku Temanmu di Yogyakarta, mengatakan dalam kasus hubungan yang tidak sehat seseorang bisa sulit lepas dari orang yang telah menyalahinya. Rumah konseling Aku Temanmu adalah sebuah organisasi yang menyediakan layanan konseling untuk masalah sosial remaja,

Sukma mencontohkan kesulitan untuk melepaskan diri bisa terjadi dalam hubungan yang didominasi kekerasan seperti kekerasan dalam rumah tangga atau pacaran, pelecehan, eksploitasi, perdagangan manusia dan saat berhubungan dengan orang yang mengidap gangguan kepribadian narsistik atau narcissistic personality disorder.

Di satu sisi, ujar Sukma, korban diancam, disakiti, dikritik, dikecewakan, dihina. Namun di sisi lain korban terkadang mendapatkan perlakuan baik, bahkan mendapat permohonan maaf yang bisa dikatakan sangat manis dari pelaku. Korban seolah dibombardir dengan cinta dan kasih sayang.

Hubungan yang terjalin dari sulitnya korban untuk melepaskan diri dari perilaku tidak sehat pasangannya ini dikenal dengan trauma bonding relationship. "Inilah jebakan psikologis. Korban memiliki simpati dan sayang ke pelaku," ujar psikolog Sukma Prawitasari kepada DW Indonesia.

Ada banyak alasan yang membuat korban dari hubungan penuh ikatan traumatis ini sulit melepaskan diri. Pertama, kondisi mental korban, seperti korban tidak memiliki cukup nyali atau keberanian sehingga hanya menangis. Korban pun ketakutan bahkan untuk sekadar menceritakan pengalaman itu kepada orang terdekat. Namun Sukma mengatakan bahwa fase berikutnya adalah fase yang justru berbahaya. Pada fase ini korban berangsur menganggap dan menerima apa yang mereka alami adalah hal wajar. 

Ada pula faktor lain seperti apa saja yang selama ini menjadi bahan bacaan korban yang mengisi pikirannya. Ada pula hasil didikan orang tua dan budaya yang menekankan seseorang, khususnya perempuan, untuk menerima apa pun perlakuan pasangan terhadapnya. Selain itu yang juga kerap membuat korban sulit lepas dari lingkaran hubungan seperti ini adalah adanya harapan dari pihak korban bahwa kelak orang yang telah mengasarinya akan berubah.

Hubungan penuh reward and punishment

Kembali ke kisah Anna, saat itu ia pun mengaku sangat sulit untuk memutuskan hubungan dengan sang mantan pacar yang kerap memperlakukannya dengan kasar. "Dalam hubungan kami itu seperti ada reward dan punishment," kenang Anna.

Reward atau hadiah yang didapat Anna adalah ketika dia melakukan hal sesuai keinginan mantan kekasih, Anna akan menerima kata-kata manis dan perlakuan penuh sayang. Sedangkan jika Anna membuat kesalahan, dia akan dihukum seperti mendapatkan tindakan kekerasan ditambah dengan silent treatment yang akan membuat Anna tersiksa serta menunggu-nunggu kapan hukumannya berakhir. Karena itu, sebuah sapaan singkat dari sang mantan sontak bersambut dan membuatnya mau melakukan apa saja untuk kembali memenangkan perhatiannya.

"Itu menyebabkan logika tumpul, kok kita bisa ya kecanduan banget sama orang yang abusive. Kita jadi seperti craving (sangat mengidamkan sesuatu)," ujar Anna kepada DW Indonesia.

Ketika akhirnya putus untuk terakhir kalinya yang merupakan keputusan dari Anna sendiri karena merasa lelah dengan berbagai reaksi emosi yang dialaminya yang pernah membuatnya depresi. Dia lalu memutus semua akses komunikasi dan bertekad untuk fokus pada proses penyembuhan. Dan dalam proses inilah Anna menyadari jika dirinya mengalami traumic bonding atau ikatan traumatis.

"Tetapi ketika akhirnya kita bertemu dengan pasangan yang bisa diajak menyongsong masa depan kita akan bersyukur, terutama ketika pasangan bisa diajak berkomunikasi untuk mencari solusi dan bukan marah-marah setiap kali ada yang dirasa tidak sesuai dengan keinginannya," ujar Anna.

Apa hubungannya dengan gangguan kepribadian narsistik?

Saat ini Anna sudah berhasil mengakhiri hubungan dengan pacar yang ia duga menderita gangguan kepribadian narsistik atau biasa disingkat NPD.  Ia juga aktif membuat konten edukasi di kanal media sosial untuk para korban NPD dengan ikatan traumatis seperti dirinya.

Namun, apa hubungan orang dengan gangguan kepribadian narsistik ini dengan ikatan traumatis? Dan mengapa berhubungan dengan orang seperti inibisa berkembang menjadi sangat beracun? 

Psikolog Sukma Prawitasari menyebutkan ada tiga ciri utama yang bisa langsung terlihat dari seorang dengan gangguan kepribadian narsistik. Ciri pertama adalah kecenderungan untuk memusatkan diri dan orang disekitarnya guna memenuhi kepentingan dirinya sendiri. Ini dapat terlihat dalam tiap pengambilan keputusan yang dilakukan tanpa menanyakan pendapat orang lain. Kedua, mereka butuh dipuji dan perlu sekali dikagumi. Mereka juga konstan memiliki konsep berpikir menang-kalah.

Ketiga, memiliki empati rendah. Mereka juga adalah pengkritik yang hebat tetapi tidak bisa menerima kritik dengan baik karena cenderung akan bersikap membela diri. Kelima, manipulatif atau pintar mengancam secara halus yang menurut Sukma sering dilakukan dengan mengucap kalimat andalan: Memangnya kalau kamu mengadu, mereka akan percaya?

"Ini kalau dalam hubungan jatuhnya toxic," ujarnya.

Pada ciri kelima ini nantinya akan dilanjutkan dengan intimidasi, baik verbal maupun fisik. Kekerasan verbal dapat menjatuhkan mental, sedangkan kekerasan fisik jika terjadi dalam sebuah pernikahan akan masuk dalam ranah kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT.

Apa yang harus korban lakukan?

Sukma mengingatkan bahwa NPD adalah kondisi mental yang berangkat dari cara berpikir, ekspresi emosi dan tindakan yang hanya bisa didiagnosis oleh seorang profesional karena ada tolok ukurnya.

"NPD memang bisa berubah, karena pasangan? Iya, tetapi kalau pasangannya mengajak orang dengan NPD tadi ketemu psikolog, ketemu bantuan profesional," ujar Sukma.

Lantas bagaimana bila tidak memiliki dukungan atau akses ke psikolog profesional? Putus, cerai, dan meninggalkan seorang dengan NPD disebut Sukma sebagai cara cepat untuk bisa terlepas. Ia pun menyarankan korban untuk terus berhubungan dengan dunia luar agar menyadari bahwa masih ada dunia lain selain pasangannya. Selain itu korban juga perlu merawat diri atau yang dikenal dengan self love yang bisa dimulai dengan self talk.

"Kamu boleh lho bicara dengan cermin tiap pagi kalau kamu berhak bahagia," tutur Sukma.

Sedangkan sebagai pencegahan, Sukma menyebutkan beberapa hal di antaranya memiliki pengetahuan dan budaya kritis serta memilih lingkaran pergaulan yang sehat.

"Ketika sudah menikah tipikal di kita akan menghilang. Nah, usahakan tetap terhubung dengan circle yang sehat, untuk keep in touch dan saling memberitahu kalau kalian baik-baik saja," ujar Sukma. (ae)