1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mengapa Cina Masih Hadapi Risiko Banjir Parah?

28 Juli 2021

Bendungannya dibangun dengan teknologi canggih, sistem resapan air di kota-kota spons dirancang dengan sistem mumpuni. Lalu mengapa Cina masih dilanda banjir besar?

https://p.dw.com/p/3yA71
Gambar pelepasan air di bendungan di Cina
Foto tahun 2020 ketika air dilepas dari Bendungan Tiga Ngarai di YangtzeFoto: Stringer/AFP/Getty Images

Hujan terlebat baru-baru ini melanda kawasan tengah Cina, dengan banjir yang menghantam sistem kereta bawah tanah, merusak bendungan dan tepian sungai, bangunan dan menyebabkan tanah longsor.

Beijing telah menggembar-gemborkan jaringan bendungan besarnya sebagai ‘obat‘ untuk banjir tahunan yang menghancurkan, tetapi tetap saja banjir dalam beberapa tahun terakhir ini menewaskan ratusan orang dan menenggelamkan ribuan rumah.

Berikut lima pertanyaan tentang mengapa Cina masih mengalami banjir parah setiap tahun.

Apakah bendungan di Cina berfungsi dengan baik?

Cina secara historis mengandalkan bendungan, tanggul, dan waduk untuk mengontrol aliran air. Sekitar 30 miliar meter kubik air banjir ‘dicegat‘ tahun lalu oleh bendungan dan waduk di sungai terpanjang di Asia, Yangtze, dan berhasil mengurangi banjir di kawasan hilir termasuk Shanghai, demikian kata kementerian manajemen darurat Cina.

Tetapi skema pengelolaan air yang luas di negara itu tidak mampu menahan banjir, sehingga ada pertanyaan tentang ketahanan bendungan yang dibangun beberapa dekade lalu.

Selasa (20/07) lalu, pihak militermemperingatkan adanya bendungan yang rusak di Provinsi Henan, yang "bisa runtuh kapan saja" setelah hujan deras. Pasukan tentara meledakkan sebuah lubang di bendungan itu untuk melepaskan air dan berlomba untuk memperkuat tanggul lain dengan karung pasir di seluruh provinsi.

Tahun lalu, pihak berwenang di Provinsi Anhui Timur terpaksa meledakkan dua bendungan untuk melepaskan air dari Sungai Chuhe yang terus meninggi ke atas lahan pertanian.

Dan ketakutan muncul kembali secara berkala atas ketahanan struktur Bendungan Tiga Ngarai di atas Yangtze, yang merupakan bendungan pembangkit listrik tenaga air terbesar di dunia. Bendungan itu dibangun di daerah yang dilintasi oleh garis patahan geologis.

 Apakah ini dampak dari perubahan iklim?

Beban bendungan Cina kemungkinan akan bertambah karena perubahan iklim membuat peristiwa cuaca ekstrem lebih sering terjadi.

Saat atmosfer Bumi menjadi lebih hangat, maka atmosfer menahan lebih banyak uap air, yang membuat hujan lebih deras, demikian ujar Benjamin Horton, Direktur Observatorium Bumi Singapura, kepada kantor berita AFP.

Level permukaan air mencapai rekor ketinggian di 53 sungai di Cina selama musim panas tahun lalu, papar menurut kementerian sumber daya air Cina. Pihak berwenang juga memperingatkan Bendungan Tiga Ngarai menghadapi puncak banjir terbesar sejak mulai beroperasi pada tahun 2003.

Li Shuo, seorang analis iklim untuk Greenpeace Asia Timur, mengatakan kepada AFP bahwa banjir "menjadi peringatan tanda bahaya bagi Cina bahwa perubahan iklim sudah terjadi di sini."

Bisakah Sponge City atau 'kota spons' membantu?

Pembangunan dan urbanisasi yang pesat juga memperburuk banjir. ‘Pembengkakan kota' telah menutupi semakin banyak permukaan tanah dengan beton kedap air – yang meningkatkan risiko penumpukan air yang cepat di permukaannya selama hujan lebat, tanpa ada celah untuk mengalirkan air. Horton juga mengatakan bahwa beberapa danau besar di negara itu telah berkurang ukurannya secara drastis.

Salah satu solusi pemerintah adalah program "kota spons" yang dimulai pada tahun 2014. Sistem ini berusaha untuk menggantikan permukaan perkotaan yang kedap air dengan bahan berpori - trotoar resap air, lebih banyak ruang hijau, area drainase dan waduk. "Tujuannya adalah agar air hujan masuk ke saluran air atau area hijau," kata  Cecilia Tortajada, peneliti kebijakan air di National University of Singapore kepada AFP.

Siapa yang paling menderita akibat banjir?

Tapi keberadaan kota-kota spons tak berpengaruh bagi masyarakat pedesaan di jalur air yang dialihkan, yang telah mengalami kerusakan parah pada rumah dan tanaman mereka.

"Sementara penduduk perkotaan di kota-kota besar Cina sebagian besar terhindar dari kenaikan air, banyak daerah pedalaman di sepanjang Sungai Yangtze berada di garis depan," kata Li.

Seluruh desa secara rutin dibiarkan kebanjiran, dengan mengevakuasi penduduknya, untuk menyelamatkan kota-kota padat penduduk.

Dalam beberapa hari terakhir, air hujan telah merusak sekitar 20.000 hektar tanaman di daerah pedesaan sekitar Zhengzhou, demikian ditulis kantor berita  Xinhua.

Apa lagi yang bisa dilakukan?

Cina juga beralih ke peningkatan pengawasan banjir dan evakuasi dini untuk mengantisipasi jatuhnya korban akibat banjir.

Selain teknologi pemantauan cuaca konvensional, Kota Anqing di Provinsi Anhui Cina menggunakan kaca mata realitas virtual yang terhubung dengan kamera pemantau sungai dengan menggunakan internet 5G untuk mengirimkan gambar ke kantor pengawasan, demikian menurut Xinhua.

Tahun lalu, kementerian darurat mengatakan jumlah orang tewas atau hilang akibat banjir musim panas antara Juni dan Agustus turun menjadi 219 orang  -- kurang dari setengah angka rata-rata setiap tahun dalam lima tahun terakhir. Namun, kerugian ekonomi melonjak 15 persen, mencapai 179 miliar yuan (26 miliar dolar AS).

Peneliti Tortajada mengatakan pada akhirnya, pencegahan banjir juga akan membutuhkan tindakan global terhadap perubahan iklim. "Sementara segelintir negara semakin baik persiapannya menghadapi perubahan iklim, dunia secara keseluruhan tidak siap," pungkasnya kepada AFP.

ap/hp (afp)