1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kota Tua jadi Lokasi Festival Literasi ASEAN 2017

14 Juni 2017

Radikalime, penistaan agama dan terorisme akan jadi tema-tema utama Festival Literasi ASEAN 2017 di Kota Tua Jakarta, Agustus mendatang.

https://p.dw.com/p/2eh7M
Indonesien Old City of Jakarta's project
Foto: C. Boll

Kota Tua Jakarta akan jadi ajang Festival Literasi ASEAN 2017, pada tanggal 3 hingga 6 Agustus mendatang. Acara ini akan menjadi tuan rumah bagi ratusan penulis, ilmuwan dan pejabat dari lebih dari 30 negara, termasuk 10 negara ASEAN, Asia, Eropa, Amerika Serikat, Afrika, dan Australia. Puluhan ribu penonton diharapkan hadir langsung dalam acara yang juga  akan disiarkan kegiatannya lewat media sosial.

Tahun ini adalah kali keempat festival tersebut diselenggarakan, sekaligus merayakan hari jadi ke 50 Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Tema-tema yang diangkat di antaranya: penistaan agama, radikalisme dan terorisme.

Mencari solusi atas masalah sosial

Direktur Program Festival Literasi ASEAN Okky Madasari mengatakan, festival tersebut tetap konsisten dalam membahas secara kritis isu-isu yang penting di masyarakat, agar dapat menghasilkan pandangan dan solusi alternatif atas masalah-masalah tersebut: "Kami dengan sengaja memilih isu-isu seperti kebebasan berekspresi, radikalisme agama, termasuk diskusi tentang ayat hukum penistaan agama serta meningkatnya ancaman teror di seluruh wilayah, bahkan dunia, untuk menyuarakan pendirian kita sebagai intelektua,l agar menjadi bagian dari solusi."

Kekerasan terhadap  kaum Rohingya di Myanmar, menguatnya  ISIS dan ancaman teror di Filipina selatan dan Indonesia serta memburuknya kebebasan berekspresi di seluruh wilayah termasuk di antara isu-isu mendesak yang akan dibahas dalam festival tersebut.

Saling mengenal budaya

Tahun lalu festival tersebut hampir dihentikan  polisi saat ratusan kelompok militan menggelar demonstrasi di depan lokasi festival tersebut, karena  mengangkat  isu-isu  kontroversial, seperti LGBT dan  peristiwa 1965.

Okky mengatakan bahwa festival tersebut memilih 'Beyond Imagination' sebagai tema utama untuk mencerminkan bahwa kreativitas dan keaksaraan merupakan elemen penting untuk mencapai komunitas ASEAN yang sesungguhnya. "Menjadi bagian dari masyarakat, berarti harus saling mengenal. Bagaimana kita bisa mengenal orang lain dengan baik jika bukan karena budaya dan gaya hidup mereka? Dan bagaimana lagi kita mengetahui suatu budaya jika tidak melalui buku dan produk budaya lainnya seperti novel dan film?"

Manajer komunikasi acara ini, Febriana Firdaus menambahkan:  "Tema tersebut dipilih pertama soal  ‘Beyond Imagination', agar sastra bisa diwujudkan lebih riil lagi, lewat diskusi hingga turun ke lapangan, yang dilakukan oleh para sastrawan, bertemu langsung dengan subyek cerita mereka. Kalau soal diskusi, kita konsisten ambil tema kebebasan ekspresi. Pada festival lalu soal memberikan suara pada mereka yang tak punya suara, karena itulah  ada diskusi tentang LGBT dan pembantaian massal 65. Tahun ini, sesuai dengan perkembangan terbaru, kami mengambil topik radikalisme, persekusi, dan blasphemy law. Kami merasa, tema ini penting diambil karena beberapa tahun belakangan, isu radikalisme dan persekusi kawasan ASEAN mengalami peningkatan." 

Arti pentinganya bagi Indonesia

Kepada DW, Febriana mengungkapkan kegiatan ini sangat penting bagi Indonesia:  "Kegiatan ini ingin membumikan sastra hingga ke kampung-kampung (Terkait dengan program Sastra Masuk Kampung dan Residensi) hingga ke anak-anak, karena untuk pertama kalinya diadakan Jambore Nasional Sastra untuk anak SD-SMA. Mengapa harus dibumikan?  Agar jangan sampai sastra ini hanya tinggal di menara gading." 

Ditandaskan Okky:  "Dalam hal ini, kami berharap festival ini bisa berperan secara signifikan. Kami percaya bahwa budaya dan sastra adalah satu-satunya masalah yang benar-benar mengikat masyarakat. Kita tidak bisa hanya bergantung pada aspek ekonomi dan politik yang pada akhirnya akan berubah menjadi retorika," pungkasnya.

(ap/hp)