1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

KUHP Resmi Disahkan, Publik Khawatirkan Pemberangusan

Arti Ekawati
6 Desember 2022

Mulai dari pasal yang dinilai rawan menjadi "pasal karet", hingga potensi perempuan korban kekerasan seksual untuk dipidana. KUHP baru sungguh mengkhawatirkan publik.

https://p.dw.com/p/4KX1S
Aksi menolak pengesahan RKUHP di depan degung DPR, Jakarta, 5 Desember 2022
Aksi menolak pengesahan RKUHP di depan degung DPR, Jakarta, 5 Desember 2022Foto: Eko Siswono Toyudho/AA/picture alliance

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) lewat sidang Paripurna, Selasa (06/12). Pengesahan undang-undang kontroversial ini pun diwarnai aksi protes dari berbagai kalangan masyarakat dan interupsi oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Dalam draft versi 30 November 2022 yang dilihat DW Indonesia, RKUHP terdiri dari 37 Bab dan 624 pasal. KUHP yang baru saja disahkan ini akan mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, yakni pada 2025.

Dikutip dari Tempo pada Selasa, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan, masa jeda ini akan dipakai oleh pemerintah dan DPR untuk mensosialisasikan pasal-pasal KUHP ke aparat penegak hukum, masyarakat luas dan ke kampus-kampus.

KUHP ini disahkan di tengah meluasnya kritik publik atas potensi penyalahgunaan dan pemberangusan hak-hak asasi manusia dan terbatasnya kebebasan berekspresi. Para pihak yang keberatan dengan berlakunya undang-undang baru ini pun dipersilakan untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. (MK)

"Pukulan signifikan" bagi HAM dan demokrasi

Dalam siaran pers yang diterima oleh DW Indonesia pada Selasa (06/12), Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan bahwa pengesahan KUHP baru ini adalah "Pukulan signifikan bagi kemajuan Indonesia yang telah diraih dengan susah payah dalam melindungi hak asasi manusia dan kebebasan fundamental selama lebih dari dua dekade."

"Fakta bahwa pemerintah Indonesia dan DPR sepakat untuk mengesahkan hukum pidana yang secara efektif menghilangkan banyak hak asasi manusia sungguh mengerikan," ujar Usman Hamid.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa KUHP baru yang kontroversial dan berlebihan ini hanya akan lebih merugikan ruang sipil yang sudah menyusut di Indonesia. "Dengan pemberlakuan kembali ketentuan yang melarang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, pemerintahan yang tengah menjabat serta lembaga negara akan semakin menghambat kebebasan berbicara, dan mengkriminalisasi perbedaan pendapat yang sah dan damai," ujarnya.

Dalam pesan singkat kepada DW Indonesia, Usman Hamid mengaku telah membahas rencana untuk mengajukan judicial review ke MK bersama dengan Koalisi Masyarakat Sipil.

Amnesty International Indonesia juga menyoroti kembalinya pasal-pasal yang melarang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006, tulis Amnesty.

Pengesahan RKUHP

Belajar Marxisme bisa dipenjara?

Di antara sekian banyak pasal kontroversial dalam KUHP baru, Taffi Hensan dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) mengkhawatirkan dua pasal secara khusus, yakni tentang unjuk rasa dan pelarangan penyebaran paham yang bertentangan dengan Pancasila.

"Karena mahasiswa sering unjuk rasa, paling terancam dengan pasal 256 ini karena di undang-undang yang dulu pasal 510 ancaman pidananya hanya dua minggu, sekarang pidananya ditambah jauh. Belum lagi ada frasa mengganggu pelayanan publik, itu karet sekali," ujar Taffi Hensan.

Dalam draft RKUHP versi 30 November yang dilihat DW Indonesia, pasal 256 berbunyi: Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

"Lalu penyebarkan paham di luar Pancasila. Teman-teman yang belajar paham Marxisme apa bisa dipenjara? Karena itu 'kan bertentangan dengan Pancasila," ujarnya. 

Sementara Citra Referandum, pengacara publik LBH Jakarta, menyesalkan langkah DPR yang dinilai terburu-buru ingin KUHP. Padahal, menurutnya, dalam draft terakhir RKUHP yang mereka terima masih banyak juga pasal bermasalah yang bersifat antidemokrasi.

"Tentunya akan banyak sekali masyarakat yang masuk penjara, terutama teman-teman buruh, mahasiswa, teman-teman yang menolak penggusuran paksa, ... Jadi ketika menyampaikan pendapat nanti akan dianggap sebagai penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dan lembaga negara", ujar Citra saat berdemonstrasi di depan gedung DPR, Senin (05/12).

Perempuan rentan menjadi korban dua kali

Citra juga menyampaikan kekhawatirannya bahwa pasal.pasal kohabitasi rentan digunakan untuk mengkriminalisasi perempuan korban kekerasan seksual. "Ketika korban speak up, kemudian melaporkan, nanti ada kemungkinan pelaku melaporkan dengan pasal kohabitasi untuk mengkriminalisasi perempuan korban kekerasan seksual, karena dianggap melakukan hubungan seks sebelum perkawinan," ujar Citra Referandum kepada DW Indonesia.

Hal senada disampaikan oleh Naila Rizqi, aktivis hak-hak perempuan yang berbasis di Jakarta. Menurutnya, yang paling berbahaya dari pasal-pasal kesusilaan adalah perempuan bisa menjadi korban untuk kedua kalinya.

"Dia mengalami kekerasan seksual. Bisa saja kekerasan seksualnya dimentahkan dengan tuduhan zina dan dia beralih menjadi pelaku zina dan keadilan dan pemulihan korban menjauh," ujarnya.

Naila Rizqi juga keberatan dengan pasal pengaturan terhadap privasi dan bagaimana warga negara harus berperilaku. "Itu juga akan sangat berdampak kepada perempuan karena biasanya ketika kita berbicara tenang moralitas publik, maka yang akan dibahas adalah moralitas perempuan, yang akan diatur adalah perempuan, tubuh perempuan," ujar Naila khawatir.

Sharon Margriet Sumolang di Jakarta berkontribusi atas laporan ini