1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

'Swing States' Jadi Kunci AS dan UE Pertahankan Pengaruh

Zac Crellin
3 Mei 2023

Saat tatanan global mengalami pergeseran, Uni Eropa dan AS didesak untuk memikirkan kembali hubungannya di luar aliansi trans-Atlantik. Enam negara 'swing states' disebut-sebut jadi kunci, Indonesia salah satunya.

https://p.dw.com/p/4QnNW
Presiden AS Joe Biden dan Presiden RI Joko Widodo dalam perhelatan KTT G20 di Bali, November 2022
Presiden AS Joe Biden dan Presiden RI Joko Widodo dalam perhelatan KTT G20 di Bali, November 2022Foto: Achmad Ibrahim/AP/picture alliance

Jika negara-negara Barat ingin mempertahankan pengaruhnya di panggung global, mereka harus berinteraksi secara lebih bermakna dengan blok 'swing states', kata German Marshall Fund, sebuah wadah pemikir yang berbasis di Washington, dalam laporan barunya pada Selasa (02/05).

Ada enam negara yang diidentifikasi sebagai 'swing states' dalam laporan tersebut, yakni Indonesia, Brasil, India, Arab Saudi, Afrika Selatan, dan Turki. Keenam negara ini dinilai memiliki kekuatan signifikan di panggung dunia, terlebih setelah invasi Rusia ke Ukraina dan meningkatnya persaingan antara Amerika Serikat (AS) dan Cina.

"Barat secara keliru terlalu sering menyatukan ‘swing states' ini dengan negara lain yang memilih untuk menjadi atau berada di blok yang dikenal sebagai Global South, tetapi label ini sejatinya mencerminkan kurangnya ketelitian intelektual,” tulis Presiden German Marshall Fund, Heather A Conley.

"Negara-negara ini adalah entrepreneur diplomatik dan ekonomi dalam sebuah momen berpeluang internasional,” tambahnya.

Brasil dan Afrika Selatan

Brasil memiliki kemitraan yang sifatnya pragmatis. Mereka tidak melihat kerja sama dengan mitra yang berbeda seperti Cina, Uni Eropa, Rusia, dan AS, sebagai sesuatu yang saling ekslusif, kata laporan itu.

Oleh karena itu, Barat harus lebih banyak bekerja sama dalam isu-isu tata kelola global seperti perubahan iklim dan kesenjangan, serta mau menerima pergeseran dari pusat-pusat kekuasaan tradisional.

Afrika Selatan juga mengadvokasi tatanan global multipolar meski mengidentifikasi dirinya sebagai Global South. Jadi, para pemimpin Barat harus dapat memupuk kerja sama yang lebih erat dengan berfokus pada bidang kebijakan tertentu yang saling menguntungkan, jelas laporan itu.

"Pemerintah dari ‘swing states' ini tidak membatasi diri mereka untuk memilih di antara dua kutub statis,” tulis Martin Quencez dan Rachel Tausendfreund, dua penulis dari laporan tersebut.

"Mereka lebih memilih untuk berpindah dari satu opsi ke opsi lainnya, masalah demi masalah, secara teratur dan hati-hati, sesuai dengan yang ditentukan oleh kepentingan khusus dan analis strategis mereka.”

India dan Indonesia

India saat ini memang bergerak mendekat ke Barat karena sengketa perbatasan dan persaingan ekonominya dengan Cina memanas, tetapi doktrin otonomi strategisnya juga membuat India mempertahankan hubungan hangat dengan negara-negara seperti Rusia.

Untuk itu, Barat harus dapat terlibat secara lebih efektif dengan India, tapi menghindari mentalitas "kami atau mereka” yang tidak sesuai dengan gaya diplomasi minilateral India, kata laporan itu.

Sementara itu, Indonesia terus berupaya untuk tetap berada di luar persaingan kekuatan besar dan mengelola perselisihannya di Laut Cina Selatan tanpa bantuan Amerika.

Pelanggaran Barat di masa kolonialisme dan Perang Dingin selama lebih dari satu abad, telah membuat kritik Barat terhadap kebijakan baru yang tidak liberal, tidak diterima dengan baik oleh anggota parlemen Indonesia, kata laporan itu.

"Wacana kebijakan luar negeri yang lebih konstruktif dapat dipusatkan pada rasa saling menghormati atas kedaulatan nasional dan multilaterisme,” tulis Quencez dan Tausendfreund.

"'Swing states' umumnya mengakui risiko yang ditimbulkan oleh ambisi Rusia dan Cina, tapi mereka juga tidak menganggap AS atau Eropa sebagai juara dunia yang kredibel terkait kedaulatan nasional.”

Turki dan Arab Saudi

Strategi Turki selama ini telah menjadi penyeimbang antara kekuatan besar guna mengurangi dampak lebih jauh dari persaingan yang ada, kata laporan itu. Dibuktikan dengan mediasi baru-baru ini dalam perang di Ukraina.

Turki tetap menjadi anggota kunci NATO dan mitra dekat Uni Eropa di bidang ekonomi, tetapi mereka juga memandang dunia "lebih besar dari lima”, sebuah istilah yang merujuk pada lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, tambah laporan itu.

Arab Saudi juga tidak hanya mempertahankan hubungan keamanan yang erat dengan Barat, dalam hal ini AS, tetapi mereka juga menganggap Rusia sebagai mitra utama OPEC+ dan Cina sebagai mitra dagang utamanya.

Untuk itu, Barat tidak boleh mengabaikan mediasi global oleh negara lain, karena Riyadh memperkuat posisinya sendiri untuk mengantisipasi turunnya perhatian Washington ke Timur Tengah, kata laporan itu.

Secara keseluruhan, Uni Eropa dan Amerika Serikat harus menunjukkan fleksibilitas dalam hal kerja sama, terbuka untuk bantuan dari non-Barat, dan menahan diri untuk tidak mendorong mitra geopolitiknya untuk membuat satu pilihan.

(gtp/ha)