1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Krisis Ukraina Bayangi Pilpres Korea Selatan

3 Maret 2022

Dua kandidat presiden Korea Selatan bersaing ketat sebelum pemungutan suara pada 9 Maret 2022. Hari-hari terakhir kampanye didominasi krisis Ukraina dan kurangnya pengalaman keduanya dalam kebijakan luar negeri.

https://p.dw.com/p/47sfs
Kandidat presiden Lee Jae-myung (kanan) berjabat tangan dengan Yoon Suk-yeol (kiri)
Serangkaian skandal dan kontroversi telah mengganggu citra kandidat presiden Lee Jae-myung (kanan) dan Yoon Suk-yeol (kiri)Foto: YONHAPNEWS AGENCY/picture alliance

Lee Jae-myung dari Partai Demokrat yang dipimpin Presiden Moon Jae-in, akan berhadapan dengan Yoon Suk-yeol, dari oposisi utama Partai Kekuatan Rakyat, dalam apa yang oleh beberapa media sebut sebagai "pemilu tidak yang disukai" karena tingginya ketidaksetujuan terhadap para kandidat dan dugaan praktik kampanye kotor.

Sebuah survei oleh Realmeter yang dirilis pada hari Rabu (02/03) - hari terakhir untuk publikasi jajak pendapat di bawah aturan pemilihan - menunjukkan 46,3% responden menyukai Yoon dan 43,1% lebih memilih Lee.

Sementara penelitian Hankook pada hari Minggu (27/02) menempatkan mereka masing-masing sekitar 40%.

Poster calon presiden Lee Jae-myung dari Partai Demokrat
Pendukung calon presiden Lee Jae-myung dari Partai Demokrat hadir dalam kampanye pada 15 Februari 2022 di SeoulFoto: Chung Sung-Jun/Getty Images

Survei menunjukkan para pemilih mencari presiden yang dapat membersihkan budaya politik dan korupsi yang terpolarisasi, mengatasi kesenjangan sosial yang semakin dalam, dan harga rumah yang tidak terkendali yang telah mengganggu ekonomi terbesar keempat di Asia itu.

Pemungutan suara putaran pertama selama dua hari akan dimulai pada hari Jumat (04/03).

"Prioritas utama bagi sebagian besar pemilih adalah masalah ekonomi dan harga perumahan, tetapi kesalahan sensitif secara politik yang terjadi tepat sebelum pemilihan dapat berdampak pada persaingan ketat seperti ini," kata Shin Yul, seorang profesor di Universitas Myongji.

Pernyataan kontroversial memicu kritik publik

Korea Utara, yang baru-baru ini melanjutkan uji coba misilnya dan krisis kesehatan dengan tingkat kasus COVID-19 mencapai 210.000 dalam satu hari untuk pertama kalinya pada hari Selasa (01/03), telah terbukti menjadi masalah utama.

Selain itu, terkait operasi militer Rusia ke Ukraina, baik Lee, mantan gubernur provinsi, dan Yoon, mantan jaksa agung, mengalami kemunduran atas komentar yang dianggap tidak sensitif atau tidak pantas sehubungan dengan konflik tersebut.

Pada pekan lalu saat debat presiden yang disiarkan televisi, Lee mendapat kecaman setelah mengatakan bahwa Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy telah "memprovokasi" Rusia dengan bersikeras untuk bergabung dengan NATO.

"Seorang politisi pemula dengan pengalaman hanya enam bulan menjadi presiden dan membuat janji tergesa-gesa untuk diakui NATO, yang memprovokasi Rusia," katanya, seraya menyebutnya sebagai "contoh nyata perang akibat kegagalan diplomatik".

Lee menyinggung apa yang dia lihat sebagai sikap naif dan provokatif Yoon terhadap Korea Utara ketika menyarankan seorang pemimpin yang tidak berpengalaman dan pemarah dapat memicu perang.

Namun, komentarnya menuai kritik luas di media sosial dan kemarahan dari Yoon yang menyebutnya sebagai "aib internasional" dengan mengatakan Lee membela agresor di Ukraina alih-alih menghibur korban.

Beberapa pejabat senior di partai Lee justru memicu reaksi publik, dengan merujuk pada Zelenskyy sebagai "komedian yang berubah menjadi presiden amatir tanpa kepemimpinan".

Poster calon presiden Lee Jae-myung dari Partai Demokrat
Pendukung calon presiden Lee Jae-myung dari Partai Demokrat hadir dalam kampanye pada 15 Februari 2022 di SeoulFoto: Chung Sung-Jun/Getty Images

Lee akhirnya mengeluarkan permintaan maaf kepada Ukraina pada hari Sabtu (26/02), dengan mengatakan dia tidak bermaksud untuk meremehkan Zelenskyy.

Insiden itu adalah yang terbaru dalam serangkaian skandal dan kontroversi yang telah mengganggu citra kedua kandidat dan menimbulkan kekhawatiran atas kurangnya pengalaman kebijakan luar negeri keduanya, kata Shin.

Menyentuh isu-isu kebijakan luar negeri tanpa pemahaman sejarah yang tepat dan pertimbangan diplomatik dapat menjadi bumerang di kedua sisi, tambahnya.

ha/hp (Reuters)