1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikSudan

Aksi Protes Guncang Sudan Setelah Kudeta Militer

26 Oktober 2021

Sedikitnya 7 orang tewas dan 140 terluka dalam bentrokan antara tentara dan pengunjuk rasa setelah militer merebut kendali di Sudan. Dewan Keamanan PBB akan mengadakan pertemuan darurat untuk membahas krisis tersebut.

https://p.dw.com/p/42Amh
Para pengunjuk rasa pro-demokrasi turun ke jalan untuk mengutuk kudeta militer di Sudan
Para pengunjuk rasa pro-demokrasi turun ke jalan untuk mengutuk kudeta militer di SudanFoto: Ashraf Idris/AP Photo/picture alliance

Bentrokan pecah antara tentara dan warga sipil di Sudan setelah militer negara itu, di bawah Jenderal Abdel-Fattah Burhan, merebut kekuasaan pada Senin (25/10). Sedikitnya tujuh orang tewas akibat tembakan dan 140 terluka, demikian dilaporkan kantor berita Reuters mengutip Kementerian Kesehatan Sudan.

Selain mengumumkan keadaan darurat pada Senin (25/10), Jenderal tertinggi Sudan Abdel-Fattah Burhan juga membubarkan pemerintahan dan badan gabungan militer dan sipil yang disebut sebagai Dewan Penguasa di Sudan. Para pejabat yang digulingkan menyebut langkah itu sebagai kudeta militer.

Sebagian besar menteri kabinet dan pemimpin partai pro-pemerintah di Sudan ditangkap. Penangkapan para menteri terjadi di tengah meningkatnya ketegangan antara para pemimpin sipil dan militer di Sudan. Pejabat sipil dan militer yang membentuk pemerintahan transisi sejak kejatuhan mantan pemimpin Sudan Omar al-Bashir pada tahun 2019, kerap saling bersitegang. Padahal, mereka sedianya bertugas mengantar Sudan menuju pemerintahan sipil di bawah sistem demokrasi.

Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok
Perdana Menteri Abdalla Hamdok telah meminta warga Sudan untuk 'mempertahankan revolusi mereka'Foto: Hannibal Hanschke/REUTERS

PM Sudan dibawa ke lokasi yang dirahasiakan

Menurut Kementerian Informasi Sudan, Angkatan Bersenjata telah menculik Perdana Menteri Abdalla Hamdok karena "menolak menjadi bagian dari kudeta.” Hingga saat ini, pihak militer belum mengkonfrimasi keberadaan perdana menteri Sudan itu.

Kementerian menambahkan bahwa Hamdok telah menyerukan kepada rakyat Sudan untuk melawan kudeta dan "mempertahankan revolusi mereka.” Pernyataan dari kementerian itu juga menyebutkan bahwa tentara telah menyerbu kantor pusat TV dan radio negara di kota Obdurman, dan menahan beberapa staf di sana.

Sementara itu, aksi unjuk rasa menentang kudeta dilaporkan terjadi di beberapa kota besar, seperti di Khartoum (ibu kota Sudan) dan di Obdurman. Rekaman dari TV Al-Jazeera menunjukkan para demonstran bergerak melewati barikade menuju gedung-gedung militer.

Apa kata militer?

Dalam pidato yang disiarkan melalui televisi, Jenderal Burhan mengatakan bahwa pemerintah teknokratis baru akan memimpin negara itu hingga pemilihan umum pada Juli 2023. Menurutnya, pertempuran antara berbagai faksi politik Sudan telah mendorong militer untuk campur tangan dan membubarkan pemerintah.

Burhan sebelumnya telah menjadi kepala negara de facto negara itu sebagai bagian dari dewan transisi militer-sipil.

Dalam pidatonya, Burhan juga bersumpah akan menyelesaikan transisi negara menuju demokrasi.

"Angkatan Bersenjata akan terus menyelesaikan transisi demokratis hingga penyerahan kepemimpinan negara kepada pemerintah sipil terpilih,” katanya.

Bagaimana reaksi dunia?

Jeffrey Feltman, utusan khusus AS untuk Tanduk Afrika (Horn of Africa) menyebut kudeta itu "sama sekali tidak dapat diterima.” Feltman sebelumnya turut berupaya menyelesaikan perselisihan antara pemimpin sipil dan militer itu pada pekan lalu.

Pada Senin (25/10), AS mengumumkan akan menangguhkan bantuan ke Sudan sampai pemerintahan sipil dipulihkan.

Volker Perthes, perwakilan khusus PBB untuk Sudan, mengaku "sangat prihatin” dengan situasi tersebut. "Laporan penahanan perdana menteri, pejabat pemerintah, dan politisi tidak dapat diterima,” katanya.

Dalam sebuah pernyataan, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga mengutuk "kudeta militer yang sedang berlangsung di Sudan.”

Dewan Keamanan PBB dilaporkan telah menjadwalkan pertemuan darurat tertutup untuk membahas perkembangan terakhir di Sudan pada Selasa (26/10). Pertemuan dilakukan setelah beberapa negara anggota, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Norwegia, meminta konsultasi.

Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas juga mengecam kudeta yang terjadi di Sudan. Maas menyerukan transisi politik yang damai di negara itu.

"Para pemimpin politik harus menyelesaikan perbedaan mereka melalui dialog damai. Mereka berhutang hal ini kepada rakyat Sudan yang telah berjuang untuk mengakhiri kediktatoran dan juga untuk perubahan demokratis,” katanya.

Presiden Prancis Emmanuel Macron juga mengutuk kudeta dan menyerukan pembebasan Perdana Menteri Hamdok.

Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Wang Wenbin telah mendesak semua faksi politik di Sudan "untuk menyelesaikan perbedaan mereka melalui dialog untuk menjaga perdamaian dan stabilitass negara.”

Ketua komisi Uni Afrika Moussa Faki Mahamat juga menyerukan untuk "segera dimulainya kembali” pembicaraan antara pimpinan militer dan sipil Sudan.

gtp/kpkp (AP, Reuters, AFP)