1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cara Jitu Menghemat Sampah

Felix Nuhr
1 Juli 2021

Seorang koki restoran besar di Thailand benci pembuangan bahan pangan. Ia sudah temukan cara jitu menghemat penggunaan bahan pangan, yang juga kurangi sampah.

https://p.dw.com/p/3vCDa
Gambar menunjukkan sisa bangan pangan di tempat sampah
Sampah sisa dapur dan organikFoto: picture-alliance/dpa/A. Warnecke

Bagi sebagian besar orang, sampah yang membludak di tempat penampungan sampah, sekadar sampah biasa. Bagi Daniel Bucher, yang jadi koki kepala di sebuah hotel besar di ibu kota Thailand, Bangkok, ini terutama skandal. Karena hampir dua pertiga sampah di tempat pembuangan sampah Thailand adalah sampah organik. Terutama sisa makanan.

Sambil melangkah di atas tumpukan sampah, ia mengamati benda-benda di sekitarnya, dan menunjukkan, bahwa banyak hal yang sepintas lalu tampak seperti plastik, sebenarnya makanan. “Juga lumpur lunak yang di bawahnya. Itu semua makanan, organik, biomassa,“ ujar Daniel Bucher dengan kesal. “Kadang masih tampak bagus. Kadang masih dibungkus. Mungkin bisa dicuci dan segera dimasak.“

Buang makanan adalah hal tolol

Daniel Bucher bisa dibilang punya hubungan spesial dengan bahan pangan. "Saya sendiri benci membuang makanan. Bukan hanya karena saya memasak dengan penuh kesabaran dan rasa sayang kepada masakan. Tapi juga karena rasanya sangat tolol, jika membuang sesuatu, yang sebetulnya bisa dijadikan masakan enak.“ Ia menambahkan, masalah pembuangan bahan pangan sudah lama menyibukkan dia, dan membuat dia rasanya hampir gila.

Gambar menunjukkan koki Daniel Bucher di tumpukan sampah
Daniel Bucher ketika mengunjungi lokasi penimbunan sampah di Bangkok, ThailandFoto: Felix Nuhr/DW

Hotel dengan 1.000 kamar tempat Daniel Bucher bekerja adalah salah satu hotel terbesar di Thailand. Untuk sekitar 200 pekerja dapurnya, Bucher membuat kebun sayuran kecil di atap hotel. Hasil panen dari kebun itu tidak membantu kebutuhan hotel raksasa tersebut. Tapi bagi para kokinya, kebun menyulut timbulnya kesadaran baru tentang bahan pangan.

Menghargai bahan pangan

Bagi Daniel Bucher, kalau orang secara sembrono membuang makanan, artinya makanan hanya dianggap sebagai produk, dan orang tidak menyadari, seberapa susahnya menanam. Juga seberapa panjangnya perjalanan, mulai dari bibit yang ditanam di tanah hingga produk sampai di meja untuk dimakan.

Untuk menghargai bahan pangan, juga diperlukan penyimpanan yang tepat. Itu sebenarnya sudah sewajarnya, kata Daniel Bucher. Tapi dalam praktiknya, orang kerap tidak mengikuti aturan yang paling sederhana pun. Misalnya, bahwa sayur yang sudah dicuci harus dikeringkan, agar tahan lama. Selain itu, di sebuah restoran, sebuah tim penjaga kesehatan harus mengontrol kondisi sayur-sayur itu setiap hari.

Cara agar hemat bahan makanan adalah perencanaan

Di restoran yang ia pimpin, ia menunjukkan sebagai contoh, sebuah kotak yang penuh berisi sayuran. "Dalam kotak semacam ini, jika ada sebuah paprika yang mulai membusuk, dalam waktu singkat, semua paprika di dekatnya mulai membusuk juga, dan harus dibuang," ungkap Daniel.

Pada dasarnya, terlalu banyak bahan pangan dibuang tanpa diperhitungkan dengan baik, karena sebagian besar koki sudah punya rencana masakan berikutnya. Begitu pungkas Daniel Bucher. Di dapur yang dipimpinnya, ada bagian khusus yang mengurus sisa dari bagian lain yang masih bisa digunakan.

Ia menjelaskan, timnya mengumpulkan segalanya, baik potongan sayur maupun daging. Seperti di restoran besar lain, ada bagian di restorannya, di mana koki memotong-motong daging langsung di depan tamu, dan menyajikannya di piring. Dari bagian itu biasanya ada sisa daging yang masih bisa digunakan. “Kami mengumpulkannya untuk membuat saus,“ kata Daniel Bucher.

