1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pengakuan Hutan Adat Cegah Deforestasi

13 November 2018

Namun pengakuan hukum atas hutan adat yang sempat dicanangkan pemerintahan Presiden Joko Widodo kini berjalan lambat. Aktivis mengeluhkan rumitnya birokrasi malah tambah membebani masyarakat adat.

https://p.dw.com/p/389m7
Indonesien Banten Badui Volk Ureinwohner Urwald
Foto: Getty Images/U. Ifansasti

Sekelompok pria duduk bersila di atas tikar di sebuah ruang serbaguna di desa Gajah Bertalut, Kampar, Riau. Mereka sibuk mempelajari setumpuk dokumen dan peta yang menampilkan luas hutan, perkebunan, sebuah sungai dan desa kecil di tepi sungai tersebut.

Pria-pria itu berkumpul untuk menyusun klaim hukum terhadap lahan seluas 4.414 hektar yang selama ini menjadi lahan hidup dan tempat mencari makan buat penduduk desa. "Ini adalah bukti kalian sudah hidup di sini dan menggunakan hutan. Kalian memiliki hak sebagai suku adat," jelas Rakhmat Hidayat dari lembaga penelitian World Resources Institute (WRI) yang mengadvokasi penduduk desa.

"Jika sudah punya sertipikat, kalian tidak perlu lagi khawatir tanah ini akan diambil untuk pertambangan atau perkebunan sawit tanpa persetujuan kalian," imbuhnya, seperti dikutip dari Reuters.

Baca juga: Keberhasilan Reformasi Agraria Bergantung Pada Masyarakat Adat

Sungai Kampar termasuk kawasan pertama yang dipetakan WRI sebagai bagian dari insiatif pemerintah untuk mengungkap data kepemilikan lahan dengan memanfaatkan citra satelit dan informasi yang dikumpulkan dari pemuka adat dan catatan pemerintah daerah. Dengan cara itu pemerintah berniat mendaftarkan semua kepemilikan lahan di dalam satu peta pada 2025.

Sekal Mahkamah Konstitusi mengakui hak suku-suku lokal atas hutan adat 2013 silam, Presiden Joko Widodo berjanji akan memgembalikan 12,7 juta hektar lahan kepada komunitas adat. Namun hingga 2017 baru 1,9 juta hektar lahan yang sudah dikembalikan. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas hutan adat tersebut menguntungkan 500.000 keluarga.

"Di sekitar sini kami melihat hutan diambil untuk pertambangan dan kebun kelapa sawit. Ini tidak baik buat lingkungan atau penduduk setempat. Jika hak kami diakui, kami akan melindungi hutan dan lahan ini untuk masa depan," kata Darman, penduduk Gajah Bertalut.

Menurut kelompok HAM Rights and Resources Initiative (RRI) masyarakat adat berhak atas kawasan hutan seluas 40 juta hektar di seluruh Indonesia. Namun hingga saat ini mereka hanya menguasai kurang dari 10% wilayah hutan adat.

Putusan Mahkamah Konstitusi pada 2013 sebenarnya sudah "memperkuat" hak masyarakat adat "secara dramatis," kata Rukka Sombolinggi, dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Tapi "sikap pemerintah yang menuntut kepemilikan lahan jelas dan bersih memperberat beban masyarakat adat," katanya.

Baca juga: Olympiade Tokyo 2020 Dituding Percepat Deforestasi di Indonesia

Terlebih maraknya tumpang tindih kepemilikan lahan akibat kebijakan masa lalu mempersulit masyarakat adat mengklaim haknya. AMAN mencatat tidak sedikit sertipikat tanah yang sudah diserahkan oleh presiden dicabut kembali. Pun ada pula kasus di mana hutan yang diserahkan sudah terdegradasi menjadi hutan sekunder.

Rukka menilai lambatnya implementasi pengakuan hutan adat adalah karena minimnya niat politik pemerintahan Joko Widodo.

Sementara itu di desa Gajah Bertalut, penduduk berharap bisa lanjut menjalankan mata pencaharian lama, yakni menyadap pohon karet. WRI juga melatih kaum muda desa untuk ikut bercocok tanam sayur-sayuran untuk kebutuhan dapur, "Lahannya masih kecil," kata Elin Purnamasari, aktivis WRI berusia 24 tahun, "Kalau penduduk mendapatkan pengakuan hutan adat, mungkin akan ada lebih banyak orang yang ikut serta."

rzn/ap (Rina Chandran/Thomson Reuters Foundation)