1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialEropa

Meme: Sekadar Lelucon Atau Cara Manipulasi Media Sosial?

Jennifer Wagner
21 November 2020

Meme dan GIF yang beredar di internet memang terkesan lucu, tapi pengaruhnya di bidang politik dan sosial bisa jadi sangat serius. Literasi media sangat penting agar publik tidak mudah terpengaruh.

https://p.dw.com/p/3lV9Z
Warga menolak aturan pengendalian wabah corona di München, Jerman
Warga menolak aturan pengendalian wabah corona di München, JermanFoto: picture-alliance/Zuma/S. Babbar

Tahun 2020 memang tahun yang penuh tantangan. Tidak heran jika kemudian banyak orang beralih ke humor dan lelucon untuk mendongkrak semangat mereka. Meme terkait virus corona pun menjadi tren. Meme seringnya memparodikan orang atau peristiwa dengan mengubah makna dari citra yang telah ada sebelumnya. Kata ini berasal dari bahasa Yunani yakni "mimeme" yang berarti tiruan.

Meme dapat menjadi yang tidak berbahaya, dan dapat pula menyampaikan pesan politik. Meme sudah banyak dipakai dalam kampanye pemilihan umum di Amerika Serikat. Dan Pfeiffer, yang menjabat sebagai direktur komunikasi Gedung Putih di bawah Presiden Barack Obama, yakin bahwa gambar, meme, dan video yang dibagikan secara online sangat berperan penting dalam memenangkan pemilu saat itu.

Perang informasi zaman sekarang

Di Amerika Serikat, meme secara rutin digunakan untuk kepentingan politik. Donald Trump Jr., yang menyebut diri sendiri sebagai "Jenderal dalam Perang Meme" di Instagram, adalah salah satu dari banyak tokoh terkenal yang menyebarkan gambar-gambar politis semacam itu.

Salah satu memenya yang terkenal adalah gambar Presiden Trump menunjuk ke arah audiens. Teks yang menyertai gambar itu berbunyi: "Pada kenyataannya, mereka bukan mengejar saya, mereka mengejarmu. Saya kebetulan berada di tengah."

Pada bulan Juli, Twitter menghentikan meme tersebut dibagikan di platformnya karena meme itu menggunakan foto yang memiliki hak cipta.

Di Jerman dan seluruh Eropa, ‘perang informasi’ berbasis meme lebih jarang terjadi. Namun di sini, ada bot otomatis yang menggembar-gemborkan kandidat tertentu dan memperkuat peredaran informasi yang keliru.

Hal tersebut terbukti dalam diskusi online mengenai respon kesehatan masyarakat terhadap pandemi virus corona. Di jagad internet, para pendukung langkah-langkah untuk memperlambat penyebaran virus sedang mencoba untuk menghadapi golongan penyangkal pandemi, yang kadang-kadang menyebut diri sendiri sebagai Querdenker, atau “para pemikir yang tidak konvensional.”

'Radikalisasi secepat kilat'

Grup-grup semacam ini telah mendapatkan sekutu mereka di internet. "Para penyangkal virus corona sedang mengalami radikalisasi real-time yang belum pernah terjadi sebelumnya," tulis jurnalis teknologi Sascha Lobo dalam kolom baru-baru ini untuk mingguan berita Jerman, Der Spiegel. 

Lobo mengatakan ‘radikalisasi secepat kilat’ ini terjadi lewat media sosial, di mana komunitas online dengan kepentingan yang tumpang tindih mulai berbaur.

“Penyangkal virus corona atau Querdenker bukan berasal dari kelompok yang homogen,” kata Lobo. “Gerakan itu agak berbeda pada musim panas 2020 bila dibandingkan dengan gerakan pada musim gugur 2020 - sebagian karena telah terinfeksi ide-ide teori konspirasi QAnon.”

Pesan yang bersifat memecah-belah juga telah dibagikan dalam grup Facebook yang secara umum termasuk apolitis. Selama musim panas, seruan untuk bergabung dalam aksi unjuk rasa menentang langkah-langkah pemerintah terkait virus corona diposting di grup yang sedianya bertujuan untuk saling berbagi tumpangan kendaraan. Ini sempat memicu diskusi hangat, beberapa pengguna pun mengeluhkan telah terjadi penyalahgunaan grup dan memutuskan pergi.

Didukung keyakinan yang ‘sudah tertanam sebelumnya’

Platform media sosial menyediakan lahan subur bagi kelompok yang selama ini berada di pinggiran untuk berkembang. Jejaring sosial pada awalnya memang dibuat untuk memungkinkan pengguna berkomunikasi satu sama lain dan menggunakan jejaring ini. Tapi kini ada bahaya nyata di mana orang-orang seolah terjebak dalam ruang gema.

"Jika pengguna hanya mengandalkan sumber yang mengonfirmasi keyakinan mereka yang sudah ada sebelumnya, ini dapat menyebabkan fragmentasi ranah publik," kata Lars Bülow, profesor linguistik di Universitas Wina, Austria.

Bülow mengatakan media sosial memungkinkan individu yang berpikiran sama untuk bersatu di dunia maya dan meningkatkan partisipasi politik individu tersebut. Dalam hal ini, platform online justru dapat menjadi katalisator perubahan demokrasi.

Sejumlah pemimpin dan aktivis menyerukan agar platform media sosial diatur lebih ketat. Banyak politisi dan pembuat undang-undang ingin adanya adopsi aturan untuk memastikan interaksi online yang terjadi di masyarakat menjadi lebih beradab dan seimbang.

"Kita perlu mempromosikan literasi media, dan mulai dari anak-anak sekolah," kata Michael Johann, seorang peneliti di Departemen Media, Pengetahuan dan Komunikasi di Universitas Augsburg, Jerman. Hanya dengan demikian pengguna internet dari berbagai usia dapat secara kritis mengevaluasi konten yang dibagikan di dunia maya. (ae/vlz)