1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikSudan Selatan

Sepuluh Tahun Merdeka, Apa Kabar Sudan Selatan?

9 Juli 2021

Negara paling muda di dunia itu merayakan satu dekade kemerdekaan dalam kesederhanaan. Bencana kelaparan dan krisis ekonomi pasca perang saudara mengusir antusisasme terakhir di ibu kota Juba.

https://p.dw.com/p/3wGBj
Penduduk Sudan Selatan merayakan hasil referendum kemerdekaan di Juba, 9 Januari 2011.
Penduduk Sudan Selatan merayakan hasil referendum kemerdekaan di Juba, 9 Januari 2011.Foto: picture alliance/dpa/M. Messara

Sudan Selatan memerdekakan diri pada 9 Juli 2011 usai melewati perang panjang melawan Sudan

Namun damai tak lama bertahan. Hanya dua tahun kemudian, seisi negeri terjerembab dalam konflik brutal antara dua pemimpin politik yang kini berdamai dan membentuk pemerintahan persatuan nasional.

Stabilitas yang rapuh, ditambah pandemi corona, menyurutkan perayaan pada hari kemerdekaan. Pada Jumat, jalan-jalan di ibu kota Juba diwartakan sepi manusia. Tidak ada kemeriahan seperti yang dulu mewarnai parade kemenangan, satu dekade silam.

"Presiden Salva Kiir telah memerintahkan masyarakat untuk merayakan kemerdekaan di rumah masing-masing,” kata Wakil Menteri Informasi, Baba Medan, yang merujuk pada kekhawatiran sejumlah anggota kabinet terkait eskalasi wabah corona.

Baba mengatakan, Kiir akan berpidato di televisi, "agar semua orang bisa menyimaknya di televisi, atau mendengar di radio sendiri. Dengan begitu kita bisa meminimalisir risiko kesehatan.”

Satu-satunya perayaan resmi yang digelar pemerintah adalah kegiatan lari sepanjang 10 kilometer di Juba, kata Baba.

Presiden Kiir menyalahkan sanksi internasional yang menyusutkan anggaran negara dan membebani perekonomian. "Sebab itu kita tidak merayakan 10 tahun kemerdekaan dengan cara seperti yang diinginkan masyarakat,” kata dia kepada stasiun televisi Kenya, CItizen TV, Rabu (7/7) silam. 

Peta Sudan Selatan
Sudan Selatan merupakan negara termuda di dunia, dan berbatasan dengan Sudan di utara, Ethiopia di timur, Republik Afrika Tengah dan Republik Demokratik Kongo di barat, Kenya dan Uganda di timur.

Pemilu dan penegakan hukum di Sudan Selatan

Sudan Selatan menikmati kucuran dana bantuan bernilai milyaran Dollar AS usai memenangkan referendum kemerdekaan 2011 silam. Pada akhir 2013, perpecahan di tubuh Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan (SPLM) membuahkan perang terbuka antara Presiden Salva Kiir dan wakilnya, Riek Machar.

Pertumpahan darah yang terjadi menewaskan 400.000 orang, dan memaksa jutaan warga melarikan diri dari kampung halamannya. Konflik antara Kiir dan Machar juga ikut menghancurkan infrastruktur vital, dan memicu kelangkaan bahan pangan dan obat-obatan bagi 12 juta penduduk.

Akibatnya, Sudan Selatan masih bergantung dari kucuran dana bantuan internasional. Adapun pemerintahan persatuan nasional yang menduetkan kedua seteru sejak 2018 itu dinilai masih terlalu rapuh untuk bisa berdiri sendiri.

Menurut Program Pangan PBB, setidaknya 60 persen penduduk Sudan Selatan saat ini terancam wabah kelaparan. Sebab itu negara-negara barat mengimbau kedua pemimpin untuk bekerjasama demi rakyat.

"Tantangan besar yang dihadapi Sudan Selatan adalah menciptakan kembali semangat persatuan, kekuatan dan harapan yang lahir pada hari ini, sepuluh tahun lalu,” tulis troika barat yang dibentuk Inggris, Norwegia dan Amerika Serikat.

Ketiga negara menuntut pemerintah Sudan Selatan segera memulai persiapan untuk menyelenggarakan pemilihan umum yang "damai, kredibel dan inklusif.” Kiir dan Machar juga diminta "menyatukan angkatan perang,” dan mementuk "mekanisme pengadilan transisional” untuk menjamin penegakan hukum.

rzn/hp (afp,rtr)