1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Petani Henan Menderita Akibat Banjir dan Kenaikan Air Laut

5 November 2021

Banjir, kekeringan, gagal panen, petani di Henan, menderita akibat perubahan iklim. Ancaman lain di provinsi pesisir Cina ini adalah kenaikan permukaan laut yang meningkat terus.

https://p.dw.com/p/42cIy
Provinsi Henan adalah pemasok makanan di Cina
Banjir di HenanFoto: Wang Zirui/Costfoto/picture alliance

Sepatu kets Wang Yuetang tenggelam ke dalam lumpur di area yang dulunya adalah ladang jagung dan kacang tanah. Dia mengamati kerusakan ladangnya yang disebabkan oleh iklim yang tidak stabil. Tiga bulan setelah hujan deras membanjiri sebagian besar wilayah pusat Provinsi Henan, jantung pertanian Cina itu masih terendam dalam beberapa inci air. ''Tahun ini tidak ada panen. Semuanya hilang,'' kata Wang. "Petani di dataran rendah pada dasarnya tidak panen, tidak ada hasil apapun," keluhnya.

Pada akhir Oktober lalu tanahnya terlalu basah untuk ditanami tanaman musim berikutnya, gandum musim dingin. Di pertanian terdekat lainnya, batang kacang tampak layu dan kubis membusuk terayun-ayun di air yang lembab, dikerubuti lalat yang berdengung. Sebagian jagung bisa diselamatkan, tetapi karena sekamnya berjamur, hanya bisa dijual sebagai pakan ternak, yang harganya lebih rendah.

Bencana banjir kali ini adalah yang terburuk dialami petani Wang dalam 40 tahun terakhir. Hal ini ditengarai oleh kondisi ekstrem yang mungkin dihadapi negara tersebut saat planet makin menghangat dan pola cuaca yang menjadi sandaran petani semakin meningkat ketidakstabilannya."Saat atmosfer menghangat, udara dapat menahan lebih banyak kelembaban, jadi ketika badai terjadi, dapat menurunkan curah hujan yang lebih ekstrem,'' ujar Richard Seager, seorang ilmuwan iklim di Universitas Columbia. "Sangat mungkin bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia menyebabkan banjir ekstrem yang Anda lihat pada musim panas ini di tempat-tempat seperti Cina dan Eropa.''

Kenaikan permukaan air laut mengancam pesisir

Cina, negara terpadat di dunia, dengan 1,4 miliar orang, bertanggung jawab atas sekitar 28% emisi karbon dioksida yang menghangatkan Bumi, meskipun Amerika Serikat tetap tercatat sebagai pencemar terbesar dalam sejarah. Saat para pemimpin dunia ambil bagian minggu ini dalam konferensi iklim, Cina dikritik karena tidak menetapkan garis waktu yang lebih ambisius untuk menghapus penggunaan bahan bakar fosil.

Presiden Cina, Xi Jinping, yang belum meninggalkan Tiongkok sejak awal pandemi COVID-19, tidak menghadiri KTT itu tapi mengirim negosiator veteran, yang mengatakan bahwa Cina tidak bisa meninggalkan emisi karbon negara sebelum tahun 2030.

Proyeksi pemerintah Cina melukiskan visi yang mengkhawatirkan tentang masa depan: naiknya permukaan  air laut mengancam kota-kota pesisir besar, termasuk Shanghai, Guangzhou dan Hong Kong, dan gletser yang mencair dan permafrost yang membahayakan pasokan air dan proyek infrastruktur seperti rel kereta api di seluruh dataran Tibet. Ilmuwan pemerintah juga memprediksi peningkatan kekeringan, gelombang panas dan curah hujan ekstrem di seluruh Cina yang dapat mengancam panen dan membahayakan waduk dan bendungan, termasuk Bendungan Tiga Ngarai.

Sementara itu, rakyat Cina sudah menderita akibat perubahan iklim. Pada akhir Juli, siaran berita Tiongkok menayangkan cuplikan mengejutkan dari hujan deras membanjiri ibu kota Provinsi Henan, Zhengzhou di satu titik, dalam satu jam saja sudah menyapu mobil-mobil, kereta bawah tanah kebanjiran dan orang-orang berjuang melalui air setinggi pinggang. Lebih dari 300 orang tewas saat megacity itu berubah seolah menjadi Venesia. Jalan rayanya pun berubah jadi kanal berlumpur. Bahkan setelah badai yang paling dramatis berhenti, air terus mengalir menjadikan sebagian besar area pedesaan yang subur seperti kolam renang.

Di wilayah ini ekonomi bergantung pada jagung, gandum dan sayuran. Cina bergantung pada Provinis Henan untuk menyediakan stok makanan. Pemerintah setempat melaporkan bahwa hampir 1,2 juta hektar dari lahan pertanian banjir dengan total kerusakan mencapai 18 miliar dollar AS."Yang bisa saya lakukan saat itu adalah melihat langit menangis, menangis dan menangis setiap hari,'' kata Wang, si petani kacang.

Seorang petani berusia 58 tahun, Song, berkata semua miliknya terendam banjir, rumahnya, furnitur, ladang, peralatan pertanian dan lain-lain. "Tidak ada yang dipanen. Tahun ini, orang-orang biasa menderita sepanjang tahun,'' katanya. "Kami sudah bekerja sangat keras, mematahkan punggung kami, tanpa genap satu sen pun kembali, hatiku sakit,'' kata Hou Beibei, seorang petani yang punya rumah kaca sederhana  tertutup terpal plastik. Tanaman terong, bawang putih dan seledrinya tetap kebanjiran, jerih payahnya sia-sia.   Ia mengkhawatirkan kedua anaknya yang masih kecil."`Biaya kuliah anak-anak dan biaya hidup seluruh keluarga bergantung pada tanah ini,'' katanya.

Musim panas kelabu

Bencana alam terkait iklim lainnya juga menghantam Cinadi musim panas. Pada bulan Juli, tercatat suhunya terpanas dalam 142 tahun terakhir, demikian menurut pakar cuaca AS. Ganggang biru-hijau beracun mekar seluas 1.748 kilometer persegi menelan perairan pesisir kota makmur Qingdao. Akibatnya navigasi, sektor perikanan dan pariwisata terganggu. Siaran televisi pemerintah memperlihatkan rekaman orang-orang yang menggunakan truk sampah untuk memindahkan gundukan alga.

Ancaman lain bagi provinsi pesisir Cina adalah kenaikan permukaan laut. Catatan pemerintah menunjukkan bahwa permukaan air di pantai telah meningkat sekitar 122 milimeter antara tahun 1980 dan 2017 dan diprediksi dalam 30 tahun ke depan, air bisa naik 70 hingga 160 milimeter.

Karena wilayah pesisir Cina sebagian besar datar, sedikit saja terjadi kenaikan permukaan laut akan memperburuk banjir di daratan yang luas, meratakan properti tepi laut yang mahal dan menyebabkan habitatnya dalam kondisi kritis, demikian hasil laporan pemerintah. "Saya kira dampak-dampak ini memicu kebangkitan nasional. Saya berpikir orang semakin bertanya, "Mengapa cuaca ekstrem seperti ini terjadi?' Apa akar masalahnya?'' kata Li Shuo, seorang ahli kebijakan iklim Greenpeace Asia Timur di Beijing. "Saya rasa hal ini membawa para pembuat kebijakan Cina dan masyarakat umum untuk menyadari bahwa kita memang berada dalam keadaan darurat iklim.''

ap/vlz ( AP)