Ia menjelaskan juga, “Kalau hanya menggunakan satu bawang bombai, tentu tidak ada bagian yang dihemat. Tapi kalau menggunakan ratusan bawang bombai, pasti masih ada yang tersisa untuk membuat saos."

Kurangi Pemborosan Makanan

Komunikasi penting

Di hotel tempat Bucher bekerja, ada enam restoran yang menyediakan makanan spesial. Selain itu, juga ada bagian prasmanan dengan stasiun pemasakan tersendiri. Kadang hanya perlu perencanaan sedikit, agar bisa mengurangi sampah bahan pangan hingga seminimal mungkin.

Ia mengambil contoh telur. Telur yang dimasak untuk tapi tersisa, bisa dimasukkan ke masakan yang biasanya disukai orang untuk makan siang. Jadi untuk itu tidak perlu masak telur lagi. Masalahnya hanyalah, telur untuk sarapan biasanya  dimasak di seksi masakan Barat, sementara masakan untuk makan siang dimasak di seksi Cina. Tapi untuk itu hanya perlu komunikasi, jelas Daniel Bucher: “Ini telur dari sarapan saya berikan ke kalian."

Dengan trik semacam itu, Bucher dan timnya berhasil mengurangi sampah bahan pangan sebanyak 50% dalam dua tahun. Ini memang sebuah tantangan. Banyak hal harus diubah dan dipelajari lagi.  "Tapi jika sudah berfungsi sekali, ini jadi mudah, dan berfungsi seperti otomatis."

Pengecekan secara teratur juga penting

Sebulan sekali diuji, sebaik apa tindakan yang sudah diambil. Kemudian Bucher beserta timnya melihat sisa makanan yang mana, tersisa setiap hari. Juga apa yang bisa dimasak dari yang tersisa.

"Misalnya ikan salmon yang dipanggang dengan garam. Kami ambil kepalanya, dan kami buat sup. Itu digunakan untuk sup sarapan ala Jepang.“ Potongan daging ikan salmon bisa diolah lagi untuk makan malam, di mana kami akan buat pasta dengan ikan salem serta bayam."

Segalanya yang masih bisa dinikmati, tapi tidak bisa disajikan lagi, akan disumbangkan ke sebuah LSM. Staf mereka setiap hari menjemput sisa makanan, dan membagikannya ke warga yang membutuhkan di seluruh kota.

Makanan yang mudah rusak dibuang

Hanya makanan yang mudah rusak, misalnya yang berisi ikan atau krim dibuang. Tapi sebelumnya, semua dicatat dan ditimbang.

Dengan ditimbang, timnya bisa melihat, apa dan sebanyak apa yang mereka buang. Mereka juga membuat laporan bulanan. “Ketika kami memikirkan langkah untuk aksi berikuntya, kami menggunakan data ini, untuk melihat di mana kami harus menghemat, dan di mana ada masalah."

Tangani masalah pangan dengan data

Mengumpulkan data sebagai dasar penanganan masalah. Juga dengan cara itu, Jerman ingin membantu Thailand mengurangi sampah bahan pangannya. Untuk itu GIZ membiayai penelitian, di mana sampah dari sekitar 400 rumah tangga dari seluruh Thailand dianalisa.

Sejauh ini, tidak ada data semacam itu, juga karena biaya pembuangan sampah di Thailand ditarik secara rata-rata, dan tidak berdasarkan volume dan bobot.

Werner Kossmann dari organisasi bantuan Jerman, GIZ di Thailand mengatakan, "Kami ingin tahu, sampah mana sudah dipilah, dan ke mana sampah dibawa, juga apa yang terjadi kemudian." Data ini akan membantu menemukan solusi, agar sisa makanan tidak mendarat di tong sampah. Karena makanan yang dibuang bukan hanya pemborosan, melainkan juga bencana bagi iklim. 

Perusak iklim paling berbahaya

Werner Kossmann menambahkan, saat pembusukan, semua bahan organik melepas gas metana. Gas itu 25 kali lebih berbahaya bagi iklim daripada CO2. Dengan demikian, tempat penampungan sampah jadi perusak iklim paling berbahaya - terutama di negara-negara berkembang, di mana teknik daur ulang modern dan pembuatan kompos belum ada. 

Bagi Daniel Bucher, solusinya sudah tersedia. “Kita kerap mendiskusikan apa yang harus dilakukan dengan sampah ini. Itu diskusi penting.“ Tapi ia menyarankan, kita harus lebih banyak berdiskusi lagi, tentang cara agar tumpukan sampah tidak terbentuk sama sekali. (ml/ap)