1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialKorea Selatan

Korsel Sedang Berjuang Menghadapi Penyusutan Populasi

24 Desember 2021

Korea Selatan sedang berjuang keras menghadapi penyusutan populasinya. Ekonomi terbesar ke-empat di Asia ini belum berhasil meredam tren penurunan itu, yang dikhawatirkan akan menjadi beban sosial di masa depan.

https://p.dw.com/p/44n00
Foto ilustrasi tingkat kelahiran di Korea Selatan
Foto ilustrasi tingkat kelahiran di Korea SelatanFoto: KIM JAE-HWAN/AFP/Getty Images

Menurut statistik terbaru pemerintah yang dirilis awal Desember, total populasi negara itu yang berjumlah hampir 52 juta orang akan turun 0,18% pada akhir tahun 2021 dibanding tahun sebelumnya. Inilah untuk pertama kalinya sejak negara itu melakukan sensus jumlah populasinya menyusut. Namun, ini perkembangan yang sudah lama diprediksi para pakar kependudukan.

Lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas statistik dan data sensus juga memetakan skenario terburuk, di mana populasi saat ini akan turun menjadi hanya sekitar 12 juta orang pada tahun 2120 — sekitar seperlima populasi saat ini.

Lembaga statistik dan kependudukan juga memperkirakan bahwa usia rata-rata penduduknya akan terus meningkat, dari rata-rata 43 tahun pada tahun 2021 menjadi 62 tahun pada tahun 2070. Kombinasi populasi yang menua dan penurunan angka kelahiran menimbulkan masalah besar untuk negara industri yang perlu tenaga kerja baru. Pada saat yang sama, negara harus menanggung beban pengeluaran yang lebih besar untuk pelayanan dan perawatan kesehatan warga, sementara jumlah pembayar pajak aktif makin sedikit.

Pemerintah Korea sejak lama berusaha mengantisipasi situasi ini. Dalam kurun waktu 2010-2020 dianggarkan total 225 triliun won atau senilai 188 miliar dolar AS untuk berbagai program insentif bagi pasangan yang memiliki anak. Namun sejauh ini, berbagai langkah itu tidak tidak banyak berpengaruh dalam meningkatkan angka kelahiran.

Anak-anak sekolah di Korea Selatan
Anak-anak sekolah di Korea SelatanFoto: picture alliance/Lonely Planet Images

Beban besar dan tekanan kuat pada keluarga

"Ini telah menjadi masalah untuk waktu yang lama, dan saya khawatir keadaan menjadi lebih buruk dalam beberapa tahun terakhir, apalagi ada pandemi," kata Ohe Hye-gyeong, peneliti di Universitas Kristen Internasional di Tokyo.

"Tapi ini adalah masalah struktural yang telah memengaruhi masyarakat Korea selama bertahun-tahun, dan ada beberapa faktor pendorongnya. Saya sendiri yakin bahwa apa yang digambarkan sebagai "beban dorongan pendidikan" pada orang tua yang menuntut agar anak-anak mereka berhasil dalam pendidikan menjadi alasan utamanya," kata Ohe Hye-gyeong kepada DW.

Perkembangan dan pertumbuhan ekonomi Korea Selatan yang pesat telah menciptakan peluang yang memang tidak terpikirkan generasi tua dulu, yang harus membangun kembali negaranya setelah Perang Korea 1950-53, katanya. Kemajuan pesat itu telah memupuk keyakinan pada masyarakat bahwa pendidikan formal sangat penting untuk peluang kerja dan kebahagiaan anak-anak mereka di masa depan.

"Semua orang tua ingin memberikan 'pendidikan elit' kepada anak-anak mereka, bahkan jika itu berarti mereka harus menghabiskan 50% pendapatan mereka untuk pendidikan," kata Ohe Hye-gyeong. "Itu adalah beban besar bagi keluarga, dan berarti bahwa sebagian besar pasangan hanya mampu membiayai satu anak."

Setelah sang anak menyelesaikan pendidikan sekolah atau universitas, mereka masih punya masalah besar, yaitu harus mendapat pekerjaan dengan gaji memadai.

"Generasi muda saat ini merasa sangat sulit menemukan pekerjaan yang aman dan bergaji tinggi. Bahkan jika mereka mendapatkan posisi aman di perusahaan papan atas, umumnya mereka hanya bekerja di sana sampai mereka berusia pertengahan 50-an, dan mereka diharapkan untuk pindah dari perusahaan itu atau berhenti lalu menjadi wiraswasta," kata Park Saing-in, ekonom di Seoul National University.

Tekanan berat bagi kalangan pria muda

Terutama pria muda pada usia 20-an dan 30-an yang tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang aman dan bergaji tinggi terpaksa menerima pekerjaan paruh waktu. Situasi ini menumbuhkan rasa tidak aman dan ketidakpastian untuk perencanaan masa depan mereka, termasuk untuk mulai berkeluarga.

Faktor lain yang berkontribusi pada penyusutan populasi adalah kenyataan bahwa banyak perempuan ingin menunggu lebih lama sebelum menikah dan memiliki anak. Sebagian memilih untuk mengejar karir dan pendidikan mereka. Pemerintah Korea Selatan mungkin terpaksa akan menaikkan batas usia pensiun untuk mengantisipasi penyusutan populasi, kata Paerk Saing-in.

Angka yang dirilis Pemerintah Kota Seoul bulan Desember misalnya menunjukkan bahwa jumlah pernikahan di kota itu turun 43% dalam 20 tahun terakhir. Usia rata-rata pernikahan pertama juga naik dari 29 tahun 20 tahun lalu menjadi 33 tahun pada 2020. Secara statistik, tingkat kesuburan Korea Selatan adalah yang terendah di dunia, dengan 0,8 anak per perempuan. Sedangkan para pakar demografi menganggap tingkat kesuburan 2,1 adalah ambang batas yang diperlukan untuk meredam tren penyusutan populasi.

Ohe Hye-gyeong mengingatkan, perkembangan ini juga menyimpan risiko konflik sosial karena di masa depan ada "masyarakat yang lebih terpolarisasi", di mana makin banyak orang punya lebih sedikit uang "untuk pendidikan dan masa depan anak-anak mereka."

(hp/ha)