1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikThailand

Pemilu Thailand: Militer Kembali Hadapi Dinasti Shinawatra

4 April 2023

Bekas kepala junta, Prayut Chan-ocha, bersaing ketat dengan putri bekas PM Thaksin Shinawatra, Paetongtarn, jelang pemilu Mei mendatang. Jika menang, oposisi Thailand berjanji akan mengubah konstitusi godokan militer.

https://p.dw.com/p/4PePD
PM Prayut Chan-O-Cha
PM Prayut Chan-O-ChaFoto: Chaiwat Subprasom/ZUMA Wire/imago images

Pendaftaran bagi calon kandidat pemilihan umum di Thailand mulai dibuka pada Senin, (03/04). Dalam kontestasi ini, Perdana Menteri Prayut Chan-O-Cha diyakini akan menghadapi persaingan ketat dari partai-partai oposisi. 

Tokoh yang naik kuasa setelah kudeta pada 2014 itu mempertaruhkan konstitusi yang menjamin campur tangan militer di kancah politik Thailand. Terutama putri bekas PM Thaksin Shinawatra, Paetongtarn, berjanji akan meredam pengaruh para jenderal jika menang.

"Thailand membutuhkan sosok yang berpengalaman,” bantah Prayut dalam sebuah acara Partai Bangsa Thai Bersatu (UTN) di Bangkok. Dia merujuk pada usia Paetongtarn yang menginjak 36 tahun dan sebabnya dinilai terlalu muda. "Jika mereka belum pernah menjabat,” lanjut Prayut, "maka mereka tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik.”

Bekas kepala junta itu menghadapi persaingan kuat dari Paetongtarn. Tingkat elektabilitas kedua kandidat terpaut tipis di hampir setiap jajak pendapat. 

Dukungan bagi Prayut dan UTN merosot di bawah Paetongtarn dan partainya, Pheu Thai, atau Partai Pergerakan Maju (pimpinan Pita Limjaroenrat, seorang tokoh oposisi lain.

Thai vote: 'The military is not going to go away quietly'

Pemilu pada 12 Mei nanti adalah kontestasi politik pertama sejak gelombang protes pemuda pada 2020 yang menuntut reformasi politik di Thailand. 

Namun meski Prayut berpeluang kalah dalam pemilu, militer tetap mengamankan kekuasaan lewat konstitusi yang mereka rancang pada 2017 silam.

Karena untuk menjadi perdana menteri di Thailand, kandidat tidak hanya harus mendominasi parlemen yang  beranggotakan 500 orang, tapi juga mengamankan mayoritas dukungan dari 250 senator yang ditunjuk militer.

Pertaruhan konstitusi

Bagi Pheu Thai, kemenangan saja tidak cukup. Oposisi Thailand harus menang telak jika tidak ingin dijegal militer seperti yang terjadi pada 2019. Saat itu, Pheu Thai gagal membentuk pemerintahan meski memperoleh suara mayoritas dalam pemilu.

Pheu Thai adalah inkarnasi ketiga dari partai yang dibentuk Thaksin Shinawatra. Dalam pemilu kali ini, mereka menjanjikan amandemen konstitusi untuk menjauhkan militer dari politik. 

"Tidak mungkin bagi Thailand untuk menjadi demokratis, selama kita masih memiliki konstitusi yang tidak demokratis,” kata Chusak Sirinin, Wakil Ketua Umum Pheau Thai, pekan lalu.

Janji serupa dibuat Partai Pergerakan Maju pimpinan Pita Limjaroenrat. Dia berjanji akan menggelar referendum untuk menulis ulang konstitusi dalam 100 hari pertama masa berkuasa.

Momentum politik tidak memihak Prayut lantaran kelesuan ekonomi sebagai buntut pandemi Covid-19. Thailand adalah satu-satunya perekonomian di Asia Tenggara, di luar Myanmar, yang belum pulih sepenuhnya.

Menurut Bank Dunia, nilai Produk Domestik Bruto (PDB) milik Thailand masih lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi.

Paetongtarn, yang sedang hamil delapan bulan, tidak mengikuti pemilu legislatif lantaran tidak diwajibkan sebagai bakal calon perdana menteri. Jika berhasil, dia mengikuti jejak ayah dan bibinya, Yingluck, yang dikudeta Prayut pada 2014 lalu.

rzn/gtp (ap.afp)