1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mau Legislasi RUU KUHP, Mana Transparansinya?

Betty Herlina
15 Juni 2022

Sejak terakhir dibahas di DPR pada 25 Mei 2022, draf lengkap paling anyar RUU KUHP masih belum dibuka kepada publik. Padahal RUU ini ditargetkan akan disahkan Juli 2022.

https://p.dw.com/p/4Ch8I
Ilustrasi kitab undang-undang
Ilustrasi kitab undang-undangFoto: fikmik/YAY Images/IMAGO

Pemerintah berencana mengesahkan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RUU KUHP menggantikan KUHP lama pada Juli mendatang. Sinyal pengesahan disampaikan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej saat menggelar pertemuan bersama DPR RI pada 25 Mei 2022 seperti dikutip dari detik.com.

Langkah ini pun menimbulkan kritikan dari berbagai pihak. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menuntut proses pembahasan RUU KUHP dilakukan lebih terbuka, transparan, dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan atas undang-undang yang akan berlaku.

Tujuan pembaharuan KUHP, menurut Isnur, adalah ingin menghapus semangat kolonial yang menjadi sumber rujukan KUHP lama di Indonesia. Dengan demikian, menurutnya pemerintah dan DPR wajib menjamin setiap penyusunan peraturan dan kebijakan publik dilakukan secara transparan karena berdampak langsung bagi kehidupan masyarakat.

"Kami menuntut proses yang terbuka. Seperti petunjuk di undang-undang, pembahasannya harus melibatkan partisipasi masyarakat, mendengarkan masyarakat," kata Isnur kepada DW Indonesia.

Ia mengatakan, sejak September 2019 hingga pertengahan Mei 2022 tidak ada naskah terbaru RUU KUHP yang dibuka kepada publik untuk bisa dikritisi. Pada 25 Mei 2022, pemerintah dan DPR kembali membahas draf RUU ini dengan menginformasikan 14 poin yang menjadi keprihatinan. Namun ini dilakukan tanpa membuka draf terbaru RUU KUHP secara keseluruhan.

"Tadinya ada 24 isu yang dianggap krusial, kemudian pemerintah melakukan sosialisasi di 11 wilayah tapi tidak pernah di-share drafnya. Kemudian tiba-tiba pada pertemuan 25 Mei lalu pemerintah mengeluarkan matrik 14 pasal. Apa ini perubahan terakhir? Kami minta draf yang lengkap, sehingga kami bisa membaca dan mempelajari dan kami akan berikan masukan jika memang ini yang terakhir," imbuhnya.

"Tidak semuanya perlu masuk norma hukum"

Sementara pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menilai proses legislasi terkesan tertutup dan tidak membuka susunan konsep RUU KUHP secara utuh. "Padahal jelas aturannya, pemerintah wajib menyediakan ruang untuk partipasi dan terbuka," ujar Bivitri.

Secara substansi, Bivitri Susanti mengatakan 14 poin draf RUU KUHP yang beredar di masyarakat membawa paradigma konservatif. Ia menilai pemerintah ingin memberlakukan peraturan pidana yang sangat ketat, mulai dari persoalan hukum adat, hal-hal yang seharusnya menjadi ranah privat, hingga soal pencemaran nama baik presiden dan wakil presiden.

"Padahal namanya hukum pidana tidak boleh seketat itu. Kita hidup dengan norma-norma. Ada norma kesusilaan, norma agama, norma kesopanan dan norma hukum. Bedanya sangat tipis, antara norma yang ada di masyarakat dengan norma hukum. Tidak semua harus dimasukan dalam norma hukum, semua yang dianggap tidak patut tidak harus dipidanakan," ujar Bivitri Susanti kepada DW Indonesia.

Ia mencontohkan pasal tentang hukum pidana adat. Hal tersebut menurut Bivitri dapat menimbulkan bahaya karena tidak ada kontrol atau hukum pidana yang berlaku. "Ini menyebabkan tidak ada kesatuan hukum, berbahaya. Harusnya tegas saja kodefikasinya di KUHP."

Serupa disampaikan Muhammad Isnur yang mengatakan tiap daerah punya hukum adat berbeda. "Ketika hukum adat dikodefikasi jadinya hukum pidana bukan lagi hukum adat. Atau ketika hukum adat menjadi perda, itu jadinya perda bukan hukum adat lagi. Ini namanya mereformasikan seusatu yang saat berat terlaksana. Jelas kalau mau buat aturan pidana harus yang mudah untuk diawasi," ujar Muhammad Isnur kepada DW Indonesia. 

Pasal lain yang disoroti Bivitri terkait kohabitasi atau tinggal bersama pasangan di luar pernikahan. Menurutnya, pasal tersebut cenderung mencampuri ranah privat dan pemberlakuannya dapat memicu persekusi di masyarakat.

"Jangan dibayangkan jika tidak diatur, masyarakat Indonesia bisa amoral. Apa yang akan terjadi pada pasangan yang menikah secara agama tapi tidak secara negara, atau menikah secara adat. Kalau pasal ini diberlakukan ini bisa kacau, orang-orang bisa dipidana. Ini bisa memicu persekusi, main hakim sendiri," papar Bivitri.

Tak hanya itu, Bivitri juga mengkritisi pasal penyerangan harkat martabat presiden dan wakil presiden. Menurutnya, pasal tersebut tidak perlu diatur secara khusus karena hanya akan memberikan catatan buruk dalam demokrasi.

"Termasuk penodaan agama yang pengaturannya sudah ketinggalan zaman, serta soal alat pencegah kehamilan untuk anak, itu pengaturan yang tidak perlu. Justru kita perlu sex education, pada anak umur 17 tahun sex education itu penting karena kalau tidak mereka akan mencari cara sendiri," paparnya.

DPR: Kami sudah sangat transparan

Sementara anggota Komisi III DPR RI, Johan Budi, membantah anggapan bahwa DPR tidak memberikan ruang partisipasi dari masyarakat. Menurut Johan Budi, DPR sudah melibatkan banyak tokoh masyarakat dan mengundang berbagai elemen untuk mengkritisi RUU KUHP pada periode sebelumnya.

Ia menegaskan RUU KUHP adalah produk undang-undang dari anggota DPR periode sebelumnya yang seharusnya sudah akan disahkan, namun tertunda hingga masuk masa DPR saat ini.

"700 pasal sudah carry over di periode sebelumnya, ada beberapa pasal yang menjadi diskusi kosenering saat DPR melakukan pertemuan dengan Kemenkumham beberapa waktu lalu. Perdebatan-perdebatan ini sudah lama, pasti tidak bisa 100% setuju dengan UU yang ada. DPR menolak kalau ini dikatakan tidak menerima masukan dari masyarakat dan DPR sudah sangat transparan," katanya.

Hingga saat ini, lanjut Johan Budi, draf RUU KUHP sudah dibuka ke publik sejak sebelum tahun 2019. Termasuk 14 pasal yang menjadi perdebatan. "Kalau ada yang bilang tidak dapat drafnya silakan minta ke Komisi III," imbuh Johan Budi.

Sementara itu, Bivitri Susanti menyayangkan sikap DPR yang menyatakan draf rancangan UU ini tidak perlu dibahas lagi karena bersifat carry over. "Carry over bukan berarti tidak perlu ada pembahasan, cuma DPR dan pemerintah yang menginginkan tidak ada pembahasan lagi," ujar Bivitri. (ae)