1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kurangi Emisi Karbon dengan Konsumsi Bijak Selama Ramadan

Betty Herlina
8 April 2022

Sebagai negara mubazir makanan kedua sedunia, Indonesia bisa bantu kurangi emisi karbon yakni dengan berbelanja makanan secukupnya untuk berbuka selama bulan Ramadan.

https://p.dw.com/p/49bNB
Ilustrasi sampah makanan
Ilustrasi sampah makananFoto: Ute Grabowsky/photothek/picture alliance

Sering kalap mata saat berbelanja makanan untuk berbuka puasa? Membeli makanan dalam jumlah berlebih hingga bersisa dan jadi sampah? Selain tidak ramah di kantong, kalap berbelanja makanan, hingga mubazir juga tidak ramah lingkungan.

Sisa sampah makanan di Indonesia menempati urutan pertama yaitu sebanyak 46.703 ton per tahun atau lebih dari 28% dari keseluruhan jenis sampah yang diproduksi. Ini berdasarkan data sistem informasi pengelolaan sampah nasional dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang diakses 6 April 2022.

Indonesia memang bukan satu-satunya negara di dunia yang 'gemar' membuang makanan. Data World Economic Forum tahun 2021 mencatat sekitar 931 juta ton makanan terbuang sia-sia setiap tahunnya di seluruh dunia.

"Dengan membuang jutaan ton makanan, kita secara percuma menghabiskan triliunan galon air yang digunakan untuk menanam, memelihara, mempertahankan, atau menghasilkan makanan," ujar Amanda Katili Niode, Direktur Climate Reality Indonesia, sebuah organisasi nonpemerintah di bidang lingkungan yang berkantor di Jakarta.

"Makanan yang dibuang akan berujung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), dan saat makanan mulai mengurai atau membusuk, gas metana akan terlepas. Gas ini adalah salah satu gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global," kata dia kepada DW Indonesia.

Kelola pola konsumsi saat Ramadan

Bulan Ramadan, kata Amanda, adalah saat yang tepat untuk memulai bijak mengelola pola konsumsi dan berpartisipasi dalam mengurangi emisi akibat sampah makanan.

Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan jumlah penduduk muslim di Indonesia sebanyak 237,53 juta jiwa per 31 Desember 2021 atau sekitar 86% dari total keseluruhan populasi. Jumlah tersebut cukup berpotensi mengurangi emisi karbon jika tiap individu menerapkan pola konsumsi bijak. 

Amanda Katili Niode
Amanda Katili Niode dari Climate Reality IndonesiaFoto: Privat

"Tergantung dengan pola konsumsi, tidak menumpuk makanan, mengurangi konsumsi daging, dengan berpuasa kita belajar untuk menikmati makanan secukupnya dan mengurangi pembuangan makanan. Termasuk tidak menggunakan banyak kemasan plastik, membawa kantong sendiri serta katering sehat," ujar perempuan yang sering menjadi pembicara soal makanan dan iklim ini.

Hal lain yang dapat dilakukan, Amanda menambahkan, adalah dengan meminta tamu untuk membawa peralatan makan sendiri saat berbuka puasa bersama. Langkah ini dapat diambil apabila tidak tersedia peralatan makanan yang dapat dipakai ulang. 

"Mindful eating, cara kita menyikapi makanan, makannya tidak terlalu cepat, sambil mengingat alur bagaimana proses makanan itu sampai ke meja kita. Termasuk berhenti sebelum kenyang. Mereka yang berbuka puasa dianjurkan untuk menyumbangkan makanan ekstra bagi yang membutuhkan, serta memotivasi masyarakat untuk berbuka puasa ramah lingkungan," katanya.

Negara mubazir pangan kedua di dunia

Mengutip Indeks Keberlanjutan Pangan dari Economist Intelligence Unit tahun 2020 seperti disampaikan Amanda Katili Niode, Indonesia adalah negara pembuang makanan terbesar kedua di dunia. Jumlahnya mendekati 300 kg makanan per orang setiap tahun. Negara pembuang makanan terbesar di dunia adalah Saudi Arabia yakni mendekati 430 kg, dan Amerika Serikat rata-rata membuang sekitar 270 kg makanan per orang per tahun.

Sementara data dari KLHK menyatakan sumber terbesar makanan yang terbuang berasal dari sisa konsumsi rumah tangga yakni sekitar 40% atau lebih dari 1.600 ton makanan per tahun. Sampah makanan kedua terbesar berasal dari pusat perniagaan yakni sekitar 19% dan pasar tradisional di kisaran 15%.

"Pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan atau bertanggung jawab, ini menjadi instrumen yang digunakan untuk mengurangi kerusakan lingkungan akibat konsumsi yang berlebihan," kata Amanda kepada DW Indonesia.

Bila dilihat dari total emisi global akibat potensi pemanasan akibat sampah sisa makanan di Indonesia selama 20 tahun terakhir mencapai 1.702,9 Mton CO2-eq atau setara dengan 7,29% rata-rata emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di Indonesia lebih dari 20 tahun. 

Sementara apabila dilihat dari sisi ekonomi, kerugian akibat penyia-nyiaan makanan antara tahun 2000-2019 mencapai Rp 213-551 triliun per tahun. Jumlah ini setara dengan 4% - 5% Produk Domestik Bruto Indonesia.

"Jumlah kehilangan kandungan energi dari FLW (sampah makanan) pada tahun 2000- 2019 setara dengan memberi makan untuk 61-125 juta orang atau 29-47% populasi Indonesia," kata Amanda.

Konsumsi pangan lokal, kurangi jejak karbon

Kegiatan konsumsi, khususnya membeli makanan dan minuman, memang diperlukan untuk menggerakkan roda ekonomi. Namun hal tersebut perlu diiringi dengan informasi yang akurat tentang makanan dan minuman yang dipilih.

Seiring pertumbuhan ekonomi, kombinasi antara kebutuhan pengangkutan produk makanan, kebutuhan pendinginan makanan, permintaan konsumen, dan kebutuhan pengelolaan limbah juga akan meningkat cepat.

"Paling baik mengonsumsi makanan yang diproduksi pada daerah yang dekat dengan di mana makanan tersebut akan dikonsumsi. Yakni konsumsi pangan lokal tradisional, karena selain meningkatkan ekonomi lokal, juga mendukung petani, nelayan, perimba, menjaga kesehatan serta mengurangi gas rumah kaca," katanya.

Mengonsumsi pangan lokal dengan mengurangi jarak angkut makanan dapat meminimalisasi kebutuhan alat pendingin untuk memperlambat proses pembusukan. Hal ini juga akan mendukung ekonomi lokal.

"Emisi gas rumah kaca yang keluar lebih sedikit terkait dengan proses pengangkutannya. Misalnya, konsumsi buah lokal akan lebih ramah bagi lingkungan dibandingkan dengan konsumsi buah impor. Dari sisi kesehatan individu, makanan yang lebih segar akan mendukung kesehatan masyarakat," ujar Amanda.

Hal lain yang dapat dilakukan, lanjut Amanda, yakni dengan memperbanyak konsumsi nabati dan mengurangi konsumsi daging. Our World in Data merilis 10 jenis makanan dengan jejak karbon tertinggi. Yakni makanan produk hewani seperti daging sapi, domba dan kambing, keju dan susu. Kemudian coklat, kopi, udang ternak, kelapa sawit, serta daging babi dan daging unggas.

"Mengonsumsi masakan rumahan, menjaga tradisi kuliner melalui makanan lokal. Termasuk menghindari sisa makanan dan belanja bijak tidak menggunakan plastik," demikian Amanda. (ae)