1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Hukum dan PengadilanIndonesia

RUU KUHP: Masih Adakah Ruang untuk Publik Berpartisipasi?

13 Juli 2022

Penyusunan RUU KUHP adalah yang paling lama dengan draft pertama pada tahun 1963. Pro dan kontra transparansi legislasi dan sejumlah pasal yang dinilai kontroversial masih menyelimuti.

https://p.dw.com/p/4E1Jk
Ilustrasi kitab hukum
Ilustrasi kitab hukumFoto: fikmik/YAY Images/IMAGO

Proses pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memasuki babak baru setelah Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej melimpahkan salinan Rancangan Undang-undang KUHP (RUU KUHP) kepada Komisi III DPR RI pada 6 Juli 2022.

Pro dan kontra mengenai transparansi legislasi dan sejumlah pasal yang dinilai kontroversial masih menyelimuti hingga saat ini.

Pemerintah menyatakan ada tujuh perubahan dalam draft terbaru yang meliputi 14 isu signifikan, seperti penyesuaian pidana, tindak pidana penadahan, harmonisasi dengan undang-undang di luar RUU KUHP, sinkronisasi batang tubuh dengan penjelasan, perbaikan teknik penyusunan, dan perbaikan akibat salah ketik, seperti diberitakan oleh Tempo.co.

Menanggapi hal itu, praktisi dari firma hukum Trifida, Ariehta Eleison Sembiring, menyangsikan keterbukaan antara pemerintah dan para wakil rakyat di Senayan. Menurutnya, masyarakat tidak pernah tahu tujuan di pemerintah dan anggota DPR di balik nuansa tertutupnya penyusunan RUU tersebut.

"Kita tidak pegang draft (RUU KUHP) mana yang sedang dibicarakan. Masyarakat penting untuk memberi masukan," kata Ariehta kepada DW Indonesia. Ia menambahkan bahwa para legislator perlu mulai menyadari bahwa proses legislasi harus dilakukan secara terbuka.

Ariehta memberikan contoh kasus Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengeluarkan putusan terhadap permohonan uji formil UU Cipta Kerja. Pada 25 November 2021, MK telah menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan memerintahkan pemerintah dan DPR untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka waktu dua tahun.

Selain itu, Ariehta juga mengingatkan bahwa berdasarkan putusan MK yang lain, penambahan pasal dalam RUU juga harus disertai dengan naskah akademik. Penambahan pasal dalam menyusun UU tidak semudah membalik telapak tangan, ujarnya.

Penyusunan RUU paling lama

Indonesia saat ini masih menggunakan KUHP yang merupakan produk hukum buatan pemerintah Hindia Belanda dan tengah berupaya menggolkan RUU KUHP baru.

DPR menepis tudingan bahwa proses legislasi ini tidak melibatkan partisipasi publik. Mengutip siaran pers drp.go.id  pada 22 Juni 2022, anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan pihaknya dan pemerintah akan menyampaikan draft RUU KUHP kepada publik dan tidak akan membahas lagi mulai dari awal.

Selain itu, Arsul juga memastikan DPR akan terbuka kepada semua pihak untuk menyerap kritik dan saran. "Jadi kalau sekarang, ya jangan belum apa-apa kemudian dituduh baik pemerintah maupun DPR-nya itu tidak transparan," ujarnya.

Hal senada diutarakan oleh Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Hukum Universitas Negeri Semarang, Ali Masyhar. Ia mengatakan bahwa sudah banyak pihak yang mengkaji RUU KUHP dari sisi asas legalitas. Ali juga menambahkan bahwa masyarakat sudah cukup sering dilibatkan dalam diskursus dari berbagai macam seminar yang terbuka untuk publik.

Ali menuturkan bahwa proses penyusunan UU yang paling lama adalah RUU KUHP. Salinan yang pertama sudah ada sejak tahun 1963. Proses perdebatan RUU KUHP itu lalu berlanjut di tahun 1964, 1968, 1991, 1999, 2003, 2019, dan sekarang 2022.

Penyusunan RUU KUHP ini cukup sensitif bagi sejumlah pihak, ujar Ali. Kitab UU tersebut merupakan berbagai jenis tindak pidana yang dikodifikasi menyentuh banyak komponen dan komunitas tertentu. Dengan demikian, perdebatan RUU KUHP menjadi lama karena perlu elaborasi lebih lanjut dengan semua kalangan.

"Untuk kemudian memuaskan seluruh orang Indonesia tidak mungkin. Kalau public hearing semuanya tidak mungkin terlibat," kata Ali kepada DW Indonesia melalui sambungan telepon.

Ali juga menekankan urgensi penerapan RUU KUHP ini. Menurutnya, RUU ini sangat dibutuhkan agar tidak terjadi misconduct dalam sistem hukum pidana Indonesia.

Lebih banyak kriminalisasi?

DW Indonesia mendapatkan salinan terbaru RUU KUHP yang diklaim sebagai versi 4 Juli 2022 dan berisi 632 pasal. Salah satu pasal yang menjadi kekhawatiran banyak pihak adalah pasal 218 tentang penyerangan kehormatan atau harkat martabat presiden dan wakil presiden yang berbunyi:

"Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana paling banyak kategori IV."

Ariehta mengatakan pasal tersebut dapat mengaburkan kritik dan penghinaan. Oleh karena itu, perlu dipisah antara presiden sebagai jabatan dengan presiden sebagai individu atau nama. Ariehta Sembiring pun khawatir pasal tersebut dapat berimplikasi buruk bagi demokrasi.

"Arah pemidanaannya akan semakin memperbanyak sentencing. Lebih banyak melakukan kriminalisasi," kata Ariehta. Dia menambahkan kriminalisasi yang dimaksud adalah perbuatan yang awalnya dianggap tidak jahat lalu disusun sebuah aturan yang mengatur perbuatan tersebut sebagai kejahatan dan bisa terkena hukuman.

Sementara Ali Masyhar dari Universitas Negeri Semarang, punya pandangan berbeda. Dosen mata kuliah hukum pidana dan hukum acara pidana menjelaskan bahwa penafsiran pasal tersebut bukan serta-merta mengkritik presiden bisa terkena ancaman pasal. "Kita saja hormat dengan kepala negara lain, masa kepala negara sendiri ditolak?" ujarnya.

Publik berpartisipasi dengan terus mengawasi

Potensi masalah lainnya yang juga menyangkut masyarakat luas adalah pencantuman tindak pidana terhadap agama, kepercayaan, dan kehidupan beragama di pasal 304.

"Setiap orang yang di muka umum menghasut dengan maksud agar seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III."

RUU KUHP seharusnya bisa mengatur hal-hal lebih berdampak alih-alih persoalan tindak pidana di kehidupan beragama, ujar Ariehta. Ada sejumlah persoalan lebih penting yang bisa diselesaikan dengan RUU KUHP, misalnya kejahatan korporasi yang merusak lingkungan, penyerobotan tanah, atau pencurian data kesehatan.

Ariehta mengakui bahwa tim perumus RUU KUHP ini merumuskan pemikiran-pemikiran yang cemerlang. Namun dia menyoroti pasal-pasal yang sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai konteks.

Ia juga menyarankan publik untuk tetap aktif berpartisipasi dalam pembahasan RUU ini. Bila dirasa ada pasal-pasal yang merugikan publik, masyarakat dapat mengajukan hak uji ke MK.

"Sudah dijamin keputusan MK, setiap aturan hukum yang tertutup dan tidak partisipatif, maka aturan tersebut inkonstitusional bersyarat," tegas Ariehta kepada DW Indonesia. (ae)

Kontributor DW, Leo Galuh
Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).